Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Aspek Hukum Kewajiban Penggunaan Uang Elektronik

Share
copy-paste Share Icon
Bisnis

Aspek Hukum Kewajiban Penggunaan Uang Elektronik

Aspek Hukum Kewajiban Penggunaan Uang Elektronik
Arasy Pradana A. Azis, S.H., M.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Aspek Hukum Kewajiban Penggunaan Uang Elektronik

PERTANYAAN

Zaman sekarang banyak sistem menggunakan dan bahkan mewajibkan e-money. Pertanyaaan saya, apabila ada seseorang yang tidak punya kartu terkait apakah ada aturan yang melarang bahwa sistem dilarang menolak orang yang membayar dengan uang tunai? Sebagai komparasi penggunaan uang receh saja tidak boleh ditolak sebagaimana dijelaskan dalam artikel Klinik berjudul “Sanksi Hukum Jika Menolak Pembayaran Dengan Uang Receh”.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Nilai uang elektronik dan transaksinya di wilayah Indonesia diwajibkan untuk menggunakan Rupiah. Dengan demikian, pilihan sistem tertentu yang mewajiban penggunaan uang elektronik tidak dapat digolongkan sebagai penolakan terhadap Rupiah.
     
    Penjelasan lebih lanjut silakan klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Dalam artikel Sanksi Hukum Jika Menolak Pembayaran Dengan Uang Receh yang Anda rujuk, memang terdapat uraian mengenai larangan menolak pembayaran dengan menggunakan Rupiah. Dengan merujuk pada Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (“UU Mata Uang”), Tri Jata Ayu menguraikan bahwa Rupiah wajib digunakan dalam:
    1. setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran;
    2. penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau
    3. transaksi keuangan lainnya
    yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
     
    Pasal 23 UU Mata Uang kemudian mengatur larangan untuk menolak Rupiah sebagai alat pembayaran, sebagai berikut:
     
    1. Setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah.
    2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk pembayaran atau untuk penyelesaian kewajiban dalam valuta asing yang telah diperjanjikan secara tertulis.
     
    Pelanggaran atas ketentuan tersebut dapat berujung pada sanksi berupa pidana kurungan paling lama satu tahun dan pidana denda paling banyak Rp 200 juta.[1] Tri Jata Ayu kemudian menyimpulkan bahwa pengecualian penolakan Rupiah hanya berlaku dalam hal terdapat keraguan atas keaslian uang Rupiah. Di luar pengecualian itu, setiap orang dilarang menolak, termasuk dalam bentuk receh sekalipun.
     
    Namun demikian, adanya sistem yang mewajibkan pembayaran secara elektronik tak dapat serta merta disamakan sebagai bentuk penolakan terhadap Rupiah.
     
    Pengaturan mengenai tata cara penggunaan e-money atau uang elektronik selengkapnya diatur di dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/201 tentang Uang Elektronik (“PBI 20/2018”). Dalam peraturan tersebut, yang dimaksud sebagai Uang Elektronik adalah instrumen pembayaran yang memenuhi unsur sebagai berikut:[2]   
    1. diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu kepada penerbit;
    2. nilai uang disimpan secara elektronik dalam suatu media server atau chip; dan
    3. nilai uang elektronik yang dikelola oleh penerbit bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan.
     
    PBI 20/2018 memperkenalkan berbagai jenis pengelompokan Uang Elektronik. Berdasarkan lingkup penyelenggaraannya, Uang Elektronik dapat dibedakan menjadi:[3]
    1. closed loop, yaitu uang elektronik yang hanya dapat digunakan sebagai instrumen pembayaran kepada penyedia barang dan/atau jasa yang merupakan penerbit Uang Elektronik tersebut; dan
    2. open loop, yaitu Uang Elektronik yang dapat digunakan sebagai instrumen pembayaran kepada penyedia barang dan/atau jasa yang bukan merupakan penerbit Uang Elektronik tersebut.
     
    Selain itu, Uang Elektronik juga dapat dibedakan berdasarkan media penyimpanannya yang berupa:[4]
    1. server based, yaitu Uang Elektronik dengan media penyimpan berupa server; dan
    2. chip based, yaitu Uang Elektronik dengan media penyimpan berupa chip.
     
    Uang Elektronik juga dapat dibedakan berdasarkan pencatatan data identitas penggunanya, berupa:[5]
    1. unregistered, yaitu Uang Elektronik  yang data identitas penggunanya tidak terdaftar dan tidak tercatat pada penerbit; dan
    2. registered, yaitu Uang Elektronik yang data identitas penggunanya terdaftar dan tercatat pada penerbit.
     
    Setiap Uang Elektronik diisi dengan nilai Uang Elektronik tertentu. Nilai Uang Elektronik menurut Pasal 1 angka 4 Peraturan BI 20/2018 adalah nilai uang yang disimpan secara elektronik dalam suatu media server atau chip yang dapat dipindahkan untuk kepentingan transaksi pembayaran dan/atau transfer dana.
     
    Sekalipun tidak berbentuk fisik, namun penyelenggaraan Uang Elektronik tetap wajib memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kewajiban penggunaan Rupiah untuk transaksi pembayaran yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.[6] Selain itu, Uang Elektronik yang diterbitkan di Indonesia wajib menggunakan satuan uang Rupiah. Pun demikian dengan transaksi yang menggunakan Uang Elektronik dan dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang juga diwajibkan untuk menggunakan Rupiah.[7]
     
    Dengan demikian, menurut hemat kami yang sesungguhnya terjadi bukanlah penolakan pembayaran menggunakan Rupiah, melainkan dorongan untuk mengonversi Rupiah ke dalam bentuk elektronik. Isi uang elektronik tetap dianggap sebagai Rupiah.
     
    Baca juga: Dasar Hukum Penggunaan Uang Elektronik ketika Masuk Tol.
     
    Dorongan konversi ini didasari atas sejumlah keunggulan yang dimiliki oleh Uang Elektronik. Ahmad Hidayat, et.al., sebagaimana dikutip Rachmadi Usman dalam tulisannya di Jurnal Yuridika - Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Volume 32 No. 1 berjudul Karakteristik Uang Elektronik dalam Sistem Pembayaran (hal. 136) menyatakan bahwa kemunculan uang elektronik merupakan jawaban atas kebutuhan terhadap instrumen pembayaran mikro yang diharapkan mampu melakukan proses pembayaran secara cepat dengan biaya yang relatif murah, karena pada umumnya nilai uang yang disimpan instrumen ini ditempatkan pada suatu tempat tertentu yang mampu diakses secara cepat secara off-line, aman dan murah. Dengan demikian, penggunaan Uang Elektronik ditujukan untuk memberikan kemudahan dan efisiensi dalam transaksi pembayaran.
     
    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang;
     
    Referensi:
    Rachmadi Usman. Karakteristik Uang Elektronik dalam Sistem Pembayaran. Jurnal Yuridika – Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Vol. 32. No. 1, 2017.

    [1] Pasal 33 ayat (2) UU Mata Uang
    [2] Pasal 1 angka 3 PBI 20/2018
    [3] Pasal 3 ayat (1) PBI 20/2018
    [4] Pasal 3 ayat (2) huruf a PBI 20/2018
    [5] Pasal 3 ayat (2) huruf b PBI 20/2018
    [6] Pasal 44 huruf a PBI 20/2018
    [7] Pasal 51 PBI 20/2018

    Tags

    jasa keuangan
    elektronik

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    TIPS HUKUM

    Cara Pindah Kewarganegaraan WNI Menjadi WNA

    24 Mar, 2023 Bacaan 10 Menit
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!