Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Pemutusan Akses Internet oleh Pemerintah, Bagaimana Hukumnya?

Share
copy-paste Share Icon
Teknologi

Pemutusan Akses Internet oleh Pemerintah, Bagaimana Hukumnya?

Pemutusan Akses Internet oleh Pemerintah, Bagaimana Hukumnya?
Arasy Pradana A. Azis, S.H., M.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Pemutusan Akses Internet oleh Pemerintah, Bagaimana Hukumnya?

PERTANYAAN

Sudah lebih dari dua minggu berlalu sejak demonstrasi berlangsung di Papua dan berujung pada pembatasan internet di sana. Apakah UU ITE memang membolehkan pemerintah melakukan hal tersebut? Mohon pencerahannya.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Pada dasarnya, tidak ada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan perubahannya yang mengatur secara eksplisit wewenang pemerintah untuk membatasi akses internet masyarakat. Tanpa pengaturan tersebut, tindakan pemerintah rentan dikategorikan sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang.
     
    Secara spesifik dalam kasus Papua, Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 230/G/TF/2019/PTUN-JKT telah menyatakan Menteri Komunikasi dan Informatika serta Presiden melakukan perbuatan melawan hukum dengan melakukan throttling atau pelambatan akses/bandwidth serta pemblokiran layanan data dan/atau pemutusan akses internet di berbagai wilayah di Provinsi Papua dan Papua Barat.
     
    Penjelasan selengkapnya silakan klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Artikel ini merupakan pemutakhiran dari artikel berjudul Pembatasan Akses Internet oleh Pemerintah, Bagaimana Hukumnya? yang terbit pertama kali pada Jumat, 6 September 2019.
     
    Hak Konstitusional atas Akses Informasi
    Sebelum membahas pertanyaan tersebut lebih jauh, terdapat beberapa jenis hak konstitusional yang perlu dipahami dan kami nilai relevan dengan isu pemutusan internet di suatu wilayah. 
     
    Kemerdekaan untuk menyatakan pendapat merupakan salah satu bentuk hak paling mendasar yang dijamin konstitusi. Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (“UUD 1945”) menyatakan bahwa:
     
    Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
     
    Hak tersebut kemudian ditegaskan kembali dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, yang berbunyi:
     
    Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
     
    Lebih lanjut, Pasal 28F UUD 1945 mengatur hak atas akses informasi. Pasal tersebut berbunyi:
     
    Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
     
    Pemutusan Akses Internet oleh Pemerintah
    Berdasarkan penelusuran kami, tidak ada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”) yang secara spesifik memberikan wewenang kepada pemerintah melakukan pemutusan internet pada wilayah tertentu.
     
    Satu-satunya pengaturan yang mendekati masalah tersebut tercantum dalam Pasal 40 ayat (2) UU 19/2016 yang mengatur bahwa:
     
    Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
    Namun UU ITE dan perubahannya tidak menjabarkan lebih lanjut mengenai bentuk perlindungan yang dimaksud, maupun bagaimana cara ketentuan pasal tersebut dilaksanakan.
     
    Perspektif Hukum Administrasi Negara
    Pengaturan eksplisit di dalam undang-undang, menurut hemat kami, pada dasarnya penting untuk memberikan panduan atas apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan pemerintah.
     
    Di dalam ilmu hukum administrasi negara dikenal adanya asas wetmatigheid van bestuur.
     
    Menurut Abdul Latif dalam bukunya Hukum Administrasi dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi (hal. 39), asas ini mencakup tiga aspek, yaitu wewenang, prosedur, dan substansi.
     
    Artinya, wewenang, prosedur, maupun substansi harus berdasarkan peraturan perundang-undangan (asas legalitas), karena pada peraturan perundang-undangan tersebut sudah ditentukan tujuan diberikannya wewenang kepada pejabat administrasi atau tata usaha negara, sebagaimana prosedur untuk mencapai suatu tujuan serta menyangkut tentang substansinya. 
     
    Dalam buku yang sama, Abdul Latif kemudian membagi penyalahgunaan wewenang berdasarkan jenis wewenang yang dilanggar, apakah wewenang bebas (diskresi) atau wewenang terikat. Parameter penyalahgunaan wewenang pada jenis wewenang terikat adalah asas legalitas (tujuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundangan).
     
