Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Cerai karena Cemburu dan Masalah Hak Asuh Anak

Share
copy-paste Share Icon
Keluarga

Cerai karena Cemburu dan Masalah Hak Asuh Anak

Cerai karena Cemburu dan Masalah Hak Asuh Anak
Sigar Aji Poerana, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Cerai karena Cemburu dan Masalah Hak Asuh Anak

PERTANYAAN

Saya menikah dengan suami saya selama 6 tahun. Selama 6 tahun suami saya hanya memberi nafkah sebanyak tiga kali dan yang diberikan pun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Tapi waktu itu saya tidak terlalu mengindahkan, karena bekerja di bidang perbankan, sehingga dapat mencukupi kebutuhan sendiri. Setahun terakhir ini, setelah saya disuruh untuk berhenti bekerja, saya sering bertengkar. Alasannya saya dituduh berselingkuh dengan orang lain. Padahal saya tidak pernah melakukannya. Suami saya merampas ponsel saya pada bulan Maret lalu untuk membuktikan bahwa saya berselingkuh dengan menghubungi nomor-nomor teman saya di WA yang berisi obrolan berbau seks. Nomor ponsel tersebut juga sengaja tidak lagi terdaftar dengan NIK saya dan diganti dengan NIK suami agar saya tidak bisa memblokir nomor tersebut. Pertanyaannya, apakah isi WA tersebut bisa dijadikan bukti di pengadilan agama ketika sidang perceraian berjalan? Padahal saya merasa tidak pernah WA siapapun dari bulan Maret, karena ponsel dibawa suami saya. Apakah dengan bukti tersebut, bisa menjadikan saya kehilangan hak asuh anak? Terima kasih.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Kecemburuan yang mengakibatkan perselisihan dan pertengkaran serta tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga dapat menjadi salah satu alasan dalam mengajukan gugatan perceraian, sebagaimana tergambar dalam Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor 572/PDT.G/2010/PJAP.
     
    Salah satu tolok ukur hak asuh atas anak dalam lingkup hukum Islam dapat dilihat dalam ketentuan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam yaitu pemeliharaan anak belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Selain itu, tidak ada tolok ukur jelas lain dalam menentukan siapa yang paling berhak dalam mendapatkan hak asuh atas anak.
     
    Lalu, apa saja hal mendasar lainnya yang dapat diperhatikan dalam menentukan hak asuh atas anak? Apakah obrolan WhatsApp yang berbau seks akan menentukan kepada siapa hak asuh akan diberikan? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Alasan-alasan Cerai
    Pertama-tama, kami akan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
     
    Pasal 38 UU Perkawinan menerangkan bahwa perkawinan dapat putus karena:
    1. kematian;
    2. perceraian; dan
    3. atas keputusan pengadilan.
     
    Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan berbunyi:
     
    Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
     
    Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:[1]
    1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
    2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya;
    3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
    4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;
    5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;
    6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.
     
    Berdasarkan keterangan yang Anda berikan, salah satu alasan perceraian adalah perselisihan dan pertengkaran yang, seperti dalam pertanyaan Anda, dapat disebabkan karena tuduhan perselingkuhan.
     
    Cemburu Berlebihan sebagai Alasan Cerai
    Sebagai contoh, dalam Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor 572/PDT.G/2010/PJAP, Penggugat dan Tergugat adalah suami istri dengan dikaruniai satu orang anak (hal. 5).
     
    Bahwa saksi pertama dan kedua mengetahui bahwa Tergugat sering marah dan cemburu kepada Penggugat. Dari kesaksian tersebut Majelis Hakim menilai bahwa tindakan Tergugat tersebut merupakan gambaran tidak harmonisnya hubungan suami istri antara Penggugat dan Tergugat. Penggugat dan Tergugat dianggap sudah tidak harmonis lagi, karena antara Penggugat dan Tergugat telah terjadi perselisihan, cekcok terus menerus (hal. 6).
     
    Bahwa dengan memperhatikan perselisihan yang terjadi dan prediksi mudharat yang akan ditimbulkan kemudian, maka Majelis Hakim berkeyakinan perceraian sudah merupakan alternatif satu-satunya yang terbaik bagi kedua belah pihak, daripada tetap mempertahankan perkawinan yang sudah rapuh (hal. 7). Majelis Hakim mengabulkan gugatan Penggugat dan menjatuhkan talak satu (hal. 8).
     
    Berdasarkan putusan tersebut, kecemburuan yang mengakibatkan perselisihan antar suami-istri dapat menjadi alasan diajukannya gugatan cerai.
     
