Saya meminjam uang dengan jaminan BPKB motor di salah satu perusahaan finance. Dari awal survei sampai pencairan dibantu oleh salah satu karyawan perusahaan finance tersebut. Saya dari awal tidak diberikan nomor kontrak kredit. Sampai sekarang sudah masuk cicilan kedelapan saya membayar lewat karyawan tersebut. Saya percaya karena karyawan itu yang menawarkan mengambil cicilan dan karena memang status dia adalah karyawan tetap dari perusahaan finance tersebut. Tapi sekarang karyawan itu kabur, dan ternyata uang cicilan saya tidak dibayarkan selama empat bulan. Sementara pihak perusahaan tidak mau bertanggung jawab dan malah mengancam saya untuk membayar cicilan yang belum masuk, jika tidak ingin motor saya diambil. Adakah jalur hukum yang bisa saya tempuh untuk tindak pidana penggelapan ini? Haruskan saya yang bertanggung jawab? Sementara orang itu sampai sekarang masih berstatus karyawan di perusahaan finance tersebut? Mohon pencerahannya.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Karyawan perusahaan finance yang membawa lari uang cicilan pelanggannya dapat dapat diancam dengan Pasal 372 KUHP atau Pasal 486 UU 1/2023 serta Pasal 374 KUHP atau Pasal 488 UU 1/2023 tentang tindak pidana penggelapan. Korban dapat melaporkan tindakan penggelapan ini kepada kepolisian, khususnya melalui Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT).
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran kedua dari artikel berjudul Langkah Hukum atas Penggelapan Cicilan oleh Karyawan Finance yang dibuat oleh Rizky P.P Karo Karo, S.H., M.H.dan dipublikasikan pertama kali pada Rabu, 4 Desember 2019, yang pertama kali dimutakhirkan pada Jumat, 18 Maret 2022.
Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalanselengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Beda Tindak Pidana Penipuan dan Penggelapan
KUHP yang lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan serta UU 1/2023 yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan,[1] yakni pada tahun 2026 menyebutkan bunyi pasal penipuan berikut ini:
Pasal 378 KUHP
Pasal 492 UU 1/2023
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.
Setiap orang yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau kedudukan palsu, menggunakan tipu muslihat atau rangkaian kata bohong, menggerakkan orang supaya menyerahkan suatu barang, memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapus piutang, dipidana karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu Rp500 juta.[2]
Perbuatan materiil dari penipuan adalah membujuk seseorang dengan berbagai cara yang disebut dalam ketentuan ini, untuk memberikan sesuatu barang, membuat utang atau menghapus piutang. Dengan demikian, perbuatan yang langsung merugikan itu tidak dilakukan oleh pelaku tindak pidana, tetapi oleh pihak yang dirugikan sendiri. Perbuatan penipuan baru selesai dengan terjadinya perbuatan dari pihak yang dirugikan sebagaimana dikehendaki pelaku.[3]
Sementara bunyi jerat pasal penggelapan adalah sebagai berikut:
Pasal 372 KUHP
Pasal 486 UU 1/2023
Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak Rp900 ribu.[4]
Setiap orang yang secara melawan hukum memiliki suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan karena tindak pidana, dipidana karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV, yaitu Rp200 juta.[5]
Jika dianalisis, unsur pasal penggelapan tersebut dapat diklasifikasikan atas unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektifnya adalah dengan sengaja. Kemudian, unsur objektifnya, antara lain barang siapa, menguasai secara melawan hukum, suatu benda yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dan benda tersebut berada padanya bukan karena kejahatan.
Pada tindak pidana penggelapan, barang yang bersangkutan sudah dikuasai secara nyata oleh pelaku tindak pidana. Adapun pada penggelapan, niat memiliki tersebut baru ada setelah barang yang bersangkutan untuk beberapa waktu sudah berada di tangan pelaku. Unsur tindak pidana penggelapan lainnya adalah bahwa pelaku menguasai barang yang hendak dimiliki tersebut bukan karena tindak pidana. Contoh penggelapan misalnya suatu barang berada dalam penguasaan pelaku tindak pidana sebagai jaminan utang piutang, yang kemudian pelaku menjualnya tanpa izin pemiliknya.[6]
Tindak Pidana Penggelapan dalam KUHP
Lebih lanjut, aturan mengenai tindak pidana penggelapan barang dengan objek dan subjek tertentu serta masing-masing ancaman pidananya diuraikan sebagai berikut:
KUHP
UU 1/2023
Pasal 373
Perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 372, apabila yang digelapkan bukan ternak dan harganya tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, diancam sebagai penggelapan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak Rp250 ribu.[7]
Pasal 487
Jika yang digelapkan bukan ternak atau barang yang bukan sumber mata pencaharian atau nafkah yang nilainya tidak lebih dari Rp1 juta, setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 486, dipidana karena penggelapan ringan, dengan pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta rupiah.[8]
Pasal 374
Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Pasal 488
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 486 dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang tersebut karena ada hubungan kerja, karena profesinya, atau karena mendapat upah untuk penguasaan barang tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu Rp500 juta rupiah.[9]
Pasal 375
Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang karena terpaksa diberi barang untuk disimpan, atau yang dilakukan oleh wali pengampu, pengurus atau pelaksana surat wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan, terhadap barang sesuatu yang dikuasainya selaku demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
Pasal 489
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 486 dilakukan oleh orang yang menerima Barang dari orang lain yang karena terpaksa menyerahkan Barang padanya untuk disimpan atau oleh wali, pengampu, pengurus atau pelaksana Surat wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan terhadap Barang yang dikuasainya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu Rp500 juta rupiah.[10]
Pasal 377
Dalam hal pemidanaan berdasarkan salah satu kejahatan yang dirumuskan dalam pasal 372, 374, dan 375, hakim dapat memerintahkan supaya putusan diumumkan dan dicabutnya hak-hak berdasarkan pasal 35 No. 1-4.
