Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Iktikad Baik dalam Pengangkatan Anak

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Iktikad Baik dalam Pengangkatan Anak

Iktikad Baik dalam Pengangkatan Anak
Togar S.M. Sijabat, S.H., M.H. PBH Peradi
PBH Peradi
Bacaan 10 Menit
Iktikad Baik dalam Pengangkatan Anak

PERTANYAAN

Jadi saya belum menikah dan sudah punya anak. Anak saya diadopsi pasangan suami istri (pasutri) yang belum punya anak selama 5 tahun. Awalnya mereka terlihat beriktikad baik. Tidak ada indikasi pemutusan hubungan dan lainnya. Sudah ada wacana dari mereka mau membawa ke pengadilan untuk proses permohonan adopsi. Tapi sampai 7 bulan ini belum ada kabar lagi dari mereka. Makin lama mereka banyak bertingkah dan sering sekali memutuskan komunikasi dengan block WhatsApp. Balas chat tunggu 3-4 hari. Mereka juga pernah foto rumah saya dan mengancam memberitahu keluarga soal anak saya (tanpa saya karena saya sedang diluar kota). Lalu saya minta anak saya kembali tetapi diancam mau dilaporkan ke polisi. Setelah itu saya gak mau cari ribut. Saya hanya minta video anak, itu pun sangat susah. Terakhir saya minta untuk bertemu anak, saya malah saya dihina dan dibilang tidak punya hak. Mau bertemu anak harus menunggu izin mereka dulu kapan boleh bertemu. Kira-kira hukum apa saja yang bisa dikenakan kepada saya dan pasutri tersebut ? Bukti-bukti melalui chat sudah banyak saya kumpulkan dan saya berencana mau melanjutkan ini ke ranah hukum karena tidak mau anak saya dirawat orang seperti mereka.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat.
     
    Sebenarnya ada persesuaian pendapat antara orang tua biologis dengan calon orang tua angkat. Sehingga, cukup melanjutkan iktikad baik saja karena antara ibu dengan pasangan suami istri itu sama-sama memiliki kepentingan yang sama.
     
    Lantas sanksi apa yang dapat diterapkan kepada ibu dan pasangan suami istri dalam kasus Anda? Penjelasan lebih lanjut silakan klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Adopsi adalah pengangkatan anak. Undang-undang dan berbagai peraturan memakai istilah pengangkatan anak. Adopsi atau pengangkatan anak itu sendiri berdasarkan Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak (“PP 54/2007”) adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat.
     
    Yang dimaksud Calon Orang Tua Angkat (“COTA”), yakni orang yang mengajukan permohonan untuk menjadi Orang Tua Angkat.[1] Salah satu persyaratan COTA itu meliputi memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis dari orang tua atau wali anak.[2]
     
    Sedangkan yang dimaksud dengan anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.[3]
     
    Simak juga artikel Prosedur Adopsi Anak Korban Gempa Bumi.
     
    Adaposi dilakukan selalu pada posisi tidak normal, baik kepada si anak maupun kepada si orang tua. Tidak normal karena si anak memiliki orang tua yang tidak mampu yang membuat anak terlantar. Sedangkan si orang tua,  karena tidak mempunyai anak atau karena anakanya cuma satu, ingin menambah anak di luar anak biologis.
     
    Filosofi adopsi adalah demi kemaslahatan anak. Bukan demi orang tua atau orang dewasa. Jika ada niat untuk mengadopsi, tapi yang berada di pikiran adalah hanya karena gengsi dan status sosial, buanglah jauh-jauh niat Anda untuk mengadopsi anak.
     
    Tata cara adopsi telah diatur secara ketat dalam berbagai perturan perundang-undangan di Indonesia, yang jika dirangkum dikategorikan dalam: kategori pertama, adanya anak yang terlantar dan adanya calon orang tua yang mengidamkan si anak. Tahap kedua, tahapan legalisasi di pengadilan. Tahapan ketiga, tahapan pencatatan di catatan sipil. Tahapan keempat, kewajiban si orang tua untuk tetap melaporkan pengangkatan anak kepada instansi pemerintah yang menangani pengangkatan anak (Dinas sosial).
     
    Untuk kasus ini, sebenarnya ada persesuaian pendapat antara orang tua biologis dengan calon orang tua angkat. Sehingga, cukup melanjutkan iktikad baik saja karena antara ibu dengan pasangan suami istri (“pasutri”) itu sama-sama memiliki kepentingan yang sama.
     
    Ibu tidak mau aibnya terbongkar, memiliki anak tanpa ada perkawinan yang sah. Sedangkan si pasutri sangat berkeinginan atas anak biologis ibu namun terputus hubungan si anak dengan ibu. Namun sebaliknya, ibu pun dan pasutri memiliki kesalahan yang sama. Ibu sudah menterlantarkan anak, sedangkan si pasutri mulai menjauhkan hubungan antara si anak dengan ibu.
     
    Bahwa jika kembali ke filosofi hukum pengankatan anak adalah demi kebaikan si anak hal ini sebanarnya cukup dimusyawarahkan saja.
     
    Namun jika kembali kepada pertanyaan yang diajukan, dan mengacu kepada filosofi ini, kami menyimpulan:
    1. Kesalahan ibu adalah:
      1. Menelantarkan anak yang masih memerlukan perawatan. Karena ibu adalah orang tua biologisnya, ibulah yang wajib merawat anak tersebut. Namun hal ini tidak ibu lakukan. Perbuatan ini diancam berdasarkan Pasal 77B jo. Pasal 76B Undang–Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang–Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”) dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100 juta;
      2. Merubah asal usul anak. Jika sampai anak memiliki akta kelahiran, pasti ada keterangan yang tidak benar dalam pembuatan akta tersebut. Ini diancam dalam Pasal 277 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) jo. Pasal 93 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU Adminduk”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU 24/2013”).
      3. Memberikan keterangan yang tidak benar di hadapan pejabat negara.[4]
    2. Kesalahan si pasutri jika sampai mengangkat anak adalah:
      1. Merubah asal usul anak;
      2. Memberikan keterangan yang tidak benar di hadapan pejabat negara.
     
    Namun perlu diupayakan penyelesaian secara kekeluargaan terlebih dahulu, karena perlu diingat sifat sanksi pidana sebagai senjata pamungkas atau ultimum remedium. Selengkapnya simak artikel Arti Ultimum Remedium.
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

    [1] Pasal 1 angka 4 Peraturan Menteri Sosial Nomor 110/HUK/2009 Tahun 2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak (“Permensos 110/2009”).
    [2] Pasal 7 ayat (1) huruf i Permensos 110/2009
    [3] Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
    [4] Pasal 242 KUHP

    Tags

    keluarga
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Mengurus Akta Cerai yang Hilang

    19 Mei 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!