Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Hukumnya Menimbun Masker Hingga Menyebabkan Kelangkaan dan Harga Tinggi

Share
copy-paste Share Icon
Perlindungan Konsumen

Hukumnya Menimbun Masker Hingga Menyebabkan Kelangkaan dan Harga Tinggi

Hukumnya Menimbun Masker Hingga Menyebabkan Kelangkaan dan Harga Tinggi
Sigar Aji Poerana, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Hukumnya Menimbun Masker Hingga Menyebabkan Kelangkaan dan Harga Tinggi

PERTANYAAN

Bagaimana hukumnya jika ada pihak-pihak yang menimbun masker N95 saat penyakit menular corona mewabah seperti ini? Sehingga saat ini sedang terjadi kelangkaan dan kenaikan harga.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Pelaku usaha yang diduga melakukan penimbunan atau memainkan harga barang pokok dan penting, dapat dijerat sanksi pidana dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Masker N95 dapat ditetapkan sebagai barang kebutuhan pokok dan/atau penting berdasarkan usulan Menteri Perdagangan.
     
    Selain itu, pelaku usaha juga dapat dikenai sanksi administratif karena melakukan perbuatan yang terindikasi merupakan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
     
    Pihak-pihak yang menduga adanya penimbunan barang-barang tersebut dapat melapor kepada kepolisian atau pejabat pegawai negeri sipil di bidang perdagangan. Sedangkan dugaan monopoli dan/atau praktik usaha tidak sehat dapat dilaporkan kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Sigar Aji Poerana, S.H. yang pertama kali dipublikasikan pada Senin, 17 Februari 2020.
     
    Penimbunan Barang
    Menurut hemat kami, perbuatan tersebut patut diduga melanggar ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (“UU 7/2014”) yang berbunyi:
     
    1. Pelaku Usaha dilarang menyimpan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan Barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas Perdagangan Barang.
    2. Pelaku Usaha dapat melakukan penyimpanan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu jika digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam proses produksi atau sebagai persediaan Barang untuk didistribusikan.
    3. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyimpanan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.
     
    Larangan ini dimaksudkan untuk menghindari adanya penimbunan barang yang akan menyulitkan konsumen dalam memperoleh barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting.[1]
     
    Barang kebutuhan pokok yang dimaksud adalah barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak dengan skala pemenuhan kebutuhan yang tinggi serta menjadi faktor pendukung kesejahteraan masyarakat, seperti beras, gula, minyak goreng, mentega, daging sapi, daging ayam, telur ayam, susu, jagung, kedelai, dan garam beryodium.[2]
     
    Sementara, barang penting adalah barang strategis yang berperan penting dalam menentukan kelancaran pembangunan nasional, seperti pupuk, semen, serta bahan bakar minyak dan gas.[3]
     
    Pasal 2 ayat (7) Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting kemudian menegaskan bahwa jenis barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dapat diubah, berdasarkan usulan Menteri Perdagangan setelah berkoordinasi dengan menteri/kepala lembaga pemerintah nonkementerian terkait.
     
    Dengan demikian, masker N95 yang sedang dibutuhkan masyarakat guna mencegah penyebaran penyakit menular seperti virus corona, dapat ditetapkan sebagai barang pokok dan barang penting berdasarkan usulan Menteri Perdagangan. Akibatnya, masker tersebut tidak boleh ditimbun, terlebih saat terjadi kelangkaan, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan masker tersebut.
     
    Para pihak yang melanggar ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU 7/2014, dapat dijerat Pasal 107 UU 7/2014, yang berbunyi:
     
    Pelaku Usaha yang menyimpan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan Barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas Perdagangan Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
     
    Kemudian, Pasal 103 ayat (1) UU 7/2014 berbunyi:
     
    Selain penyidik pejabat polisi negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Perdagangan diberi wewenang khusus sebagai penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan sesuai dengan Undang-Undang ini.
     
    Maka, Anda atau pihak lain yang menduga adanya penimbunan yang dilakukan pelaku usaha nantinya dapat melapor pada kepolisian maupun pejabat pegawai negeri sipil yang bertugas dan bertanggung jawab di bidang perdagangan di pemerintah pusat maupun daerah.
     
    Baca juga: Masker untuk Cegah Corona, BPKN Ingatkan Pasal 107 UU Perdagangan
     
    Persaingan Usaha Tidak Sehat
    Selain UU 7/2014, menurut hemat kami, perbuatan tersebut juga terikat pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (“UU 5/1999”).
     
    Salah satu ketentuan yang harus dipatuhi adalah Pasal 4 UU 5/1999 yang menegaskan bahwa:
     
    1. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
    2. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa, sebagaimana dimaksud ayat (1), apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
     
    Pasal 5 UU 5/1999 kemudian menguraikan bahwa:
     
    1. Pelaku Usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
    2. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi:
    1. suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau
    2. suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.
     
    Pelaku usaha juga dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan/atau jasa yang sama.[4]
     
    Selain itu, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha saingannya, yang bermaksud memengaruhi harga dengan mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.[5]
     
    Perbuatan pelaku usaha yang melanggar ketentuan-ketentuan tersebut dapat dikenakan sanksi administratif dan/atau pidana.
     
    Sanksi administratif tersebut, di antaranya:[6]
    1. penetapan pembatalan perjanjian terkait yang mendasari perbuatan-perbuatan tersebut;
    2. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktik monopoli dan/atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan/atau merugikan masyarakat;
    3. penetapan pembayaran ganti rugi;
    4. pengenaan denda serendah-rendahnya Rp1 miliar dan setinggi-tingginya Rp25 miliar.
     
    Sedangkan sanksi pidana yang dapat menjerat pelaku usaha adalah ketentuan Pasal 48 ayat (1) dan (2) UU 5/1999, yang berbunyi:
     
    1. Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 4, pasal 9 sampai dengan pasal 14, pasal 16 sampai dengan Pasal 19, pasal 25, pasal 27, dan pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima milyar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
    2. Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 5 sampai dengan pasal 8, pasal 15, pasal 20 sampai dengan pasal 24, dan pasal 26 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima milyar rupiah) atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
     
    Selain pidana pokok, pelaku usaha dapat dikenakan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam Pasal 49 UU 5/1999, yaitu:
    1. pencabutan izin usaha;
    2. larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap UU 5/1999 untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya dua tahun dan selama-lamanya lima tahun; atau
    3. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.
     
    Jika Anda atau pihak lain menduga adanya praktik yang menjurus pada monopoli dan/atau persaingan tidak sehat terkait perdagangan masker, Anda dapat melaporkan dugaan tersebut pada Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
     
    Salah satu wewenang komisi tersebut adalah menerima laporan dari masyarakat dan/atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.[7]
     
    Baca juga: Isu Virus Corona, YLKI Minta KPPU dan Polri Usut Melambungnya Harga Masker
     
    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
     
    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat;
     

    [1] Penjelasan Pasal 29 ayat (1) UU 7/2014
    [2] Alinea Pertama Penjelasan Pasal 25 ayat (1) UU 7/2014
    [3] Alinea Kedua Penjelasan Pasal 25 ayat (1) UU 7/2014
    [4] Pasal 6 UU 5/1999
    [5] Pasal 11 UU 5/1999
    [6] Pasal 47 ayat (2) huruf a, c, f, dan g UU 5/1999
    [7] Pasal 36 huruf a UU 5/1999

    Tags

    virus corona
    kesehatan

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    TIPS HUKUM

    Dasar Hukum Poligami di Indonesia dan Prosedurnya

    24 Mar, 2023 Bacaan 10 Menit
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!