    Obrolan Seks
    Lebih lanjut di dalam pertanyaan disinggung adanya obrolan berbau seks melalui aplikasi WhatsApp (“WA”). Dari rangkaian keterangan yang Anda berikan, kami asumsikan bahwa suami Anda merekayasa adanya obrolan-obrolan berbau seks bersama teman-teman Anda yang nyatanya tidak pernah Anda lakukan. Hal ini penting guna menguraikan unsur-unsur tindak pidana apa saja yang dapat dikenakan ke suami Anda.
     
    Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (“UU Pornografi”):
     
    Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
     
    Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:[2]
    1. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
    2. kekerasan seksual;
    3. masturbasi atau onani;
    4. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
    5. alat kelamin; atau
    6. pornografi anak.
     
    Menurut Adami Chazawi dalam bukunya Tindak Pidana Pornografi (hal. 122-123), membuat adalah perbuatan dengan cara apapun terhadap suatu barang yang belum ada menjadi ada. Selesainya tindak pidana diletakkan pada adanya objek pornografi yang dihasilkan.
     
    Selain itu, setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi.[3] Masih menurut Adami Chazawi dalam buku yang sama (hal. 178), perbuatan menjadikan harus dilakukan oleh orang lain baik dengan persetujuan atau tidak dari orang yang dijadikan model.
     
    Pasal 29 dan Pasal 35 UU Pornografi kemudian mengatur bahwa:
     
    Pasal 29 UU Pornografi
    Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
     
    Pasal 35 UU Pornografi
    Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
     
    Dengan demikian, menurut hemat kami, suami Anda dapat dipidana, karena merekayasa obrolan berbau seks dengan Anda sebagai objeknya.
     
    Selain itu, dalam artikel Mengirim Voice Note Mesum, Bisakah Dijerat UU Pornografi?, konten pornografi melalui WA juga dapat dipidana berdasarkan pelanggaran terhadap Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”). Ketentuan tersebut menerangkan bahwa:
     
    Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
     
    Yang dimaksud dengan “mendistribusikan” adalah mengirimkan dan/atau menyebarkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik kepada banyak orang atau berbagai pihak melalui sistem elektronik. Yang dimaksud dengan “mentransmisikan” adalah mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen eletronik yang ditujukan kepada satu pihak lain melalui sistem elektronik.[4]
     
    Terhadap pelanggaran ketentuan tersebut, Pasal 45 ayat (1) UU 19/2016 berbunyi:
     
    Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
     
    Berdasarkan ketentuan tersebut, maka suami Anda juga dapat dipidana jika mengirimkan obrolan berbau seks melalui WA. Alih-alih sekadar menjadikannya alat bukti pada sidang perceraian, Anda dapat melaporkan suami Anda terlebih dahulu ke pihak kepolisian atas tindak pidana pornografi dan/atau tindak pidana kesusilaan melalui sistem elektronik.
     
    Hak Asuh Anak Ketika Bercerai
    Lebih lanjut, akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah:[5]
    1. baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya;
    2. bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
    3. pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
     
    Berdasarkan uraian tersebut, jika terjadi perceraian, ayah dan ibu dari si anak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata, karena kepentingan anak. Jika ada perselisihan terkait penguasaan anak, maka diputuskan oleh pengadilan.
     
    Selain itu, kami menemukan tolok ukur lain dalam hak pengasuhan anak dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”). Pasal 105 KHI menerangkan bahwa:
     
    Dalam hal terjadinya perceraian:
    1. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
    2. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya;
    3. biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
     
    Berdasarkan ketentuan tersebut, maka pemeliharaan anak di bawah 12 tahun jatuh kepada Anda sebagai ibu dari anak Anda. Jika anak telah mumayyiz, maka anak menentukan sendiri akan diasuh oleh siapa.
     
    Selain itu, dalam artikel Hak Asuh Anak Harus Menjamin Kepentingan Terbaik Anak, Pengajar hukum Islam di Universitas Indonesia, Farida Prihatini menyatakan hak asuh anak juga tidak tertutup kemungkinan diberikan kepada sang ayah, jika ibu memilki kelakuan yang tidak baik, serta diangap tidak cakap untuk menjadi seorang ibu terutama dalam mendidik anaknya. Yang diutamakan itu adalah untuk kebaikan si anak. Standarnya, menurut Farida, yang bersangkutan punya akhlak baik, punya pengetahuan yang baik untuk mendidik anak.
     