Jika kejahatan dilakukan dalam menjalankan pencarian maka dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian itu.
Pasal 491
Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 486, Pasal 488, atau Pasal 489, dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pengumuman putusan hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf c dan pencabutan hak satu atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86.
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam menjalankan profesinya, pelaku dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf f.
Menjawab pertanyaan Anda, kasus yang Anda tanyakan tersebut merupakan contoh kasus penggelapan. Menurut hemat kami, atas tindak pidana penggelapan oleh karyawan tersebut dapat diancam dengan Pasal 372 KUHP atau Pasal 486 UU 1/2023 serta Pasal 374 KUHP atau Pasal 488 UU 1/2023. R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 258) menyebutkan bahwa pada penggelapan menurut Pasal 372 KUHP, waktu dimilikinya barang itu sudah ada di tangan si pembuat tidak dengan jalan kejahatan.
Karyawan tersebut juga dapat dijerat dengan Pasal 374 KUHP, apabila mempertimbangkan penjelasan R. Soesilo dalam buku yang sama (hal. 259). Menurutnya, ini biasa dinamakan “penggelapan dengan pemberatan”. Pemberatan-pemberatan itu adalah:
terdakwa diserahi menyimpan barang yang digelapkan itu karena hubungan pekerjaannya (persoonlijke dienstbetrekking);
terdakwa menyimpan barang itu karena jabatannya (beroep); dan
karena mendapat upah uang (bukan upah berupa barang).
Contoh Kasus Penggelapan oleh Karyawan
Contoh kasus penggelapan lainnya, dapat kita lihat dalam Putusan PN Pekanbaru No. 834/Pid.B/2018/PN Pbr. Dalam kasus tersebut, terdakwa yang merupakan karyawan di sebuah perusahaan yang bertugas mengurusi pajak. Ketika berstatus sebagai karyawan di perusahaan tersebut, terdakwa menggelapkan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan pajak penghasilan karyawan (PPH 21) dengan cara tidak menyetorkannya ke bank (hal. 27-28).
Dalam kasus tersebut, majelis hakim berpendapat bahwa semua unsur dari Pasal 374 KUHP telah terpenuhi (hal. 28) dan terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 1 tahun 10 bulan (hal. 29).
Langkah Hukum yang Dapat Dilakukan
Terhadap tindakan yang dilakukan oleh karyawan finance yang membawa lari uang cicilan Anda, kami sarankan Anda untuk melakukan pengaduan kepada kepolisian, khususnya melalui Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (“SPKT”).
Sebagaimana informasi yang kami akses dalam laman Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT), SPKT bertugas memberikan pelayanan kepolisian kepada masyarakat, dalam bentuk penerimaan dan penanganan pertama laporan/pengaduan, pelayanan bantuan/pertolongan kepolisian, bersama fungsi terkait mendatangi tempat kejadian perkara (“TKP”) untuk melaksanakan kegiatan pengamanan dan olah TKP sesuai ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku.
Anda wajib melampirkan bukti-bukti dokumen yang mendukung, antara lain bukti dokumen tanda terima uang, bukti percakapan melalui media elektronik dengan terduga pelaku/karyawan perusahaan finance yang menerangkan tentang pembayaran, dan menyiapkan/menghubungi saksi yang mendengar, melihat, mengalami, atau mengetahui dugaan tindak pidana tersebut apabila diminta oleh penyidik nantinya.
Menurut hemat kami, Anda tidak sepenuhnya bersalah karena di satu sisi, karyawan finance tersebut sengaja tidak menyampaikan hasil pembayaran dan menggelapkan cicilan Anda. Apabila karyawan tersebut memang masih berstatus aktif/belum diputus hubungan kerjanya, maka hal tersebut dapat mempermudah pelacakan yang bersangkutan.
Setelah Anda melakukan pengaduan atas tindak pidana penggelapan tersebut, jadikan laporan polisi ini sebagai dasar untuk bernegosiasi kembali dengan perusahaan finance sembari menunggu hasil penyidikan yang dilakukan oleh polisi. Poin-poin penting dalam negosiasi ini adalah Anda telah melakukan pembayaran cicilan. Dapat disebutkan juga bahwa ada kesengajaan (dolus directus) yang dilakukan oleh karyawan dengan tidak memberikan nomor kontrak kredit.