    Salah satu instrumen hukum yang dapat dirujuk untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (“UU 30/2014”).
     
    Undang-undang tersebut mengatur bahwa penyelenggaraan administrasi pemerintahan berdasarkan asas legalitas, asas perlindungan terhadap hak asasi manusia, dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (“AUPB”).[1]
     
    Selaras dengan penjelasan Latif di atas, yang dimaksud sebagai asas legalitas dalam UU 30/2014 adalah bahwa penyelenggaraan administrasi pemerintahan mengedepankan dasar hukum dari sebuah keputusan dan/atau tindakan yang dibuat oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan.[2]
     
    Pejabat pemerintahan berkewajiban untuk menyelenggarakan administrasi pemerintahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kebijakan pemerintahan, dan AUPB.[3]
     
    Pemerintah juga berkewajiban untuk membuat keputusan dan/atau tindakan sesuai dengan kewenangannya, mematuhi AUPB, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta mematuhi persyaratan dan prosedur pembuatan keputusan dan/atau tindakan.[4]
     
    Lebih lanjut, badan dan/atau pejabat pemerintahan dilarang menyalahgunakan wewenang, yang meliputi:[5]
    1. larangan melampaui wewenang;
    2. larangan mencampuradukkan wewenang; dan/atau
    3. larangan bertindak sewenang-wenang.
     
    Badan dan/atau pejabat pemerintahan dikategorikan bertindak sewenang-wenang apabila keputusan dan/atau tindakan yang dilakukan:[6]
    1. tanpa dasar kewenangan; dan/atau
    2. bertentangan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
     
    Keputusan hanya dapat dibatalkan apabila terdapat cacat:[7]
    1. wewenang;
    2. prosedur; dan/atau
    3. substansi.
     
    Lebih lanjut, keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan secara sewenang-wenang tidak sah apabila telah diuji dan ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.[8]
     
    Mekanisme Pembatasan Hak Konstitusional Masyarakat
    UUD 1945 sendiri sejatinya telah mengatur mekanisme pembatasan hak konstitusional masyarakat dengan rambu-rambu tertentu. Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 menyatakan:
     
    Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
     
    Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.[9]
     
    Dengan mengacu pada ketentuan ini, menurut hemat kami, pembatasan akses internet yang notabene membatasi hak konstitusional masyarakat atas akses informasi, harusnya diatur di level undang-undang. Apabila pengaturan seperti ini belum tersedia, pemerintah tidak berwenang untuk melakukan tindakan pembatasan akses internet tersebut.
     
    Kasus Papua
    Terkait pertanyaan Anda, kebijakan pemerintah tersebut telah digugat, diperiksa, dan diputus melalui Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 230/G/TF/2019/PTUN-JKT, dengan Menteri Komunikasi dan Informatika sebagai Tergugat I dan Presiden sebagai Tergugat II.
     
    Dalam perkara tersebut, yang menjadi objek gugatan adalah (hal. 8 – 9):
    1.  
    2. Tindakan pemerintahan berupa throttling atau pelambatan akses/bandwidth di beberapa wilayah Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua pada 19 Agustus 2019 sejak pukul 13.00 WIT sampai dengan pukul 20.30 WIT;
    3. Tindakan pemerintahan yaitu pemblokiran layanan data dan/atau pemutusan akses internet secara menyeluruh di Provinsi Papua (29 kota/kabupaten) dan Provinsi Papua Barat (13 kota/kabupaten) sejak 21 Agustus 2019 sampai dengan setidak-tidaknya 4 September 2019, pukul 23.00 WIT;
    4. Tindakan pemerintahan yaitu memperpanjang pemblokiran layanan data dan/atau pemutusan akses internet di 4 kota/kabupaten di Provinsi Papua (yaitu Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Mimika, dan Kabupaten Jayawijaya) dan 2 kota/kabupaten di Provinsi Papua Barat (yaitu Kota Manokwari dan Kota Sorong) sejak 4 September 2019, pukul 23.00 WIT sampai dengan 9 September 2019, pukul 18.00 WIB/20.00 WIT.
     