    Berdasarkan uraian tersebut serta penelusuran kami, tidak ada tolok ukur untuk menentukan siapa yang paling berhak mendapatkan hak asuh anak. Dalam hal ini, yang paling diutamakan adalah kepentingan atau kebaikan anak tersebut.
     
    Contoh Putusan Penentuan Hak Asuh Anak
    Dalam Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 1514/Pdt.G/2007/PAJS, Penggugat mendapatkan hak asuh atas tiga anak hasil perkawinannya dengan Tergugat (hal. 48).
     
    Dalam persidangan, Penggugat membawa bukti tertulis berupa laporan ketercapaian kompetensi Sekolah Dasar dan laporan hasil belajar siswa ketiga anaknya dalam rentang 2006, 2007, dan 2008 yang ditandatangani oleh Penggugat yang mengurus, mendidik dan memonitor perkembangan pendidikan anak-anaknya itu. Penggugat khawatir seandainya Penggugat tidak memperoleh hak pemeliharaan dan pengasuhan anak-anaknya tersebut, maka pendidikannya menjadi tidak baik sebagaimana terbukti dengan keadaannya sekarang yang sering tidak masuk sekolah (hal. 31).
     
    Penggugat juga menunjukkan ijazah strata satunya dan Majelis Hakim berpendapat bukti tersebut merupakan sesuatu yang meyakinkan kelayakan Penggugat ditunjuk sebagai pemegang hak pengasuhan dan pemeliharaan atas anak-anaknya tersebut (hal. 31 – 32).
     
    Berdasarkan keterangan saksi, Penggugat telah berperilaku yang baik selama ini kepada anak-anak kandungnya, antara lain memperhatikan masalah makanannya, sekolahnya, tugas dari sekolah, dan belajar mengajinya di rumah (hal. 32).
     
    Di sisi lain, untuk mencegah Penggugat memperoleh hak asuh anak, Tergugat menerangkan bahwa Penggugat tidak pantas untuk mendapatkan hak asuh, karena Penggugat mengkonsumsi alkohol, pernah pulang dalam keadaan mabuk, dan mengkonsumsi narkotika (hal. 32 – 33).
     
    Berdasarkan pertimbangan hukum, Majelis Hakim berpendapat perbuatan Penggugat yang menurut kesaksian para saksi yang dihadirkan Tergugat terjadi pada tahun 2004, 2005 dan 2006, yang merupakan kejadian insidentil pada waktu tertentu tersebut, yang telah dibantah kebenarannya oleh Penggugat untuk sebagian besarnya, belumlah dapat dikategorikan ke dalam keadaan yang dapat menyebabkan hilangnya hak pengasuhan dan pemeliharaan Penggugat atas anak-anaknya tersebut (hal. 34).
     
    Berdasarkan putusan tersebut dan uraian di atas, menurut hemat kami, sepanjang Anda menunjukkan akhlak dan pengetahuan yang baik dalam mengurus anak, maka hak asuh akan diberikan kepada Anda. Sebaliknya, jika Anda memiliki perangai yang berbahaya bagi kepentingan anak, maka hak asuh akan diberikan kepada pihak lain.
     
    Patut diperhatikan bahwa perilaku buruk tidak serta merta menghapuskan hak Anda untuk memelihara dan mengasuh anak sepanjang, menurut hemat kami, perilaku tersebut bukanlah kebiasaan Anda dan Anda dapat membuktikannya.
     
    Berkaitan dengan obrolan seks yang telah disinggung sebelumnya, jika pengadilan memutus bersalah suami Anda, maka, menurut hemat kami, salinan putusan tersebut dapat Anda jadikan bukti dengan surat dalam perkara perceraian Anda, baik sebagai dasar perceraian dan pengambilalihan hak asuh atas anak. Secara khusus mengenai hak asuh atas anak, putusan bersalah tersebut dapat menjadi cerminan ketidaklayakan suami Anda untuk mendapatkan hak asuh atas anak.
     
    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik Hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
     
    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
     
    Putusan:
    1. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 1514/Pdt.G/2007/PAJS;
     
    Referensi:
    Adami Chazawi. Tindak Pidana Pornografi. Jakarta: Sinar Grafika, 2016.
     

    [1] Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan
    [2] Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi
    [3] Pasal 9 UU Pornografi
    [4] Penjalasan Pasal 27 ayat (1) UU 19/2016
    [5] Pasal 41 UU Perkawinan

    Tags

    hak
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Pindah Kewarganegaraan WNI Menjadi WNA

    25 Mar 2024
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!