Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Hukumnya Menjual dan Makan Daging Anjing

Share
copy-paste Share Icon
Perlindungan Konsumen

Hukumnya Menjual dan Makan Daging Anjing

Hukumnya Menjual dan Makan Daging Anjing
Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Hukumnya Menjual dan Makan Daging Anjing

PERTANYAAN

Beberapa waktu lalu, terdapat truk bermuatan puluhan anjing yang akan dikirimkan ke Solo untuk dijagal, dijual, dan dikonsumsi. Sebenarnya bagaimana hukumnya makan daging anjing? Karena sampai saat ini alasan orang mengonsumsi daging anjing adalah karena dipercaya bermanfaat untuk pengobatan berbagai penyakit.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Sepanjang penelusuran kami, berbagai peraturan perundang-undangan memang tidak menggolongkan daging anjing secara eksplisit sebagai produk hewan yang dapat dikonsumsi. Namun SE Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Nomor 9874/SE/pk.420/F/09/2018 telah menegaskan bahwa daging anjing bukan merupakan pangan.

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Hukumnya Mengonsumsi Daging Anjing yang pertama kali dipublikasikan pada 19 Desember 2019.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Produk Hewan sebagai Pangan

    Berbicara mengenai hukumnya makan daging anjing karena manfaat daging anjing untuk pengobatan, ada perlunya kita menilik beberapa peristilahan yang terkait. Pertama, pengertian pangan yang tercantum dalam Pasal 64 angka 1 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 1 angka 1 UU 18/2012:

    Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.

    Selain itu, UU 18/2009 dan perubahannya mendefinisikan ternak adalah hewan peliharaan yang produknya diperuntukkan sebagai penghasil pangan, bahan baku industri, jasa, dan/atau hasil ikutannya yang terkait dengan pertanian.[1]

    Dalam rangka menjamin produk hewan yang aman, sehat, utuh, dan halal bagi yang dipersyaratkan, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban melaksanakan pengawasan, pemeriksaan, pengujian, standardisasi, sertifikasi, dan registrasi produk hewan. Pengawasan, pemeriksaan, dan pengujian produk hewan berturut-turut dilakukan di tempat produksi, pada waktu pemotongan, penampungan, dan pengumpulan, pada waktu dalam keadaan segar, sebelum pengawetan, dan pada waktu peredaran setelah pengawetan.[2]

    Produk hewan yang diproduksi di dan/atau dimasukkan ke wilayah Indonesia untuk diedarkan wajib disertai:[3]

    1. sertifikat veteriner yaitu surat keterangan yang dikeluarkan oleh dokter hewan berwenang yang menyatakan bahwa hewan dan produk hewan telah memenuhi persyaratan keamanan, kesehatan, dan keutuhan;[4] dan
    2. sertifikat halal bagi produk hewan yang dipersyaratkan.

    Ketentuan Produk Hewan di Solo

    Sementara itu, menyambung pertanyaan Anda, kota Solo atau Surakarta sendiri telah memiliki dua peraturan daerah yaitu Perda Surakarta 9/2015 dan Perwali Surakarta 4/2019. Dalam Perda 9/2015 diuraikan bahwa produk hewan adalah semua bahan yang berasal dari hewan yang masih segar dan/atau telah diolah atau diproses untuk keperluan konsumsi, farmakoseutika, pertanian, dan/atau kegunaan lain bagi pemenuhan kebutuhan dan kemaslahatan manusia.[5]

    Produk hewan yang diproduksi di dan/atau dimasukkan ke daerah untuk diedarkan wajib disertai dengan sertifikat veteriner dan sertifikat halal bagi hewan yang dipersyaratkan.[6]

    Unit usaha produk hewan sendiri termasuk:[7]

    1. rumah potong hewan ruminansia (RPH-R), rumah potong hewan unggas (RPH-U), rumah potong hewan babi;
    2. usaha pemasukan dan pengeluaran produk hewan;
    3. tempat pemerahan;
    4. usaha distribusi dan/atau usaha ritel (pengecer) produk hewan, meliputi pelaku usaha yang mengelola gudang pendingin daging (cold storage), unit pendingin susu (milk cooling centre), gudang pendingin susu, tempat penampungan susu, toko/kios daging (meat shop), pengemasan dan pelabelan telur serta tempat penjualan produk hewan;
    5. usaha pengolahan produk hewan.

