Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Kami akan menjawab pertanyaan Anda satu per satu sebagai berikut:
Perbuatan seseorang yang merahasiakan keberadaan orang lain yang meninggalkan rumah (in casu suami) secara sukarela akibat permasalahan rumah tangga, tidak dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana.
Lain halnya jika seseorang menyembunyikan keberadaan orang lain yang melakukan suatu tindak pidana. Perbuatannya telah melanggar
Pasal 221 ayat (1) angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), yang berbunyi sebagai berikut :
Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:
barang siapa dengan sengaja menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan atau yang dituntut karena kejahatan, atau barang siapa memberi pertolongan kepadanya untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian, atau oleh orang lain yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian;
Pasal tersebut mensyaratkan tindakan menyembunyikan orang dapat dianggap sebagai tindak pidana jika orang yang disembunyikan telah melakukan suatu kejahatan atau dituntut karena kejahatan.
Dilihat dari keterangan yang Anda berikan, maka tindakan keluarga istri Anda yang terkesan menyembunyikan istri Anda tidak dapat dikenakan pasal tersebut. Hal ini karena istri Anda tidak melakukan kejahatan ataupun sedang dituntut karena kejahatan.
Di sisi lain, tindak pidana dalam Pasal 221 ayat (1) KUHP juga dikecualikan apabila dilakukan oleh pihak keluarga. Pasal 221 ayat (2) KUHP menyatakan bahwa:
Aturan di atas tidak berlaku bagi orang yang melakukan perbuatan tersebut dengan maksud untuk menghindarkan atau menghalaukan bahaya penuntutan terhadap seorang keluarga sedarah atau semenda garis lurus atau dalam garis menyimpang derajat kedua atau ketiga, atau terhadap suami/istrinya atau bekas suami/istrinya.
Menjawab pertanyaan kedua Anda, kami kurang mendapat informasi mengenai keterangan palsu apa yang diberikan istri Anda dalam isi gugatan perceraian yang diajukannya.
Namun, kami asumsikan keterangan yang Anda maksud tersebut merupakan dalil-dalil dalam gugatan.
Dalam hal ini, penggugat memiliki kewajiban (dan hak sekaligus) untuk mengajukan dalil-dalil berdasarkan
Pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa:
Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.
Dalam hal dalil-dalil di dalam gugatan seseorang tidak sesuai fakta-fakta dan juga tanpa didukung bukti-bukti valid, maka dampak hukum bagi orang tersebut sebatas permohonan dalam gugatan yang diajukan akan ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima, melalui putusan hakim yang memeriksa dan memutus perkara tersebut.
Namun lain halnya apabila orang tersebut berkedudukan sebagai saksi dalam proses persidangan. Memberikan keterangan palsu di bawah sumpah dapat dikenakan sanksi pidana.
Hal ini diatur dalam Pasal 242 ayat (1) KUHP, yang menyatakan bahwa:
Barangsiapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan ataupun tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Sehingga berdasarkan penjelasan kami di atas, dapat disimpulkan istri Anda tidak dapat dilaporkan ke kepolisian atas dasar memberikan keterangan palsu di dalam gugatannya.
Menjawab pertanyaan ketiga Anda, kami kurang memahami apa yang Anda maksud dengan ‘status proses persidangan gugatan cerai di Pengadilan Agama’.
Kami asumsikan, pertanyaan Anda adalah seputar alur/proses persidangan pada Pengadilan Agama. Proses beracara (alur persidangan) pada Pengadilan Agama pada prinsipnya sesuai dengan hukum acara perdata pada umumnya, kecuali diatur khusus di dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (“UU Peradilan Agama”) dan perubahannya.
Pasal 54 UU Peradilan Agama menyatakan bahwa:
Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini.
Proses beracara menurut hukum acara perdata secara singkat yaitu dilakukan mediasi, pembacaan gugatan yang kemudian dilakukan proses jawab menjawab, pembuktian dan sampai pada pembacaan putusan.
Namun dalam persidangan perceraian di Pengadilan Agama, setelah dilakukannya pembacaan putusan, harus dilakukan pengucapan ikrar talak apabila mengajukan permohonan talak.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum: