Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Dapatkah Debt Collector Bank Memperoleh Riwayat Transaksi Nasabah?

Share
copy-paste Share Icon
Perlindungan Konsumen

Dapatkah Debt Collector Bank Memperoleh Riwayat Transaksi Nasabah?

Dapatkah <i>Debt Collector</i> Bank Memperoleh Riwayat Transaksi Nasabah?
Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Dapatkah <i>Debt Collector</i> Bank Memperoleh Riwayat Transaksi Nasabah?

PERTANYAAN

Saya memiliki tunggakan kredit di Bank A. Suatu saat, debt collector bank tersebut memanggil saya untuk menyelesaikan tunggakan, namun saya menyatakan saat itu belum mampu melunasi dan akan melakukan angsuran minimum sampai saya mampu melunasi tunggakan tersebut. Debt collector tersebut kemudian menyuruh saya melunasi dan tahu riwayat transaksi saya di Bank B. Pertanyaan saya, bukankah melihat data perbankan orang lain merupakan tindakan pidana? Apakah pihak Bank B atau debt collector yang melakukan pembocoran data nasabah?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Debt collector Bank A yang mengetahui riwayat transaksi pada simpanan Anda di Bank B merupakan praktik tukar menukar informasi bank yang diperbolehkan. Hal ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 18/POJK.03/2017 tentang Pelaporan dan Permintaan Informasi Debitur Melalui Sistem Layanan Informasi Keuangan yang salah satunya digunakan dalam rangka mendukung kelancaran proses pemberian fasilitas penyediaan dana. Dalam prosesnya, pelapor yang dalam hal ini adalah Bank A wajib menatausahakan semua permintaan informasi debitur termasuk pula peruntukannya melalui Sistem Layanan Informasi Keuangan.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Dibukanya Kerahasiaan Data Nasabah
    Berdasarkan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (“UU Perbankan”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (“UU 10/1998”), diatur bahwa bank wajib merahasiakan keterangan nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A UU 10/1998.
     
    Patut diperhatikan bahwa ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU 10/1998 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk untuk kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perkara perceraian setelah diputus oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-X/2012 (hal. 32).
     
    Selain itu, Pasal 8 ayat (2) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan (“Perppu 1/2017”) sebagaimana yang telah ditetapkan menjadi undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan menjadi Undang-Undang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 40 dan Pasal 41 UU 10/1998 dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan berdasarkan Perppu 1/2017.
     
    Ketentuan dalam Pasal 40 ayat (1) UU 10/1998 juga berlaku bagi pihak terafiliasi, di antaranya:[1]
    1. anggota dewan komisaris, pengawas, direksi atau kuasanya, pejabat, atau karyawan bank;
    2. anggota pengurus, pengawas, pengelola atau kuasanya, pejabat, atau karyawan bank, khusus bagi bank yang berbentuk badan hukum koperasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
    3. pihak yang memberikan jasanya kepada bank, antara lain akuntan publik, penilai, konsultan hukum dan konsultan lainnya;
    4. pihak yang menurut perdamaian Bank Indonesia turut serta memengaruhi pengelolaan bank, antara lain pemegang saham dan keluarganya, keluarga komisaris, keluarga pengawas, keluarga direksi, keluarga pengurus.
     
    Kerahasiaan keterangan nasabah penyimpan dan simpanannya dapat dikecualikan dalam hal:
    1. Direktur Jenderal Pajak berwenang mendapatkan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dari lembaga jasa keuangan yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan sesuai standar pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan;[2]
    2. Untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara, pimpinan Bank Indonesia memberikan izin kepada pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan nasabah debitur;[3]
    3. Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin kepada polisi, jaksa, atau hakim untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank;[4]
    4. Dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya, direksi bank yang bersangkutan dapat menginformasikan kepada pengadilan tentang keadaan keuangan nasabah yang bersangkutan dan memberikan keterangan lain yang relevan dengan perkara tersebut;[5]
    5. Dalam rangka tukar menukar informasi antar bank, direksi bank dapat memberitahukan keadaan keuangan nasabahnya kepada bank lain;[6]
    6. Atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah penyimpanan yang dibuat secara tertulis, bank wajib memberikan keterangan mengenai simpanan nasabah penyimpan pada bank yang bersangkutan kepada pihak yang ditunjuk oleh nasabah penyimpan tersebut. Jika nasabah penyimpan telah meninggal dunia, ahli waris yang sah dari nasabah penyimpan yang bersangkutan berhak memperoleh keterangan mengenai simpanan nasabah penyimpan tersebut.[7]
     
