Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Kekuatan Mengikat Memorandum of Understanding (MoU)
Dikutip dari artikel
Perbedaan antara Perjanjian dengan MoU, nota kesepahaman atau juga biasa disebut dengan MoU atau pra kontrak, pada dasarnya tidak dikenal dalam hukum konvensional di Indonesia.
MoU merupakan perjanjian pendahuluan yang mengatur dan memberikan kesempatan kepada para pihak untuk mengadakan studi kelayakan terlebih dahulu sebelum membuat perjanjian yang lebih terperinci dan mengikat para pihak pada nantinya.
Masih bersumber dari artikel yang sama, MoU mencakup hal-hal sebagai berikut:
-
MoU merupakan pendahuluan perikatan (landasan kepastian);
Isi materi dari MoU hanya memuat hal-hal yang pokok saja;
MoU memilki tenggang waktu atau bersifat sementara;
MoU pada kebiasaannya tidak dibuat secara formal serta tidak ada kewajiban yang memaksa untuk dibuatnya kontrak atau perjanjian terperinci; dan
Karena masih terdapatnya keraguan dari salah satu pihak kepada pihak lainnya, MoU dibuat untuk menghindari kesulitan dalam pembatalan.
Lebih lanjut dalam artikel yang sama, MoU belum melahirkan suatu hubungan hukum, karena hanya menciptakan landasan penyusunan hubungan hukum atau perjanjian.
Namun, bukan berarti MoU tidak mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa bagi para pihak untuk melaksanakannya. Terkadang, ada perjanjian yang diberi nama MoU.
Jika MoU telah memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), maka kedudukan MoU dapat mengikat para pihak sebagaimana perjanjian.
Menjawab pertanyaan Anda, jika terdapat dua MoU, menurut hemat kami, salah satu MoU dapat dikesampingkan berdasarkan kesepakatan para pihak.
Terlebih apabila MoU tersebut adalah perjanjian, maka merupakan kebebasan para pihak untuk menentukan MoU mana yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang berbunyi:
Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Maka, sudah seharusnya para pihak yang mengikatkan dirilah yang menentukan MoU mana yang berlaku berdasarkan kesepakatan.
Kewenangan Mewakili Yayasan
Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.
[1] Organ yayasan terdiri dari pembina, pengurus, dan pengawas.
[2]
Berdasarkan keterangan Anda, penandatanganan MoU diwakili oleh ketua pembina.
Merujuk pada Pasal 28 ayat (1) UU Yayasan, dinyatakan bahwa pembina adalah organ yayasan yang mempunyai kewenangan yang tidak diserahkan kepada pengurus atau pengawas oleh UU Yayasan dan perubahannya atau anggaran dasar. Selain itu, anggota pembina tidak boleh merangkap sebagai anggota pengurus dan/atau anggota pengawas.
[3]
Kewenangan pembina, antara lain, meliputi:
[4]keputusan mengenai perubahan anggaran dasar;
pengangkatan dan pemberhentian anggota pengurus dan anggota pengawas;
penetapan kebijakan umum yayasan berdasarkan anggaran dasar yayasan;
pengesahan program kerja dan rancangan anggaran tahunan yayasan; dan
penetapan keputusan mengenai penggabungan atau pembubaran yayasan
Sedangkan pengurus adalah organ yayasan yang melaksanakan kepengurusan yayasan yaitu orang perseorangan yang mampu melakukan perbuatan hukum dan tidak boleh merangkap sebagai pembina atau pengawas.
[5]
Larangan rangkap jabatan ini bertujuan untuk menghindari kemungkinan tumpang tindih kewenangan, tugas, dan tanggung jawab antara pembina, pengurus, dan pengawas yang dapat merugikan kepentingan yayasan atau pihak lain.
[6]
Pengurus yayasan bertanggung jawab penuh atas kepengurusan yayasan untuk kepentingan dan tujuan yayasan serta berhak mewakili yayasan baik di dalam maupun di luar pengadilan.
[7]
Setiap pengurus bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan dalam menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan ketentuan anggaran dasar, yang mengakibatkan kerugian yayasan atau pihak ketiga.
