Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Hukuman Percobaan bagi Penyebab Kecelakaan Lalu Lintas

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Hukuman Percobaan bagi Penyebab Kecelakaan Lalu Lintas

Hukuman Percobaan bagi Penyebab Kecelakaan Lalu Lintas
Togar S.M. Sijabat, S.H., M.H. PBH Peradi
PBH Peradi
Bacaan 10 Menit
Hukuman Percobaan bagi Penyebab Kecelakaan Lalu Lintas

PERTANYAAN

Apakah sanksi pidana bisa digantungkan oleh keluarga korban seperti taklik talak pada gugatan perdata? Contohnya, A menaiki kendaraan dan menabrak B hingga meninggal. Keluarga B setuju berdamai, dengan syarat jika A menabrak orang lain lagi dan yang ditabrak meninggal maka gugatan keluarga B akan otomatis berlanjut. Apa hal ini bisa dilakukan? Seperti percobaan penjara misalnya.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Di dalam praktik, penggantungan sanksi pidana itu disebut juga sebagai pidana percobaan. Pidana percobaan dapat dijatuhkan oleh hakim untuk memberikan kesempatan kepada terhukum supaya dalam tempo percobaan itu memperbaiki diri dengan tidak berbuat peristiwa pidana atau melanggar perjanjian yang diberikan kepadanya dengan pengharapan, jika berhasil, hukuman yang dijatuhkan kepadanya itu tidak akan dijalankan untuk selama-lamanya.
     
    Wewenang untuk menerapkan pidana percobaan dalam kasus kecelakaan lalu lintas tetap berada di tangan hakim, dan bukan keluarga korban. Kesepakatan damai yang diperoleh para pihak nantinya akan menjadi pertimbangan hakim dalam menerapkan pidana percobaan.
     
    Penjelasan selengkapnya dapat diklik pada ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima atas pertanyaan Anda.
     
    Pidana Percobaan
    Di dalam praktik, “penggantungan” pidana yang Anda tanyakan kerap disebut juga dengan istilah pidana percobaan, pidana bersyarat, atau hukuman dengan perjanjian. Ketentuannya diatur dalam Pasal 14a sampai Pasal 14f Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Sebagai contoh, Pasal 14a KUHP berbunyi:
     
    1. Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam putusannya hakim dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika di kemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut di atas habis, atau karena terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan dalam perintah itu.
    2. Hakim juga mempunyai kewenangan seperti di atas, kecuali dalam perkara-perkara mengenai penghasilan dan persewaan negara apabila menjatuhkan pidana denda, tetapi harus ternyata kepadanya bahwa pidana denda atau perampasan yang mungkin diperintahkan pula akan sangat memberatkan terpidana Dalam menerapkan ayat ini, kejahatan dan pelanggaran candu hanya dianggap sebagai perkara mengenai penghasilan negara, jika terhadap kejahatan dan pelanggaran itu ditentukan bahwa dalam hal dijatuhi pidana denda, tidak diterapkan ketentuan pasal 30 ayat 2.
    3. Jika hakim tidak menentukan lain, maka perintah mengenai pidana pokok juga mengenai pidana tambahan.
    4. Perintah tidak diberikan, kecuali hakim setelah menyelidiki dengan cermat berkeyakinan bahwa dapat diadakan pengawasan yang cukup untuk dipenuhinya syarat umum, bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, dan syarat-syarat khusus jika sekiranya ditetapkan.
    5. Perintah tersebut dalam ayat 1 harus disertai hal-hal atau keadaan-keadaan yang menjadi alasan perintah itu.
     
    Mengenai ketentuan pidana percobaan ini, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 40), menguraikan bahwa dalam pokoknya orang dijatuhi hukuman, tetapi hukuman itu tidak tidak usah dijalankan, kecuali jika kemudian ternyata, bahwa terhukum sebelum habis tempo percobaan berbuat peristiwa pidana atau melanggar perjanjian yang diadakan hakim kepadanya. Maksud dari penjatuhan hukuman ini adalah untuk memberikan kesempatan kepada terhukum supaya dalam tempo percobaan itu memperbaiki diri dengan tidak berbuat peristiwa pidana atau melanggar perjanjian yang diberikan kepadanya dengan pengharapan, jika berhasil, hukuman yang dijatuhkan kepadanya itu tidak akan dijalankan untuk selama-lamanya.
     
