Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Kewajiban Penggunaan Bahasa Indonesia
Dalam hal bahasa nasional pihak asing dan/atau bahasa Inggris digunakan pada nota kesepahaman atau perjanjian, bahasa itu digunakan sebagai padanan atau terjemahan bahasa Indonesia untuk menyamakan pemahaman nota kesepahaman atau perjanjian dengan pihak asing. Namun apabila terjadi perbedaan penafsiran terhadap padanan atau terjemahan, bahasa yang digunakan ialah
bahasa yang disepakati dalam nota kesepahaman atau perjanjian.
[1]
Ketentuan yang mengembalikan penafsiran pada kesepakatan para pihak tersebut, menurut Priskila P. Penastika dalam artikel
Akhirnya Terbit Juga! Perpres Tentang Penggunaan Bahasa Indonesia, telah sesuai dengan penerapan asas kebebasan berkontrak. Oleh karena itu, Priskila menyatakan untuk selanjutnya perlu dinyatakan secara tegas bahasa yang disepakati dalam perjanjian-perjanjian yang dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing.
Di sisi lain, dikutip dari
Perpres Penggunaan Bahasa Indonesia Dinilai Hambat Investasi, kendati Perpres 63/2019 mewajibkan pembuatan kontrak dalam bahasa Indonesia lebih dahulu, kemudian dipadankan dalam bahasa asing, tidak ada satupun sanksi tegas yang diatur terkait pelanggaran akan kewajiban itu. Kepala Seksi Penyiapan Konsepsi Rancangan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM, Hendra Kurnia Putra pun menyatakan pelaku usaha yang tidak menaati ketentuan jelas melanggar, namun memang tidak ada sanksi yang bisa dikenakan. Walaupun demikian, saat ini pemerintah sedang mempersiapkan muatan aturan di tingkat peraturan menteri untuk mengatur mekanisme pengawasan terhadap implementasi Perpres 63/2019.
Penanaman Modal Asing (PMA)
Terkait pertanyaan Anda, sepanjang penelusuran kami, pihak asing dalam UU 24/2009 dan Perpres 63/2019 memang tidak dijelaskan secara spesifik. Menurut hemat kami, perusahaan yang berkedudukan, didirikan, dan disahkan pendiriannya bukan dengan hukum di Indonesia jelas termasuk kategori ‘pihak asing’ ini.
PMA sendiri adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri.
[2]
Sedangkan penanam modal asing yaitu perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing yang melakukan penanaman modal di wilayah negara Republik Indonesia.
[3]
Lebih lanjut, PMA wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
[4]
Penanam modal dalam negeri dan asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas, dilakukan dengan:
[5]mengambil bagian saham pada saat pendirian perseroan terbatas;
membeli saham; dan
melakukan cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengesahan pendirian badan usaha PMA yang berbentuk perseroan terbatas dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
[6]
Kebangsaan Perusahaan PMA
Terkait status perusahaan PMA, mengutip M. Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Perseroan Terbatas, dikenal teori “Hukum yang Dijadikan Dasar Pendirian”. Dalam teori ini, patokan menentukan kebangsaan perseroan digantungkan pada hukum atau undang-undang yang dijadikan dasar pendirian perseroan. Sehingga, sistem hukum atau undang-undang negara mana yang dijadikan dasar “pendirian” dan “pengesahan” perseroan dianggap mengikuti kebangsaan negara tersebut (hal. 111 - 112).
Jadi masih dari buku yang sama, kalau suatu perseroan didirikan dan disahkan berdasarkan sistem hukum Indonesia, maka nasionalitas atau kebangsaan perseroan itu adalah Indonesia. Terhadapnya hukum yang diterapkan adalah hukum Indonesia. Tidak menjadi soal apakah semua atau sebagian anggota direksinya terdiri dari orang asing, maka perseroan itu memiliki kebangsaan Indonesia apabila didirikan menurut sistem hukum Indonesia (hal. 112).
Namun demikian, Hendra Kurnia Putra dalam notulensi diskusi Implikasi Peraturan Presiden tentang Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Perjanjian Privat Komersial yang diselenggarakan oleh Hukumonline pada 19 November 2019 menjelaskan bahwa PMA termasuk ‘salah satu pihaknya adalah asing’, dengan partnernya adalah WNI atau badan hukum Indonesia.
Jadi, nota kesepahaman atau perjanjian dengan menggunakan bahasa Indonesia menurut asas normatifnya dalam UU dan Perpres itu wajib dibuat. Kalau nanti para pihak ingin menggunakan bahasa asing sebagai padanan, itu memang dianjurkan oleh undang-undang.
Hendra juga memperluas makna dari pihak asing. PMA itu mayoritasnya asing, tidak semua kepemilikannya WNI, pasti tetap harus menggunakan bahasa Indonesia dan dipadankan dengan bahasa asing sesuai dengan kesepakatan para pihak.
Jadi, menurut hemat kami, pihak asing pada UU 24/2009 dan Perpres 63/2019 tidak hanya dimaknai sebagai badan usaha asing yang berkedudukan, didirikan, dan disahkan pendiriannya bukan dengan hukum di Indonesia, melainkan juga meliputi perusahaan PMA.
Hal serupa juga dikemukakan oleh Hikmahanto Juwana dalam notulensi yang sama. PMA adalah pihak asing namun tetap berkedudukan sebagai badan hukum Indonesia. Akibatnya, PMA tetap harus tunduk pada UU 24/2009, apalagi kalau membuat perjanjian.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat
Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan
Konsultan Mitra Justika.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
M. Yahya Harahap. Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika. 2016;
Implikasi Peraturan Presiden tentang Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Perjanjian Privat Komersial. Notulensi Diskusi Hukumonline, 19 November 2019.
[1] Pasal 26 ayat (3) dan (4) Perpres 63/2019
[2] Pasal 1 angka 3 UU 25/2007
[3] Pasal 1 angka 6 UU 25/2007
[4] Pasal 5 ayat (2) UU 25/2007
[5] Pasal 5 ayat (3) UU 25/2007
[6] Pasal 25 ayat (3) UU 25/2007