Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Hak dan Kewajiban dalam Tindakan Medis
Istilah “tindakan kedokteran” dalam peraturan perundang-undangan seringkali menjadi padanan istilah “tindakan medis”.
diagnosis dan tata cara tindakan medis;
tujuan tindakan medis yang dilakukan;
alternatif tindakan lain dan risikonya;
risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
Lebih lanjut, tindakan bedah atau tindakan invasif lainnya termasuk dalam tindakan medis berisiko tinggi yang membutuhkan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
[2]
Standar Pelayanan Rumah Sakit dan Kedokteran
Dalam melangsungkan tindakan medis, terdapat standar pelayanan rumah sakit yang harus dipatuhi. Setiap rumah sakit mempunyai kewajiban, salah satunya, membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit sebagai acuan dalam melayani pasien.
[3]
Standar pelayanan rumah sakit mencakup, di antaranya,
standar prosedur operasional,
standar pelayanan medis, dan
standar asuhan keperawatan.
[4] Atas adanya standar tersebut, setiap pasien berhak untuk memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional.
[5]
Standar pelayanan medis yang diterapkan di rumah sakit, menurut Nomensen Sinamo dalam bukunya Hukum Kesehatan & Sengketa Medik, terdiri dari 2 bagian, yaitu yang memuat tentang standar penyakit dengan 12 spesialisasi kasus-kasus penting dan tentang standar pelayanan penunjang dengan 3 spesialisasi yang masing-masing dirinci berdasarkan prosedur tindakan yang harus ditangani oleh spesialisasi yang bersangkutan (hal. 82).
Standar penyakit dengan 12 spesialisasi kasus-kasus penting meliputi (hal. 82):
bagian bedah;
bagian bedah ortopedi;
bagian jiwa;
bagian kardiologi;
bagian kulit dan kelamin;
bagian obstetri dan ginekologi;
bagian paru;
bagian penyakit dalam;
bagian penyakit anak;
bagian saraf;
bagian mata;
bagian THT
Sementara standar pelayanan penunjang meliputi bagian anastesi, bagian patologi dan anatomi forensik, klinik dan radiologi (hal. 82).
Standar pelayanan kedokteran ini meliputi Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (“PNPK”) dan Standar Prosedur Operasional (“SPO”).
[7] SPO dibuat dan ditetapkan oleh pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan.
[8]
Kode Etik Kedokteran
Selanjutnya, standar pelayanan kedokteran tersebut juga diatur dalam
Kode Etik Kedokteran Indonesia (“KEKI”), secara khusus kami akan berpedoman pada Pasal 2 KEKI tentang Standar Pelayanan Kedokteran yang Baik. Pada Pasal 2 ayat (1) KEKI disebutkan seorang dokter wajib mempertahankan standar profesi, integritas moral, dan kejujuran intelektual dirinya sebagai dasar pengambilan keputusan professional.
Jika situasi fasilitas pelayanan kesehatan tidak optimal atau kurang memadai untuk mendukung pelayanan yang diberikan, pengambilan keputusan profesional wajib diwujudkan dalam atau disertai dengan perilaku profesional terbaik dokter demi kepentingan terbaik pasien.
[9]
Selanjutnya, setiap dokter secara sendiri-sendiri maupun bersama melalui organisasi profesi kedokteran wajib memperjuangkan dipenuhinya fasilitas, sarana dan prasarana sesuai dengan standar minimal dan/atau pedoman nasional pelayanan kedokteran yang menjamin dipenuhinya keselamatan pasien.
[10]
Penjelasan Pasal 2 ayat (6) KEKI menyatakan untuk mengatasi ketimpangan fasilitas yang dapat menganggu dilaksanakannya pencapaian standar profesi dan pedoman nasional pelayanan kedokteran adalah tugas pemilik fasilitas tersebut, termasuk pemerintah dan pemerintah daerah.
Di sisi lain, tentang pemberian bius total juga diatur dalam Pasal 5 KEKI tentang Perbuatan Melemahkan Psikis maupun Fisik.
Setiap dokter wajib memberikan informasi memadai dengan jujur dan cara yang santun kepada pasien dan/atau keluarganya ketika ia akan memberikan tindakan atau obat yang berakibat penurunan daya tahan fisik pasien walaupun belum tentu menurunkan daya tahan psikisnya.
[11] Tindakan, seperti pembiusan prabedah, pemberian obat pra anestesi/anestesi untuk kejang atau nyeri tak tertahankan merupakan tindakan yang dibenarkan.
[12]
Tuntutan kepada Rumah Sakit
Berdasarkan uraian di atas, tindakan pembiusan dapat dikategorikan sebagai bagian dari tindakan medis karena tindakan tersebut dilakukan sebelum dilakukannya bedah.
Menjawab pertanyaan Anda, rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit.
[13]
Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (“MKDKI”).
[14] Jika tidak mampu mengadukan secara tertulis, Anda dapat mengadukan secara lisan kepada MKDKI.
[15]
Pengaduan tersebut sekurang-kurangnya harus memuat:
[16]identitas pengadu;
nama dan alamat tempat praktik dokter dan waktu tindakan dilakukan; dan
alasan pengaduan.
MKDKI dapat memberikan sanksi disiplin kepada dokter berupa:
[17]pemberian peringatan tertulis;
rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik; dan/atau
kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran.
Di sisi lain, jika terjadi pelanggaran, salah satunya, atas kewajiban rumah sakit atas pelaksanaan standar pelayanan rumah sakit, maka rumah sakit dapat dikenakan sanksi administratif berupa:
[18]teguran;
teguran tertulis; atau
denda dan pencabutan izin rumah sakit.
Selain itu, berdasarkan Pasal 58 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterima.
[19]
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat
Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan
Konsultan Mitra Justika.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
Nomensen Sinamo. Hukum Kesehatan & Sengketa Medik. Jakarta: Jala Permata Aksara, 2019.
[1] Pasal 45 ayat (3)
jo. Pasal 52 UU 29/2004
[2] Pasal 45 ayat (5) UU 29/2004 dan penjelasannya
[3] Pasal 29 ayat (1) huruf g UU 44/2009
[4] Penjelasan Pasal 29 ayat (1) huruf b UU 44/2009
[5] Pasal 32 huruf d UU 44/2009
[6] Pasal 44 ayat (1) UU 29/2004
[7] Pasal 3 ayat (1) Permenkes 1438/2010
[8] Pasal 3 ayat (3) Permenkes 1438/2010
[9] Pasal 2 ayat (4) KEKI
[10] Pasal 2 ayat (6) KEKI
[11] Pasal 5 ayat (1) KEKI
[12] Penjelasan Pasal 5 KEKI
[14] Pasal 66 ayat (1) UU 29/2004
[15] Penjelasan Pasal 66 ayat (1) UU 29/2004
[16] Pasal 66 ayat (2) UU 29/2004
[17] Pasal 69 ayat (3) UU 29/2004
[18] Pasal 29 ayat (2) UU 44/2009
[19] Pasal 58 ayat (1) UU 36/2009