    Majelis Hakim kemudian menilai bahwa pembatasan terhadap kebebasan berekspresi dan hak untuk mencari, memperoleh dan menyampaikan informasi dan hak-hak lainnya yang digunakan melalui internet harus memenuhi tiga syarat (hal. 248):
    1. pembatasan harus diatur dalam peraturan perundang-undangan berupa undang-undang;
    2. pembatasan harus memenuhi/sesuai dengan salah satu tujuan berikut ini:
    1. untuk menjamin pengakuan serta penghormatan hak atau nama baik pihak lain, atau
    2. untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, kesusilaan, ketertiban umum, atau kesehatan masyarakat, dalam suatu masyarakat demokratis;
    1. harus dibuktikan bahwa pembatasan tersebut diperlukan secara proporsional.
     
    Menurut Majelis Hakim, tindakan pemerintah tersebut dilakukan sesuai dengan tuntutan atas pertimbangan keamanan dan ketertiban umum (hal. 251).
     
    Namun demikian, pembatasan hak atas internet hanya dapat dilakukan pemerintah melalui pemutusan akses hanya terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum dan tidak mencakup pemutusan akses terhadap jaringan internet (hal. 259).
     
    Sedangkan terkait adanya penyebaran berita bohong (hoaks), hasutan, ujaran kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA yang berpotensi menimbulkan kerusuhan yang dapat memecah belah persatuan dan mengancam keamanan negara, tindakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah (hal. 259 – 260):
    1. dari aspek hukum pidana, melakukan proses hukum pidana terhadap pihak-pihak yang melakukan perbuatan tersebut;
    2. dari aspek tindakan administratif, UU ITE dan perubahannya memberikan kewenangan pemerintah melakukan pembatasan akses internet dengan cara pemutusan akses hanya terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum, tidak mencakup pelambatan dan/atau pemutusan jaringan internet.
     
    Patut diperhatikan bahwa tidak terdapat kekosongan hukum yang mengatur objek sengketa, sehingga tidak memenuhi secara kumulatif tujuan diskresi untuk mengisi kekosongan hukum dan berakibat pada tidak terpenuhinya persyaratan diskresi pada objek sengketa (hal. 273).
     
    Namun, karena dari aspek prosedur dan substansi, objek sengketa bertentangan dengan peraturan peraturan perundang-undangan, sehingga Majelis Hakim tidak perlu lagi mempertimbangkan pemenuhan AUPB dalam objek sengketa (hal. 273).
     
    Akhirnya, Majelis Hakim menilai bahwa objek sengketa merupakan perbuatan melanggar hukum oleh pejabat pemerintahan, khususnya oleh Menteri Komunikasi dan Informatika sebagai Tergugat I (hal. 273). Sedangkan Presiden sebagai Tergugat II dianggap menyetujui tindakan tersebut, dan turut dinyatakan melakukan perbuatan melanggar hukum (hal. 274).
     
    Dalam putusannya, Majelis Hakim kembali menegaskan hal tersebut. Selain itu, Para Tergugat dihukum membayar biaya perkara sebesar Rp475 ribu (hal. 278 – 279).
     
    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
     
    Putusan:
    Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 230/G/TF/2019/PTUN-JKT.
     
    Referensi:
    Abdul Latif. Hukum Administrasi dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Prenada Media Group, 2014.
     

    [1] Pasal 5 UU 30/2014
    [2] Penjelasan Pasal 5 huruf a UU 30/2014
    [3] Pasal 7 ayat (1) UU 30/2014
    [4] Pasal 7 ayat (2) huruf a, b, dan c UU 30/2014
    [5] Pasal 17 UU 30/2014
    [6] Pasal 18 ayat (3) UU 30/2014
    [7] Pasal 66 ayat (1) UU 30/2014
    [8] Pasal 19 ayat (1) UU 30/2014
    [9] Pasal 28J ayat (2) UUD 1945

    Tags

    hukumonline
    lembaga pemerintah

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Ini Cara Mengurus Akta Nikah yang Terlambat

    30 Sep 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!