Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Benda Sitaan Negara
Sebelumnya, kami turut menyampaikan keprihatinan atas musibah yang dihadapi para korban travel umrah bermasalah yang Anda maksud. Kami harap, masalah tersebut dapat segera memperoleh jalan keluarnya.
Sebagai contoh, benda disita untuk keperluan pembuktian, baik pembuktian di tingkat penyidikan dan penuntutan. Dengan demikian, selama benda tersebut masih digunakan untuk keperluan pembuktian dalam proses peradilan, maka secara hukum benda tersebut memang harus berada dalam penguasaan negara dan belum bisa dikembalikan ke masyarakat yang menderita kerugian.
Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.
Penyitaan tersebut bersifat sementara. Barang yang berada di bawah penguasaan negara yang disita kemudian akan dikembalikan kepada pemilik barang atau orang yang berhak atas barang tersebut dengan memerhatikan ketentuan Pasal 46 ayat (1) KUHAP:
Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila:
kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;
perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana;
perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.
Apabila dikaitkan dengan pertanyaan Anda, maka aset perusahaan umrah yang dimaksud dapat disita oleh negara selama digunakan dalam proses peradilan dan dapat dikembalikan ke masyarakat yang menderita kerugian, berdasarkan ketentuan Pasal 46 ayat (1) KUHAP tersebut.
Barang Rampasan Negara
Namun demikian, apabila telah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang memerintahkan benda-benda yang disita tetap berada dalam penguasaan negara, maka tindakan tersebut lebih tepat disebut sebagai perampasan.
Perampasan untuk negara hanya dapat dilakukan apabila telah ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa barang tersebut dirampas untuk negara. Adapun dasar hukum yang mengaturnya yaitu Pasal 39 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) dan Pasal 46 ayat (2) KUHAP.
Pasal 39 KUHP
Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas.
Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang.
Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita.
Pasal 46 ayat (2) KUHAP
Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.
Barang sitaan tersebut kemudian beralih status menjadi barang rampasan negara. Barang rampasan negara merupakan benda sitaan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dinyatakan dirampas untuk negara.[1] Dengan demikian, suatu barang dapat dirampas untuk negara apabila barang tersebut sebelumnya merupakan hasil tindak pidana dan sudah pernah disita oleh negara.
Apabila yang Anda maksudkan adalah dirampas untuk negara, maka berdasarkan ketentuan dalam Pasal 46 ayat (2) KUHAP, barang atau aset perusahaan travel umrah yang Anda maksud itu memang tidak dapat dikembalikan ke masyarakat yang menderita kerugian.
Penentuan apakah aset tersebut dikembalikan atau dirampas untuk negara merupakan wewenangan hakim sepenuhnya, yang didasarkan pada fakta-fakta yang diperoleh dalam persidangan.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
[1] Pasal 1 angka 4 Permenkumham 16/2014