Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Tindak Pidana Penggelapan Yang Tidak Dilaporkan
Dalam praktik ketenagakerjaan, hal seperti ini sering terjadi. Pekerja ketahuan melakukan tindak pidana penggelapan uang perusahaan. Alasannya bisa macam-macam.
Biasanya tindak pidana penggelapan tersebut tidak dilaporkan kepada polisi dengan pertimbangan rekam jejak pekerja: sudah lama bekerja, pernah berjasa kepada perusahaan atau pemilik perusahaan, dan alasan-alasan lain.
Melakukan tindak pidana penggelapan dalam dunia ketenagakerjaan adalah perbuatan yang tabu karena telah mengingkari hubungan baik antara perusahaan dengan pekerja. Pekerja telah mendapatkan haknya dalam bentuk upah sehingga sangat tercela jika masih menggelapkan uang perusahaan untuk keperluan pribadi.
Di dalam filosofi ketenagakerjaan, kejujuran mutlak harus tercipta antara perusahaan dengan pekerja. Penggelapan adalah pengkhianatan terhadap harmonisasi hubungan kerja dan tidak bisa diterima dengan alasan apapun.
Dalam kasus ini si pekerja bernasib baik dan tentu sangat diuntungkan. Jika perusahaan melapor kepada polisi, Anda diancam dengan Pasal 374
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang berbunyi:
Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya Pasal demi Pasal (hal. 259), hal ini biasa dinamakan “penggelapan dengan pemberatan”. Pemberatan-pemberatan itu adalah:
terdakwa diserahi menyimpan barang yang digelapkan itu karena hubungan pekerjaannya (persoonlijke dienstbetrekking);
terdakwa menyimpan barang itu karena jabatannya (beroep);
karena mendapat upah uang (bukan upah yang berupa barang).
Bisa dibayangkan, akibat hukum yang akan diderita oleh pekerja jika perusahaan melaporkannya kepada polisi. Badan menderita karena terkungkung di penjara, nama baik hancur, dan akan sulit bekerja di manapun setelah keluar dari penjara.
Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda.
Upah yang Ditahan
Sebagai gantinya, perusahaan meminta si pekerja untuk mengembalikan uang yang digelapkan dan selanjutnya meminta si pekerja untuk mengundurkan diri agar si pekerja tidak kehilangan muka di kalangan keluarganya. Hal ini bertujuan agar si pekerja bisa diterima bekerja di tempat lain tanpa ada kecacatan dalam pengalaman kerja.
Gaji atau upah sendiri memang merupakan hak pekerja yang tidak bisa ditahan oleh perusahaan. Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) mengatur bahwa:
Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh.
[1]
Namun Anda sendiri sebenarnya sudah sangat diuntungkan oleh kebaikan perusahaan Anda. Mengenai gaji yang belum dibayar, silakan Anda memintanya dengan baik-baik kepada perusahaan, sepanjang bisa membuktikan bahwa pada kurun tersebut Anda masih bekerja.
Status Pekerjaan Pelaku Penggelapan
Mengenai status pekerjaan, walau belum ada surat pemutusan hubungan kerja (“PHK”) atau skorsing, Anda kami sarankan untuk mengundurkan diri sebagai pekerja. Anda dapat meminta kepada perusahaan memberikan surat pengalaman kerja agar Anda bisa melamar pekerjaan di tempat lain tanpa hambatan.
Dalam perkara seperti ini, referensi atau pengalaman kerja, jauh lebih bermanfaat bagi Anda karena memberikan peluang bagi Anda untuk bisa bekerja di tempat lain tanpa ada masalah. Dalam hal ini perusahaan telah menutupi kesalahan Anda selama bekerja. Hal ini lebih baik daripada Anda hanya menuntut pembayaran upah dan status Anda sebagai pekerja yang belum jelas.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya Pasal demi Pasal. Bogor: Politeia, 1994.
[1] Pasal 95 ayat (2) UU Ketenagakerjaan