KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Kriteria Video yang Dapat Dijadikan Alat Bukti dalam Terorisme

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Kriteria Video yang Dapat Dijadikan Alat Bukti dalam Terorisme

Kriteria Video yang Dapat Dijadikan Alat Bukti dalam Terorisme
Nelson Nikodemus Simamora, S.H.LBH Jakarta
LBH Jakarta
Bacaan 10 Menit
Kriteria Video yang Dapat Dijadikan Alat Bukti dalam Terorisme

PERTANYAAN

Saya punya pertanyaan mengenai alat bukti tindak pidana terorisme. Seperti apa kriteria rekaman video yang bisa dijadikan alat bukti dalam tindak pidana terorisme? Video seperti apa yang bisa dijadikan alat bukti dalam tindak pidana terorisme? Dan dasar hukumnya seperti apa?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Video dapat dijadikan alat bukti sepanjang persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
     
    Apa dasar hukumnya? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Tindak Pidana Terorisme
    Perlu diuraikan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (“Perppu 1/2002”) sebagaimana telah ditetapkan menjadi undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang (“UU 5/2018”), yaitu:
     
    Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
     
    Sedangkan pada Pasal 1 angka 2 UU 5/2018 disebutkan tentang pengertian terorisme:
     
    Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
     
    Tindak pidana terorisme selanjutnya diatur dalam pasal-pasal berikut yang terkandung dalam Bab III tentang Tindak Pidana Terorisme Perppu 1/2002, termasuk yang menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan, yang memberi bantuan terhadap pelaku, dan sebagainya.
     
    Alat Bukti Tindak Pidana Terorisme
    Menurut hemat kami, alat bukti merupakan dasar penegakan hukum dalam hukum pidana. Hampir semua tindakan yang dilakukan Kepolisian didasarkan pada alat bukti, seperti dalam melakukan penangkapan, penahanan, dan juga menjadikan seseorang sebagai tersangka, harus didasarkan pada alat bukti sebagaimana diatur dalam undang-undang. Proses penggeledahan dan penyitaan juga dilakukan untuk mencari alat bukti untuk membuat terang suatu tindak pidana.
     
    Tentang alat bukti secara umum diatur dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“UU 8/1981”):
    1. Alat bukti yang sah ialah:
    1. Keterangan saksi;
    2. Keterangan ahli;
    3. Surat;
    4. Petunjuk;
    5. Keterangan terdakwa.
    1. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
     
    Patut diperhatikan bahwa Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 memutus bahwa frasa “alat bukti keterangan saksi” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang pengertian saksi tidak dimaknai, termasuk pula, “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri” (hal. 92).
     
    Video pertama kali diadopsi sebagai alat bukti dalam hukum pembuktian di Indonesia sebagai alat bukti petunjuk melalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU 20/2001”), tepatnya pada Pasal 26A UU 20/2001:
    Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari:
    1. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
    2. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
     
    Kemudian, aturan hukum tentang tindak pidana terorisme menyebutkan pula bahwa video dapat dijadikan alat bukti tersendiri dalam proses hukum terhadap tindak pidana terorisme sebagaimana disebutkan dalam Pasal 27 Perppu 1/2002:
    Alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi:
    1. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;
    2. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
    3. Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada :
      1. tulisan, suara, atau gambar;
      2. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;
      3. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
     
    Terkait kedudukan video sebagai alat bukti petunjuk, baiknya dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan alat bukti petunjuk sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) huruf d UU 8/1981 yang diatur lebih lanjut dalam Pasal 188 UU 8/1981:
    1. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya;
    2. Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari:
    1. Keterangan saksi;
    2. Surat;
    3. Keterangan terdakwa.
    1. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.
     
    Eddy O.S. Hiariej dalam bukunya Teori dan Hukum Pembuktian (hal. 52) juga menyebutkan bahwa kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk didasari pengamatan hakim untuk menilai persesuaian antara fakta-fakta yang ada dengan tindak pidana yang didakwakan dan juga persesuaian antara masing-masing alat bukti dengan fakta dan tindak pidana yang didakwakan. Dari frasa “adanya persesuaian” dapat disimpulkan bahwa sekurang-kurangnya harus ada dua petunjuk untuk mendapatkan bukti yang sah. Kekuatan pembuktiannya terletak pada hubungan banyak atau tidaknya perbuatan yang dianggap sebagai petunjuk dengan perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa.
     
    Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, maka terdapat hukum positif yang bisa memayungi video sebagai bagian dari informasi elektronik yang dapat dipergunakan sebagai alat bukti sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 UU 19/2016 dan Pasal 5 UU ITE:
     
    Pasal 1 angka 1 UU 19/2016
    Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk, tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
     
    Pasal 5 UU ITE
      1. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum yang sah.
      2. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
     
    Patut diperhatikan bahwa frasa “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, khususnya, frasa “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU 19/2016.
     
    Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, video merupakan informasi elektronik dan dapat dipergunakan sebagai alat bukti, yakni bukti petunjuk.
     
    Sedangkan, kriteria rekaman video yang bisa dijadikan alat bukti dalam tindak pidana terorisme adalah sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 188 UU 8/1981, yaitu memiliki kekuatan pembuktian, karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
     
    Untuk menjadikan rekaman video sebagai alat bukti, rekaman video tersebut harus berkesesuaian dengan alat bukti lainnya, seperti keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa, tentunya dalam konteks tindak pidana terorisme sebagaimana diatur dalam Bab III tentang Tindak Pidana Terorisme Perppu 1/2002.
     
    Selain itu, video termasuk pula sebagai alat bukti digital dan ada 5 aturan umum dalam pembuktian alat bukti digital menurut Rohit Tamma, et.al dalam bukunya Practical Mobile Forensics (Third Edition) (hal. 28):
      1. Cara pengumpulannya dilakukan sesuai dengan hukum (admissible);
      2. Tingkat keasliannya terjaga (authentic);
      3. Dapat merefleksikan keseluruhan kejadian (complete);
      4. Alat dan metodologi yang dipergunakan dalam proses pengumpulan harus sesuai dengan standar (reliable); dan
      5. Alat bukti yang disajikan haruslah jelas, mudah dimengerti dan dapat dipercaya (believable).
     
    Lima aturan umum tersebut dalam kaitannya dengan proses penyidikan diatur lebih lanjut dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 22 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Tata Cara dan Persyaratan Permintaan Pemeriksaan Teknis Kriminalistik Tempat Kejadian Perkara dan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti kepada Laboratorium Forensik Kepolisian Negara Republik Indonesia mengenai pemeriksaan barang bukti perangkat elektronik, telekomunikasi, komputer (bukti digital), dan penyebab proses elektrostatis.
     
    Sementara, pengelolaan barang bukti secara umum diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
     
    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
     
    Putusan:
    1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010;
     
    Referensi:
    1. Eddy O. S. Hiariej. Teori dan Hukum Pembuktian. Jakarta: Erlangga, 2012;
    2. Rohit Tamma, et.al. Practical Mobile Forensics (Third Edition). Birmingham: Packt Publishing, 2019.

    Tags

    rekaman
    acara peradilan

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Ingin Rujuk, Begini Cara Cabut Gugatan Cerai di Pengadilan

    1 Sep 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!