Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Jika Klinik Kesehatan Melanggar Hak Beribadah Pasien

Share
copy-paste Share Icon
Hak Asasi Manusia

Jika Klinik Kesehatan Melanggar Hak Beribadah Pasien

Jika Klinik Kesehatan Melanggar Hak Beribadah Pasien
Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Jika Klinik Kesehatan Melanggar Hak Beribadah Pasien

PERTANYAAN

Bagaimana hukumnya sebuah klinik kesehatan yang membuat sebuah peraturan (lisan) dalam pelayanannya bahwa ketika selesai melakukan registrasi, pasien tidak diperbolehkan meninggalkan klinik tersebut, bahkan untuk keperluan ibadah (salat) sekalipun?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Hak untuk beribadah adalah hak asasi manusia yang juga dimiliki oleh seorang pasien dan untuk itu, tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Apabila klinik tidak memperbolehkan pasien untuk meninggalkan klinik untuk keperluan ibadah setelah selesai melakukan registrasi, maka perbuatan tersebut melanggar hak pasien untuk menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaan yang dianutnya.
     
    Kami sarankan Anda untuk terlebih dahulu mengadukan pelanggaran ini kepada pihak yang berwenang di klinik atau secara khusus menyampaikan pengaduan Anda kepada kepala dinas kesehatan kabupaten/kota setempat.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Hak untuk Beribadah sebagai Hak Asasi Manusia
    Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya sebagaimana tercantum dalam Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”).
     
    Lebih lanjut, Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
     
    Kemudian, dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”) disebutkan bahwa:
     
    Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
     
    Sementara itu, dalam Pasal 22 UU HAM juga kembali ditegaskan:
     
    1. Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
    2. Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
     
    Berdasarkan uraian tersebut, hak untuk beribadah tersebut harus dijamin pelaksanaannya oleh negara, karena hak untuk beribadah merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
     
    Klinik sebagai Fasilitas Pelayanan Kesehatan
    Klinik merupakan salah satu jenis fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2016 tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan (“PP 47/2016”).
     
    Pengertian klinik, berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik (“Permenkes 9/2014”), adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan yang menyediakan pelayanan medis dasar dan/atau spesialistik.
     
    Perlu Anda ketahui, pemerintah daerah kabupaten/kota menentukan jumlah klinik berdasarkan kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan pada satu wilayah melalui penetapan rasio antara jumlah klinik dibanding dengan jumlah penduduk dengan pertimbangan:[1]
    1. kondisi geografis dan aksesibilitas masyarakat;
    2. tingkat utilitas;
    3. jam kerja pelayanan; dan
    4. jumlah praktik mandiri dokter/dokter gigi atau dokter spesialis/dokter gigi spesialis di wilayah tersebut.
     
    Berdasarkan jenis pelayanan, klinik dibagi menjadi klinik pratama dan klinik utama.[2] Klinik pratama merupakan klinik yang menyelenggarakan pelayanan medik dasar baik umum maupun khusus.[3] Sedangkan klinik utama adalah klinik yang menyelenggarakan pelayanan medik spesialistik atau pelayanan medik dasar dan spesialistik.[4]
     
    Hak Pasien Klinik
    Sepanjang penelusuran kami, setiap tenaga kesehatan yang bekerja di klinik harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar prosedur operasional, standar pelayanan, etika profesi, menghormati hak pasien, serta mengutamakan kepentingan dan keselamatan pasien.[5]
     
    Bahkan setiap klinik mempunyai kewajiban, di antaranya:[6]
    1. memberikan pelayanan yang efektif, aman, bermutu, dan nondiskriminasi dengan mengutamakan kepentingan terbaik pasien sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan dan standar prosedur operasional;
    2. menghormati dan melindungi hak-hak pasien; dan
    3. memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai hak dan kewajiban pasien.
     
    Apabila kita merujuk pada Pasal 32 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, disebutkan bahwa hak-hak pasien, di antaranya:
    1. memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah sakit;
    2. memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien;
    3. memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi;
    4. memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;
    5. memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi;
    6. mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan;
    7. memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan yang berlaku di rumah sakit;
    8. meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang mempunyai surat izin praktik baik di dalam maupun di luar rumah sakit;
    9. mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya;
    10. mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan;
    11. memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;
    12. didampingi keluarganya dalam keadaan kritis;
    13. menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya;
    14. memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di rumah sakit;
    15. mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan rumah sakit terhadap dirinya;
    16. menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya;
    17. menggugat dan/atau menuntut rumah sakit apabila rumah sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana; dan
    18. mengeluhkan pelayanan rumah sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
    Sehingga menurut hemat kami, peraturan yang Anda maksud telah melanggar hak yang dimiliki pasien untuk menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya.
     
    Patut diperhatikan bahwa penyelenggaraan klinik dibina dan diawasi oleh Menteri Kesehatan, gubernur, kepala dinas kesehatan provinsi, bupati/walikota, dan kepala dinas kesehatan kabupaten/kota.[7]
     
    Pembinaan dan pengawasan tersebut antara lain diarahkan untuk meningkatkan mutu pelayanan, keselamatan pasien dan melindungi masyarakat terhadap segala risiko yang dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan atau merugikan masyarakat dan dilaksanakan melalui pemberian bimbingan, supervisi, konsultasi, penyuluhan kesehatan, pendidikan dan pelatihan.[8]
     
    Kami menyarankan kepada Anda untuk terlebih dahulu mengadukan pelanggaran ini kepada pihak yang berwenang di klinik atau secara khusus menyampaikan pengaduan Anda kepada kepala dinas kesehatan kabupaten/kota setempat.
     
    Dalam rangka pembinaan dan pengawasan tersebut, Menteri Kesehatan, gubernur, kepala dinas kesehatan provinsi, bupati/walikota, dan kepala dinas kesehatan kabupaten/kota sesuai dengan kewenangan masing-masing dapat mengambil tindakan administratif, melalui:[9]
    a. teguran lisan;
    b. teguran tertulis;
    c. pencabutan izin tenaga kesehatan; dan/atau
    d. pencabutan izin/rekomendasi klinik.
     
    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
     

    [1] Pasal 12 ayat (1), (2), dan (3) PP 47/2016
    [2] Pasal 2 ayat (1) Permenkes 9/2014
    [3] Pasal 2 ayat (2) Permenkes 9/2014
    [4] Pasal 2 ayat (3) Permenkes 9/2014
    [5] Pasal 14 Permenkes 9/2014
    [6] Pasal 35 huruf b, h, i Permenkes 9/2014
    [7] Pasal 40 ayat (1) Permenkes 9/2014
    [8] Pasal 40 ayat (3) dan (4) Permenkes 9/2014
    [9] Pasal 41 Permenkes 9/2014

    Tags

    kesehatan
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Perancang Peraturan (Legislative Drafter) Harus Punya Skill Ini

    23 Jun 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!