    Pidana Percobaan dalam Kasus Lalu Lintas
    Lebih lanjut, berkaitan dengan pokok pertanyaan Anda, ada perlunya kita meninjau ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”). Pasal 310 ayat (3) dan (4) UU LLAJ mengatur bahwa:
     
    1. Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak RplO.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
    2. Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
     
    Sedangkan Pasal 311 ayat (4) dan (5) UU LLAJ mengatur bahwa:
     
    1. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
    2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
     
    Khusus pada tindak pidana karena kelalaian atau tidak disengaja, pelaku mungkin berdamai dengan keluarga korban sehingga keluarga korban ikhlas dan tidak lagi mempermasalahkan kematian keluarga mereka secara hukum. Perdamaian ini disampaikan kepada hakim dan biasanya selalu dijadikan pertimbangan untuk menjatuhkan pidana penjara selama satu tahun dengan percobaan. Hakim kemudian menentukan syarat-syarat lain bagi pelaku selama percobaan berjalan. Hakim bebas menentukan syarat-syarat tersebut, kecuali mengenai syarat berkaitan dengan kemerdekaan beragama atau kemerdekaan politik terpidana.
     
    Pidana percobaan dalam kasus kecelakaan lalu lintas diantaranya diterapkan dalam pemidanaan Rasyid Amrullah Rajasa. Sebagaimana diuraikan dalam artikel Rasyid Rajasa Divonis Enam Bulan Percobaan, majelis hakim menerapkan Pasal 14a KUHP yang bertujuan sebagai wujud pencegahan agar tidak melakukan hal yang sama. Ketua Majelis Hakim yang menjatuhkan vonis, Suharjono, berpandangan bahwa telah terwujud prinsip teori hukum restorative justice dalam putusan hakim sehingga setimpal dengan perbuatan Rasyid. Selain itu, Suharjono juga mengatakan “Terdakwa berlaku sopan, tidak mempersulit persidangan, masih muda, dan keluarga bertanggung jawab.
     
    Dalam praktik, jika syarat yang ditetapkan hakim dilanggar, hakim atas usul jaksa/penuntut umum dapat memerintahkan supaya pidana dilaksanakan atau memerintahkan supaya jaksa/penuntut umum memberikan peringatan kepada terdakwa sesuai dengan petunjuk hakim.
     
    Lebih lanjut, uraian di atas juga menunjukkan bahwa wewenang untuk menjatuhkan pidana percobaan yang menunda pemenjaraan, kurungan, atau pidana pokok lain, tetap berada di tangan hakim, dan bukan keluarga korban sebagaimana yang Anda asumsikan. UU LLAJ sendiri hanya mengatur bahwa kesepakatan damai antara para pihak yang terlibat menyebabkan kewajiban mengganti kerugian pada kecelakaan lalu lintas dapat dilakukan di luar pengadilan.[1]
     
    Perbedaan dengan Taklik Talak
    Adapun mengenai taklik talak, hal tersebut merupakan perjanjian kawin antara suami dan istri dalam dimensi hukum Islam. Taklik talak adalah talak yang jatuhnya digantungkan pada suatu perkara dengan alasan-alasan tertentu yang telah disepakati oleh dua mempelai setelah akad nikah demi kemaslahatan kedua belah pihak. Hal ini dilakukan dengan syarat yang tidak bertentangan dengan ketentuan agama.
     
    Dalam praktik, taklik talak dicantumkan dalam buku nikah dan menjadi kewajiban si suami kepada istri. Artinya, taklik talak dicantumkan ketika hubungan calon mempelai masih sangat baik dan berencana melangsungkan hubungan mereka kepada perkawinan.
     
    Pidana bersyarat berbeda dengan gantung dalam taklik talak. Dalam pidana bersyarat, pelaku pidana sudah jelas terbukti bersalah melakukan tindak pidana dan akan dihukum pidana penjara selama satu tahun. Namun pidana penjara itu tidak perlu dilakukan karena pelaku membuat perjanjian. Sedangkan dalam taklik talak, baru sebatas janji, dalam arti, belum ada kesalahan yang dilakukan suami kepada istri. Taklik talak baru berlaku jika kelak si suami melakukan pelanggaran kepada istri.
     
    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
     
    Referensi:
    R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1994.
     

    [1] Pasal 236 ayat (2) UU LLAJ

    Tags

    kecelakaan
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    TIPS HUKUM

    Ingin Rujuk, Begini Cara Cabut Gugatan Cerai di Pengadilan

    24 Mar, 2023 Bacaan 10 Menit
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!