[8]
Namun, anggota pengurus tidak berwenang mewakili yayasan apabila:
[9]terjadi perkara di depan pengadilan antara yayasan dengan anggota pengurus yang bersangkutan; atau
anggota pengurus yang bersangkutan mempunyai kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan yayasan.
Dalam hal terdapat keadaan di atas, yang berhak mewakili yayasan ditetapkan dalam anggaran dasar.
[10] Selain itu, pengurus juga tidak berwenang:
[11]mengikat yayasan sebagai penjamin utang;
mengalihkan kekayaan yayasan kecuali dengan persetujuan pembina; dan
membebani kekayaan yayasan untuk kepentingan pihak lain.
Anggaran dasar dapat membatasi kewenangan pengurus dalam melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama yayasan, yakni dengan menentukan bahwa untuk perbuatan hukum tertentu diperlukan persetujuan terlebih dahulu dari pembina dan/atau pengawas, misalnya untuk menjaminkan kekayaan yayasan guna membangun sekolah atau rumah sakit.
[12]
Maka, berdasarkan keterangan Anda, MoU telah ditandatangani oleh pihak yang tidak berwenang sepanjang pengurus yang berhak mewakili yayasan untuk melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama yayasan masih berwenang menandatanganinya.
Ketua pembina dapat dikatakan berwenang apabila pengurus yang bersangkutan memang tidak dapat mewakili dan telah ditetapkan dalam anggaran dasar kepada siapa yang berhak menggantikannya.
Oleh karena itu, Anda perlu memeriksa kembali isi anggaran dasar yayasan dan MoU yang diperjanjikan untuk mengetahui ada atau tidaknya kepentingan yang berbenturan dengan kepentingan anggota pengurus yang dapat menjadi dasar kewenangan ketua pembina.
Jika MoU berkedudukan sebagai perjanjian dan ketua pembina bukan merupakan pihak yang berwenang untuk mewakili yayasan, maka akibat hukum ketidakwenangan tersebut adalah perjanjian yang telah dibuat dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim, karena melanggar salah satu syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu kecakapan sebagaimana diterangkan dalam artikel
Keabsahan Perjanjian yang Dibuat oleh Eks Pengurus CV.
Tindak Pidana Pemalsuan Surat
Di sisi lain, adanya MoU ganda dengan isi berbeda dengan tanggal dan nomor yang sama berpotensi menjadi indikasi adanya tindak pidana pemalsuan surat sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi:
Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menjelaskan surat adalah segala surat baik yang ditulis tangan, dicetak, maupun ditulis memakai mesin tik dan lain-lain. Surat palsu tersebut harus suatu surat yang (hal. 195):
dapat menerbitkan suatu hak, misalnya ijazah, karcis tanda masuk, dan lain-lain;
dapat menerbitkan suatu perjanjian, misalnya surat perjanjian piutang, perjanjian jual beli, perjanjian sewa, dan sebagainya;
dapat menerbitkan suatu pembebasan utang, misalnya kuitansi atau surat semacam itu; atau
suatu surat yang boleh dipergunakan sebagai suatu keterangan bagi sesuatu perbuatan atau peristiwa, misalnya surat tanda kelahiran, buku tabungan pos, buku kas, buku harian kapal, surat angkutan, obligasi, dan masih banyak lagi.
Kami mengasumsikan kedua MoU tersebut dibuat oleh ketua pembina yayasan, sehingga ketua pembina yayasan tersebut dapat dipidana atas tindak pidana pemalsuan surat.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat
Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan
Konsultan Mitra Justika.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991.
[1] Pasal 1 angka 1 UU Yayasan
[4] Pasal 28 ayat (2) UU Yayasan
[6] Penjelasan Pasal 31 ayat (3) UU Yayasan
[7] Pasal 35 ayat (1) UU Yayasan
[8] Pasal 35 ayat (5) UU Yayasan
[9] Pasal 36 ayat (1) UU Yayasan
[10] Pasal 36 ayat (2) UU Yayasan
[11] Pasal 37 ayat (1) UU Yayasan
[12] Pasal 37 ayat (2) UU Yayasan dan penjelasannya