    Rumah potong hewan yang dimaksud di atas merupakan suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan desain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong hewan bagi konsumsi masyarakat umum.[8]

    Selain itu, setiap orang yang menyelenggarakan unit usaha produk hewan wajib memiliki Nomor Kontrol Veteriner (NKV). Untuk mendapatkannya, unit usaha produk hewan harus memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi.[9]

    Larangan Makan Daging Anjing

    Uraian di atas menunjukkan bahwa daging anjing tidak diakui secara eksplisit sebagai salah satu produk hewan yang dapat dikonsumsi. Menurut hemat kami, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam memproduksi produk hewan di atas seharusnya juga dapat mencegah produksi daging anjing. Hal ini terlepas dari adanya perdebatan mengenai larangan makan daging anjing itu sendiri.

    Selain itu, apabila berpedoman pada Bagian E SE Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Nomor 9874/SE/pk.420/F/09/2018, telah ditegaskan bahwa daging anjing tidak termasuk dalam definisi pangan. Para pihak yang menjadi subjek surat tersebut juga diimbau diantaranya untuk:

    1. tidak menerbitkan Sertifikat Veteriner (Surat Keterangan Kesehatan Produk Hewan/SKKPH) khusus untuk daging anjing apabila diketahui untuk konsumsi dan Surat Rekomendasi Pemasukan Daging Anjing Konsumsi serta memperketat pengawasan lalu lintas peredaran/perdagangan daging anjing;
    2. tetap menerbitkan Sertifikat Veteriner (Surat Keterangan Kesehatan Produk Hewan/SKKPH) sebagai persyaratan administrasi lalu lintas anjing hidup dan Surat Rekomendasi Pemasukan anjing hidup disertai dengan hasil uji laboratorium dengan minimal mencantumkan asal, tujuan, dan peruntukannya (sebagai anjing peliharaan/kesayangan/berburu);
    3. membuat surat imbauan secara tertulis di wilayah masing-masing untuk tidak melakukan peredaran dan/atau perdagangan daging anjing secara komersial.

    Pemerintah sendiri melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan dalam lamannya menyatakan telah melakukan komunikasi, informasi dan edukasi terkait perdagangan anjing baik dalam bentuk seminar, talkshow, aksi, petisi, dan sebagainya.

    Sebagai contoh daerah yang melarang memperjualbelikan atau makan daging anjing, Walikota Malang melalui SE Walikota Malang No. 5/2022 menyatakan larangan bagi pedagang untuk menjual produk daging anjing di pasar rakyat, pasar modern, dan tempat berdagang lainnya. Para pelaku usaha, resto, warung, dan pedagang kaki lima pun dilarang menyediakan makanan dari bahan yang berasal dari produk daging anjing. Atas pelanggaran penjualan daging anjing tersebut, Satpol PP akan melakukan penindakan.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan;
    2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan;
    3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang telah ditetapkan sebagai undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023;
    4. Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 9 Tahun 2015 tentang Kesehatan Hewan, Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan;
    5. Peraturan Walikota Surakarta Nomor 4 Tahun 2019 tentang Penjaminan Higiene dan Sanitasi Produk Hewan;
    6. Surat Edaran Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Nomor 9874/SE/pk.420/F/09/2018 tentang Peningkatan Pengawasan Terhadap Peredaran/Perdagangan Daging Anjing;
    7. Surat Edaran Walikota Malang Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pengendalian Peredaran dan Perdagangan Daging Anjing.

    Referensi:

    Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan, yang diakses pada 9 Januari 2024, pukul 13.00 WIB.


    [1] Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (“UU 41/2014”)

    [2] Pasal 58 ayat (1) dan (2) UU 41/2014

    [3] Pasal 58 ayat (4) UU 41/2014

    [4] Penjelasan Pasal 58 ayat (4) huruf a UU 41/2014

    [5] Pasal 1 angka 21 Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 9 Tahun 2015 tentang Kesehatan Hewan, Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan (“Perda 9/2015”)

    [6] Pasal 26 ayat (4) Perda 9/2015

    [7] Pasal 4 Peraturan Walikota Surakarta Nomor 4 Tahun 2019 tentang Penjaminan Higiene dan Sanitasi Produk Hewan (“Perwali 4/2019”)

    [8] Pasal 1 angka 14 Perwali 4/2019

    [9] Pasal 3 ayat (1) dan (2) Perwali 4/2019

    Tags

    perlindungan konsumen
    peternakan

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Dasar Hukum Poligami di Indonesia dan Prosedurnya

    1 Nov 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!