Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Kode Etik Advokat
Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.
Seorang advokat tunduk kepada UU Advokat dan
Kode Etik Advokat Indonesia (“KEAI”). Setiap dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh seorang advokat dapat dilaporkan kepada
Dewan Kehormatan Organisasi Advokat, sesuai dengan tata cara yang diatur dalam
Pasal 11 dan Pasal 12 KEAI. Jika terbukti melanggar KEAI, advokat tersebut dapat dikenai sanksi mulai dari peringatan biasa, peringatan keras, pemberhentian sementara untuk waktu tertentu, atau pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi.
[1]
Akan tetapi, perlu digarisbawahi bahwa pelanggaran yang dimaksud terkait pelanggaran kode etik saja. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 11 ayat (3) KEAI:
Pengaduan yang dapat diajukan hanyalah yang mengenai pelanggaran terhadap Kode Etik Advokat.
Keputusan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat tidak menghilangkan tanggung jawab pidana apabila pelanggaran kode etik profesi advokat mengandung unsur pidana.
Pemanggilan Advokat
Sebagaimana pernah diuraikan dalam artikel
Polri Tidak Bisa Panggil Advokat Sembarangan, untuk keperluan pemanggilan advokat, polri harus menyampaikan pemanggilan tersebut melalui pimpinan organisasi advokat di mana advokat yang bersangkutan bernaung. Setelah menerima surat dimaksud, pimpinan pusat organisasi advokat akan melakukan telaah mengenai:
apakah informasi yang disampaikan itu termasuk dan berkaitan dengan advokat dalam menjalankan profesi?
apakah informasi yang disampaikan itu merupakan tindakan melawan hukum pidana yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan dalam profesi advokat?
Jika ternyata pemanggilan berkaitan dengan profesi advokat atau sumpah jabatan advokat, maka pimpinan organisasi advokat tidak akan mengizinkan advokat tersebut untuk diperiksa baik sebagai saksi maupun tersangka. Advokat bersangkutan dapat mengundurkan diri sebagai saksi karena advokat wajib menjaga rahasia kliennya, sesuai ketentuan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”).
Di sisi lain, Pasal 19 UU Advokat dan Pasal 4 huruf h KEAI, mengatur bahwa:
Pasal 19 UU Advokat:
Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari Kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang.
Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan Klien, termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik Advokat.
Pasal 4 huruf h KEAI:
Advokat wajib memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberitahukan oleh klien secara kepercayaan dan wajib tetap menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antara Advokat dan kliennya itu.
Advokat juga bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.[2] Advokat juga dilindungi oleh Pasal 170 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan bahwa:
Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.
Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan.
Dengan demikian, menurut hemat kami, pemeriksaan advokat untuk suatu dugaan tindak pidana dimungkinkan, sepanjang telah melalui proses pemeriksaan internal organisasi advokat. Sekalipun memiliki kebebasan dalam menjalankan tugas profesi, diharuskan menjaga rahasia klien, dan tidak dapat dituntut dalam menjalankan tugas profesinya, seorang advokat tetap harus tunduk pada kode etik, peraturan perundang-undangan, dan memiliki iktikad baik untuk tidak melanggar hukum.
Pemeriksaan terkait Fee Advokat
Apabila pemanggilan dan pemeriksaan terhadap advokat terkait dengan fee jasa hukum yang diterimanya,maka ketentuan Pasal 21 UU Advokat dan Pasal 4 huruf d dan e KEAI juga perlu diingat. Masing-masing berbunyi sebagai berikut:
Pasal 21 UU Advokat
Advokat berhak menerima Honorarium atas Jasa Hukum yang telah diberikan kepada Kliennya.
Besarnya Honorarium atas Jasa Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak.
Pasal 4 huruf d dan e KEAI
Dalam menentukan besarnya honorarium Advokat wajib mempertimbangkan kemampuan klien.
Advokat tidak dibenarkan membebani klien dengan biaya-biaya yang tidak perlu.
Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Dari pasal tersebut dapat dipahami bahwa masyarakat diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja. Kebebasan ini termasuk juga kebebasan para pihak dalam perjanjian untuk menentukan sendiri hukum yang akan digunakan dalam bidang perjanjian. Batasan bagi pembuatan perjanjian hanyalah apa-apa yang tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yang berbunyi:
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;
kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
suatu pokok persoalan tertentu;
suatu sebab yang tidak terlarang.
Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan, Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Yang dimaksud dengan "patut diduganya" adalah suatu kondisi yang memenuhi setidak-tidaknya pengetahuan, keinginan, atau tujuan pada saat terjadinya transaksi yang diketahuinya yang mengisyaratkan adanya pelanggaran hukum.
[3]
Sehingga, menurut hemat kami, harus diperiksa terlebih dahulu apakah pemberian fee tersebut ditujukan murni sebagai fee atas jasa profesionalnya, atau merupakan titipan dari klien untuk menyelamatkan aset klien yang merupakan tersangka dalam suatu tindak pidana. Jika memang si advokat sejak semula mengetahui bahwa fee tersebut berasal dari atau ditujukan untuk melakukan pencucian uang, maka yang bersangkutan dapat dipidana.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Putusan:
Referensi:
[1] Pasal 16 ayat (1) KEAI
[3] Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU 8/2010