Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Asas Business Going Concern dalam Kepailitan dan PKPU

Share
copy-paste Share Icon
Bisnis

Asas Business Going Concern dalam Kepailitan dan PKPU

Asas <i>Business Going Concern</i> dalam Kepailitan dan PKPU
Rizky Dwinanto, S.H., M.H., M.M.ADCO Law
ADCO Law
Bacaan 10 Menit
Asas <i>Business Going Concern</i> dalam Kepailitan dan PKPU

PERTANYAAN

Bagaimana penerapan asas business going concern (kelangsungan usaha) dalam proses kepailitan atau PKPU?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Penerapan dari asas business going concern (kelanjutan usaha) dalam kepailitan dapat kita jumpai dalam Pasal 179 – 184 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Selain itu, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) pada prinsipnya telah mengadopsi asas business going concern itu sendiri, sebab debitur masih berwenang melakukan tindakan kepengurusan harta kekayaannya sepanjang dengan persetujuan dari pengurus. Artinya, PKPU justru merupakan penerapan dari business going concern itu sendiri.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Asas Business Going Concern
    Elyta Ras Ginting dalam bukunya Hukum Kepailitan: Rapat-Rapat Kreditor menerangkan istilah kelangsungan usaha memiliki padanan kata dalam bahasa Inggris sebagai ‘going concern’ yang merupakan istilah yang biasa digunakan di bidang akuntansi yang berkaitan dengan laporan keuangan (financial statement) suatu perusahaan (entity) yang dibuat oleh akuntan publik secara profesional (hal. 184).
     
    Para ahli pada umumnya sependapat bahwa keadaan going concern dalam praktik bisnis digunakan sebagai parameter dalam memperkirakan kemampuan suatu entitas untuk mempertahankan kegiatan usahanya dalam jangka waktu tertentu, biasanya 1 tahun ke depan (hal. 184 – 185).
     
    Masih bersumber pada buku yang sama, meskipun tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU 37/2004”), dalam praktik pengurusan dan pemberesan harta pailit, keadaan going concern dapat dijadikan sebagai salah satu indikator untuk menentukan pilihan untuk melikuidasi jika harta pailit debitur telah insolven (hal. 185). 
     
    Elyta Ras Ginting dalam buku yang sama mengutip Michael C. Dennis dalam artikel “The Going Concept and The Auditor’s Opinion Letter” mengemukakan ada 9 indikator yang dapat dijadikan acuan bagi para akuntan untuk tidak memberikan opini going concern jika ditemukan kondisi-kondisi sebagai berikut (hal. 185 – 186):
    1. Arus uang kas minus (Negative cash flow);
    2. Mengalami kerugian secara terus-menerus (Significant net loss);
    3. Menurunnya penjualan dan permintaan secara signifikan (A serious decline in sales and in demand);
    4. Tidak dapat membayar utang kepada kreditur separatis (Default on debts owe to secured creditors);
    5. Telah melanggar kesepakatan perjanjian pinjaman (Loan covenant violation);
    6. Adanya kewajiban yang belum jatuh tempo yang harus dilaksanakan pembayarannya (Sizeable contingent liabilities);
    7. Terjadi pengembalian produk secara massal (Major products recalls);
    8. Perusahaan mendapat sanksi pajak (Taxs liens placed on the business);
    9. Perusahaan sedang digugat secara hukum atas pelanggaran hak personal dari seseorang yang dilakukan oleh perusahaan (Law suits filed against the company in particular personal injury suit).
     
    Dengan demikian, Elyta Ras Ginting menjelaskan bahwa going concern value suatu usaha dalam praktik bisnis tidak dapat diperkirakan, akan tetapi hanya mungkin diketahui dari hasil audit keuangan yang dilakukan oleh seorang ahli atau auditor yang dalam memberikan opini mengenai going concern, berpatokan pada rasio-rasio keuangan dari usaha tersebut (hal. 186).
     
    Jika kita lihat dalam UU 37/2004, tidak wajibnya campur tangan ahli untuk menilai usaha debitur masih memiliki going concern value agar dapat dilanjutkan atau tidak, mengakibatkan nasib kelangsungan usaha debitur pailit yang telah insolven sepenuhnya ditentukan oleh suara mayoritas kreditur konkuren. Para kreditur konkuren justru bisa saja tidak menghendaki usaha debitur pailit dilanjutkan, meskipun laporan keuangan debitur menunjukkan debitur solven dan ada pernyataan dari auditor bahwa usaha debitur berada dalam keadaan berjalan normal atau going concern (hal. 190 - 191).
     
    Penerapan Business Going Concern dalam Kepailitan
    Penerapan asas business going concern dapat kita jumpai pada Pasal 179 – Pasal 184 UU 37/2004.
     