    Berdasarkan uraian tersebut, jika Anda berhutang di Bank A, namun riwayat transaksi pada simpanan di Bank B milik Anda diketahui oleh debt collector dari Bank A, kami mengasumsikan telah terjadi tukar menukar informasi antar bank tentang simpanan di Bank B milik Anda.
     
    Tukar Menukar Informasi antar Bank tentang Simpanan Nasabah
    Tukar menukar informasi antar bank dimaksudkan untuk memperlancar dan mengamankan kegiatan usaha bank, antara lain guna mencegah kredit rangkap serta mengetahui keadaan dan status dari suatu bank yang lain. Dengan demikian, bank dapat menilai tingkat risiko yang dihadapi, sebelum melakukan suatu transaksi dengan nasabah atau dengan bank lain.[8]
     
    Ketentuan mengenai tukar menukar informasi tersebut diatur lebih lanjut oleh Bank Indonesia yang, antara lain, mengatur mengenai tata cara penyampaian dan permintaan informasi serta bentuk dan jenis informasi tertentu yang dapat dipertukarkan, seperti indikator secara garis besar dari kredit yang diterima nasabah, agunan, dan masuk tidaknya debitur yang bersangkutan dalam daftar kredit macet.[9]
     
    Menurut Pasal 3 ayat (2) jo. Pasal 2 ayat (4) huruf e Peraturan Bank Indonesia Nomor: 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank, tukar menukar informasi antar bank tidak memerlukan perintah atau izin tertulis untuk membuka rahasia bank dari pimpinan Bank Indonesia.
     
    Pertukaran Informasi Nasabah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
    Penjelasan Umum Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 18/POJK.03/2017 tentang Pelaporan dan Permintaan Informasi Debitur Melalui Sistem Layanan Informasi Keuangan (“POJK 18/2017”) menerangkan bahwa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, OJK diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengembangkan penyelenggaraan sistem informasi antar bank yang dapat diperluas dengan menyertakan lembaga lain di bidang keuangan.
     
    Maka dari itu, menurut hemat kami, pertukaran informasi nasabah antar bank dilakukan melalui OJK.
     
    Salah satu pihak yang dapat meminta informasi debitur adalah pelapor, yaitu pihak yang melakukan pelaporan dan permintaan informasi debitur melalui sistem layanan informasi keuangan kepada OJK, yang informasi tersebut mencakup:[10]
    1. identitas debitur;
    2. pemilik dan pengurus bagi debitur badan usaha;
    3. fasilitas penyediaan dana yang diterima debitur;
    4. agunan;
    5. penjamin;
    6. kualitas fasilitas penyediaan dana; dan
    7. informasi lain.
     
    Pihak yang wajib menjadi pelapor adalah bank umum, bank perkreditan rakyat, bank perkreditan rakyat syariah, lembaga penyimpanan yang memberikan fasilitas penyediaan dana, dan lembaga jasa keuangan lainnya yang memberikan fasilitas penyediaan dana, kecuali lembaga keuangan mikro.[11]
     
    Pelapor wajib menatausahakan semua permintaan informasi debitur melalui Sistem Layanan Informasi Keuangan (“SLIK”) yang dilakukan oleh pelapor, yang paling sedikit mengenai:[12]
    1. tanggal permintaan;
    2. nomor identitas debitur;
    3. nama debitur;
    4. peruntukan informasi debitur; dan
    5. pegawai yang mengajukan permintaan dan menerima informasi debitur.
     
