KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Jika Tak Melunasi Utang Adat, Sahkah Perkawinannya?

Share
copy-paste Share Icon
Keluarga

Jika Tak Melunasi Utang Adat, Sahkah Perkawinannya?

Jika Tak Melunasi Utang Adat, Sahkah Perkawinannya?
Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Jika Tak Melunasi Utang Adat, Sahkah Perkawinannya?

PERTANYAAN

Saya tinggal di desa Simpang Limbur, Kecamatan Pamenang Barat, Merangin, Jambi. Yang ingin saya tanyakan adalah jika seseorang telah menikah sah secara agama dan negara, kemudian dituntut membayar utang adat karena perkawinan berupa 2 ekor ayam atau hewan yang berkaki empat, kemudian hal tersebut memberatkan secara ekonomi bagi orang tersebut, bagaimana ketentuan hukumnya jika tidak mentaatinya? Apakah kedudukan hukum adat di bawah atau di atas hukum negara yang berlaku di Indonesia?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Negara mengakui eksistensi hukum adat sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Meskipun demikian, perkawinan di desa Anda tetap sah, sekalipun Anda belum membayar utang adat berupa 2 ekor ayam atau hewan berkaki empat. Pasalnya, pernikahan sudah sesuai dengan ketentuan UU Perkawinan dan perubahannya.

     

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini. 

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Nelson Nikodemus Simamora, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Senin, 30 Desember 2019.

    KLINIK TERKAIT

    Upaya Perlindungan Masyarakat Adat Karuhun Urang Sunda

    Upaya Perlindungan Masyarakat Adat Karuhun Urang Sunda

     

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

     

    Ketentuan Perkawinan yang Berlaku

    Berdasarkan UU Perkawinan yang diubah dengan UU 16/2019 dan PP 9/1975, perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat di desa Anda adalah sah, karena telah dilakukan berdasarkan hukum masing-masing agama dan dicatatkan berdasarkan hukum negara melalui penandatanganan akta perkawinan oleh kedua mempelai sesaat setelah perkawinan dilangsungkan.

    Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU Perkawinan dan Pasal 11 PP 9/1975 dengan ketentuan berikut.

    Pasal 2 UU Perkawinan

    1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
    2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

     

    Pasal 11 PP 9/1975

    1. Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.
    2. Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya.
    3. Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi.

     

    Kedudukan Hukum Adat di Indonesia

    Kemudian, menjawab pertanyaan Anda mengenai permintaan bagi masyarakat yang menikah tersebut untuk membayar utang berupa 2 ekor ayam atau hewan berkaki empat, kami asumsikan bahwa itu sebagai utang perkawinan adat atau pernikahan adat.

    Adapun utang tersebut sesuai dengan kebiasaan setempat untuk dibayar oleh masyarakat di desa Anda. Menurut hemat kami, utang adat dianggap sebagai kewajiban dan merupakan salah satu dari pranata hukum adat.

    Terkait hukum adat ini, Soerjono Soekanto dalam Meninjau Hukum Adat Indonesia: Suatu Pengantar untuk Mempelajari Hukum Adat (hal. 2) menyebutkan bahwa hukum adat sebagai kompleks adat-adat yang kebanyakan tidak dikitabkan/dibukukan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi dan mempunyai akibat hukum.

    Sedangkan, Van Vollenhoven dalam Penemuan Hukum Adat (hal. 6) menyebutkan bahwa hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis yang tidak bersumber pada peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alat-alat kekuasaan lainnya yang diadakan sendiri oleh kekuasaan Belanda dahulu.

    Karena hukum adat tidak tertulis, dengan demikian tidak dapat dilakukan penegakan hukum oleh aparat negara. Hal ini merupakan cerminan asas legalitas, yaitu tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum jika tidak ada undang-undang yang mengaturnya sebagaimana diterangkan oleh Moeljatno dalam buku Asas-Asas Hukum Pidana (hal. 31).

    Meskipun demikian, negara mengakui eksistensi hukum adat sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan:

    Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

    Sehingga dapat dipahami bahwa posisi hukum adat ini tidak lebih tinggi dari hukum negara, namun diakui oleh negara dan masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia.

    Oleh karena itu, penegakan atas pelanggaran hukum adat kemudian menjadi tanggung jawab masyarakat hukum adat tersebut dalam berbagai bentuk, misalnya membayar ganti rugi, memberikan benda tertentu, mengadakan acara adat (misalnya selamatan), hukuman badan, hingga meminta maaf sebagaimana dijelaskan Soepomo dalam Bab-Bab tentang Hukum Adat (hal. 5).

    Berdasarkan uraian di atas, perkawinan di desa Anda tentu tetap sah menurut hukum, meski belum membayar utang adat, karena sudah sesuai dengan ketentuan UU Perkawinan dan perubahannya.

    Lebih lanjut, terkait utang adat berupa 2 ekor ayam atau yang berkaki empat sebagaimana dimaksud, menurut hemat kami, jika tidak membayar utang tersebut, umumnya masyarakat setempat akan memberikan sanksi. Terkait ini, sanksi yang dimaksud tentunya tidak akan seberat sanksi pidana adat.

    Menurut hemat kami, pihak yang memiliki utang adat dapat memberikan penjelasan kepada masyarakat sekitar bahwa belum dapat membayar utang adat tersebut dan akan membayarnya ketika mampu. Tentunya masyarakat setempat juga akan paham tentang kondisi tersebut. Orang tersebut kemudian dapat membayarkannya jika sudah memiliki kemampuan.

     

    Demikian jawaban dari kami tentang utang adat sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.

     

    Dasar Hukum:

    1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
    3. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

     

    Referensi:

    1. Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara, 1978;
    2. Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Jakarta: PT. Pradnya Paramitha, 1967;
    3. Soerjono Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia: Suatu Pengantar untuk Mempelajari Hukum Adat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996;
    4. Van Vollenhoven, Penemuan Hukum Adat, Jakarta: Djambatan, 1987.

    Tags

    adat
    hukum adat

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Simak! Ini 5 Langkah Merger PT

    22 Mei 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!