    Jika dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian atau jika rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima, kurator atau kreditor yang hadir dalam rapat dapat mengusulkan supaya perusahaan debitor pailit dilanjutkan.[1]
     
    Dari ketetuan tersebut tidak didapatkan suatu parameter dan/atau ukuran yang rigid ketika kreditur meminta diterapkannya going concern terhadap debitur pailit. Selain itu, pada praktiknya, permintaan going concern juga dapat dimintakan oleh debitur atas pertimbangan subjektif dari debitur yang melihat masih layaknya perusahaan untuk dilanjutkan. 
     
    Usul untuk melanjutkan perusahaan tersebut, wajib diterima apabila usul tersebut disetujui oleh kreditur yang mewakili lebih dari ½ dari semua piutang yang diakui dan diterima dengan sementara, yang tidak dijamin dengan hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya.[2]
     
    Elyta Ras Ginting dalam buku yang sama menjelaskan bahwa di kemudian hari, jika ternyata kelangsungan usaha tersebut merugikan harta pailit, maka kurator atau kreditur dapat mengusulkan kepada hakim pengawas agar usaha tersebut dihentikan (hal. 189). Selain itu, memang pada praktiknya, jika penerapaan going concern tidak dapat lagi memberikan nilai lebih (value added) bagi mayoritas kreditur, maka dapat diajukan penghentian usaha.
     
    Penghentian kelanjutan usaha tersebut diatur dalam Pasal 183 ayat (1) UU 37/2004 yang menerangkan bahwa:
     
    Atas permintaan Kreditor atau Kurator, Hakim Pengawas dapat memerintahkan supaya kelanjutan perusahaan dihentikan
     
    Dalam hal terdapat permintaan tersebut, panitia kreditur, apabila ada, wajib didengar dan kurator wajib pula didengar apabila usul tersebut tidak diajukan oleh kurator.[3] Hakim Pengawas juga dapat mendengar kreditor dan debitor pailit.[4]
     
    Akibat hukum dari dihentikannya going concern terhadap debitur adalah kurator harus segera melakukan pemberesan (dalam hal ini penjualan) atas aset-aset debitur pailit merujuk pada tata cara yang sudah ditentukan oleh undang-undang. Pemberesan tersebut dilakukan tanpa perlu memperoleh persetujuan atau bantuan debitur.[5]
     
    Kemudian, hasil dari penjualan tersebut akan dibagikan kepada seluruh kreditur dengan asas pari passu pro rata parte. Penjelasan Pasal 176 huruf a UU 37/2004 menerangkan bahwa yang dimaksud dengan "pro rata" adalah pembayaran menurut besar kecilnya piutang masing-masing.
     
    Selain itu, patut dipahami pula bahwa jika debitor telah dinyatakan pailit, kurator masih dapat melanjutkan usahanya sebagaimana diatur dalam Pasal 104 UU 37/2004 yang menerangkan bahwa:
     
    1. Berdasarkan persetujuan panitia kreditor sementara, Kurator dapat melanjutkan usaha Debitor yang dinyatakan pailit walaupun terhadap putusan pernyataan pailit tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali.
    2. Apabila dalam kepailitan tidak diangkat panitia kreditor, Kurator memerlukan izin Hakim Pengawas untuk melanjutkan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
     
    Penerapan Business Going Concern dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)
    Perlu dipahami bahwa dasar pemikiran dari PKPU menurut Kartini Muljadi sebagaimana dikutip Sutan Remy Sjahdeini dalam bukunya Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan adalah pemberian kesempatan kepada debitur untuk melakukan restrukturisasi utang-utangnya, yang dapat meliputi pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditur konkuren, sehingga jika terlaksana dengan baik, debitur dapat memenuhi kewajibannya dan meneruskan usahanya (hal. 413). Maka dari itu, konsep PKPU sejatinya bertujuan agar debitur dapat meneruskan usahanya.
     
    Oleh karena itu, dalam PKPU memang sejak awal tidak diperlukan adanya persetujuan untuk melanjutkan bisnis perusahaan atau persetujuan usulan business going concern sebagaimana telah dijelaskan di atas. Hal ini dikarenakan debitur masih berwenang mengurus harta kekayaannya dengan persetujuan dari pengurus sebagaimana diatur dalam Pasal 240 ayat (1) UU 37/2004. Jadi, PKPU justru merupakan penerapan dari business going concern itu sendiri.
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
     
    Referensi:
    1. Sutan Remy Sjahdeini. Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan. Jakarta: Prenadamedia Group, 2016;
    2. Elyta Ras Ginting. Hukum Kepailitan: Rapat-Rapat Kreditor. Jakarta: Sinar Grafika, 2018.
     

    [1] Pasal 179 ayat (1) UU 37/2004
    [2] Pasal 180 ayat (1) UU 37/2004
    [3] Pasal 183 ayat (2) UU 37/2004
    [4] Pasal 183 ayat (3) UU 37/2004
    [5] Pasal 184 ayat (1) huruf b UU 37/2004

    Tags

    hukumonline
    penundaan kewajiban pembayaran utang

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Mengurus Akta Cerai yang Hilang

    19 Mei 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!