    Pelapor dilarang menggunakan informasi debitur yang diperoleh untuk keperluan pelapor selain dalam rangka:[13]
    1. mendukung kelancaran proses pemberian fasilitas penyediaan dana;
    2. menerapkan manajemen risiko; dan/atau
    3. mengidentifikasi kualitas debitur dalam rangka pemenuhan ketentuan OJK atau pihak lain yang berwenang.
     
    Selain itu, pelapor juga wajib menyampaikan laporan debitur dari kantor pusat dan seluruh kantor cabang kepada OJK secara lengkap akurat, terkini, utuh, dan tepat waktu setiap bulan untuk posisi akhir bulan dan wajib mencakup informasi:[14]
    1. debitur;
    2. fasilitas penyediaan dana;
    3. agunan;
    4. penjamin;
    5. pengurus dan pemilik; dan
    6. keuangan debitur.
     
    Pelapor kemudian wajib memberitahukan kepada debitur mengenai penyampaian laporan debitur yang bersangkutan ke dalam SLIK.[15]
     
    Etika Debt Collector
    Di sisi lain, merujuk pada artikel Panduan Hukum Menghadapi Debt Collector, dijelaskan beberapa etika yang harus dimiliki oleh debt collector yang melakukan penagihan terhadap utang yang timbul, karena pembayaran melalui kartu:
    1.  
    2. Debt collector memiliki identitas dari penerbit kartu kredit yang dilengkapi dengan foto diri yang bersangkutan;
    3. Penagihan tidak dilakukan dengan menggunakan cara ancaman, kekerasan dan/atau tindakan yang bersifat mempermalukan pemegang kartu kredit;
    4. Penagihan tidak dilakukan dengan menggunakan tekanan secara fisik maupun verbal;
    5. Penagihan dilarang dilakukan kepada pihak selain pemegang kartu kredit;
    6. Penagihan menggunakan sarana komunikasi dilarang dilakukan secara terus menerus yang bersifat mengganggu;
    7. Penagihan hanya dapat dilakukan di tempat alamat penagihan atau domisili pemegang kartu kredit;
    8. Penagihan hanya dapat dilakukan pada pukul 08.00 sampai dengan pukul 20.00 wilayah waktu alamat pemegang kartu kredit;
    9. Penagihan di luar tempat dan/atau waktu tersebut diatas, hanya dapat dilakukan atas dasar persetujuan dan/atau perjanjian dengan pemegang kartu kredit terlebih dahulu;
    10. Penagihan kartu kredit menggunakan tenaga penagihan dari perusahaan penyedia jasa penagihan (debt collector) hanya dapat dilakukan jika kualitas tagihan kartu kredit dimaksud telah termasuk dalam kualitas macet berdasarkan kriteria kolektibilitas sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kualitas kredit.
     
    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
     
    Putusan:
    Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-X/2012.

     

     

    [1] Pasal 40 ayat (2) jo. Pasal 1 angka 22 UU 10/1998
    [2] Pasal 2 ayat (1) Perppu 1/2017
    [3] Pasal 41A ayat (1) UU 10/1998
    [4] Pasal 42 ayat (1) UU 10/1998
    [5] Pasal 43 UU Perbankan
    [6] Pasal 44 ayat (1) UU UU Perbankan
    [7] Pasal 44A UU 10/1998
    [8] Penjelasan Pasal 44 ayat (1) UU Perbankan
    [9] Pasal 44 ayat (2) UU Perbankan dan penjelasannya
    [10] Pasal 14 ayat (1) huruf a jo. Pasal 1 angka 8 dan Pasal 14 ayat (2) POJK 18/2017
    [11] Pasal 2 ayat (1) POJK 18/2017
    [12] Pasal 15 ayat (3) POJK 18/2017
    [13] Pasal 15 ayat (4) POJK 18/2017
    [14] Pasal 4 ayat (1), (2), dan (4) POJK 18/2017
    [15] Pasal 13 POJK 18/2017

    Tags

    kredit macet
    jasa keuangan

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Ini Cara Mengurus Akta Nikah yang Terlambat

    30 Sep 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!