KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Permenkes dan Permenhub Soal Ojol Kala PSBB, Mana yang Harus Dipatuhi?

Share
copy-paste Share Icon
Ilmu Hukum

Permenkes dan Permenhub Soal Ojol Kala PSBB, Mana yang Harus Dipatuhi?

Permenkes dan Permenhub Soal Ojol Kala PSBB, Mana yang Harus Dipatuhi?
Arasy Pradana A. Azis, S.H., M.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Permenkes dan Permenhub Soal Ojol Kala PSBB, Mana yang Harus Dipatuhi?

PERTANYAAN

Di satu sisi, Permenkes 9/2020 melarang ojek online mengangkut penumpang. Sementara di sisi lain, Permenhub 18/2020 tampak membolehkan ojek online mengangkut penumpang. Mana yang harus diikuti masyarakat saat PSBB seperti ini?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

     
    Namun, pengaturan pelaksanaan PSBB sejatinya dilakukan melalui Peraturan Menteri Kesehatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Maka, dalam PSBB, Permenkes 9/2020 seharusnya menjadi rujukan utama, terlepas dari keberlakuan Permenhub 18/2020.
     
    Penjelasan selengkapnya dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Ketentuan Soal Ojek Online (Ojol) Selama PSBB
    Ketentuan Pasal 13 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) (“Permenkes 9/2020”) berbunyi:
     
    Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar meliputi:
    1. peliburan sekolah dan tempat kerja;
    2. pembatasan kegiatan keagamaan;
    3. pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum;
    4. pembatasan kegiatan sosial dan budaya;
    5. pembatasan moda transportasi; dan
    6. pembatasan kegiatan lainnya khusus terkait aspek pertahanan dan keamanan.
     
    Pembatasan ojol selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (“PSBB”) terkait dengan uraian peliburan tempat kerja pada Lampiran Permenkes 9/2020.
     
    Yang dimaksud dengan peliburan tempat kerja adalah pembatasan proses bekerja di tempat kerja dan menggantinya dengan proses bekerja di rumah/tempat tinggal, untuk menjaga produktivitas/kinerja pekerja.[1]
     
    Pengecualian peliburan tempat kerja, yaitu bagi kantor atau instansi tertentu yang memberikan pelayanan terkait pertahanan dan keamanan, ketertiban umum, kebutuhan pangan, bahan bakar minyak dan gas, pelayanan kesehatan, perekonomian, keuangan, komunikasi, industri, ekspor dan impor, distribusi, logistik, dan kebutuhan dasar lainnya.[2]
     
    Salah satu jenis perusahaan komersial dan swasta yang dikenakan pengecualian tersebut adalah layanan ekspedisi barang, termasuk sarana angkutan roda dua berbasis aplikasi dengan batasan hanya untuk mengangkut barang dan tidak untuk penumpang. [3]
     
    Di sisi lain, Menteri Perhubungan menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM.18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) (“Permenhub 18/2020”).
     
    Cakupan pengaturan Permenhub 18/2020 meliputi:[4]
    1. pengendalian transportasi untuk seluruh wilayah;
    2. pengendalian transportasi pada wilayah yang ditetapkan sebagai PSBB; dan
    3. pengendalian transportasi untuk kegiatan mudik tahun 2020.
     
    Pengendalian transportasi pada wilayah yang ditetapkan sebagai PSBB dilakukan terhadap transportasi yang mengangkut penumpang dan logistik/barang. Pengendalian transportasi yang mengangkut penumpang merupakan pembatasan jumlah penumpang pada sarana transportasi.[5]
     
    Pasal 11 ayat (1) huruf c dan d Permenhub 18/2020 kemudian mengatur mengenai pengendalian kegiatan transportasi untuk transportasi darat yang meliputi, di antaranya:
    1. sepeda motor berbasis aplikasi dibatasi penggunaannya hanya untuk pengangkutan barang;
    2. dalam hal tertentu untuk tujuan melayani kepentingan masyarakat dan untuk kepentingan pribadi, sepeda motor dapat mengangkut penumpang dengan ketentuan harus memenuhi protokol kesehatan sebagai berikut:
    1. aktivitas lain yang diperbolehkan selama PSBB;
    2. melakukan disinfeksi kendaraan dan perlengkapan sebelum dan setelah selesai digunakan;
    3. menggunakan masker dan sarung tangan; dan
    4. tidak berkendara jika sedang mengalami suhu badan di atas normal atau sakit; dan
     
    Wewenang Penerbitan Peraturan Menteri
    Untuk menilai kedudukan masing-masing peraturan menteri tersebut, menurut hemat kami, dapat merujuk pada ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan:
     
    1. Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
    2. Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
     
    Dengan demikian, sebuah peraturan menteri memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangannya.
     
    Wewenang Menteri Kesehatan diatur dalam Pasal 3 huruf a Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2015 tentang Kementerian Kesehatan, yang berbunyi:
     
    Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Kementerian Kesehatan menyelenggarakan fungsi:
    1. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengendalian penyakit, pelayanan kesehatan, dan kefarmasian dan alat kesehatan;
     
    Sedangkan Pasal 3 huruf a Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2015 tentang Kementerian Perhubungan mengatur bahwa:
     
    Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Kementerian Perhubungan menyelenggarakan fungsi:
    1. perumusan dan penetapan kebijakan di bidang penyelenggaraan pelayanan, keselamatan, dan keamanan transportasi, serta peningkatan aksesabilitas, konektivitas, dan kapasitas sarana dan prasarana transportasi;
     
    Namun dalam konteks PSBB, Pasal 15 ayat (2) dan (4) jo. Pasal 1 angka 35 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan mengatur bahwa salah satu tindakan kekarantinaan kesehatan adalah PSBB yang diatur lebih lanjut dengan peraturan Menteri Kesehatan.
     
    Dengan demikian, menurut hemat kami, dalam konteks PSBB, Permenkes 9/2020 seharusnya menjadi rujukan utama, terlepas dari keberlakuan Permenhub 18/2020.
     
    Presiden sebagai Penengah
    Sebagaimana diberitakan dalam artikel Maju Mundur Kebijakan Pembatasan Transportasi Ojol di Masa PSBB, Djoko Setijowarno, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat berpendapat Permenhub 18/2020 sangat kontradiktif, bertentangan dengan aturan sebelumnya dan aturan dalam Permenhub itu sendiri, serta prinsip physical distancing (jaga jarak fisik).
     
    Selain itu, tidak ada jaminan pengemudi ojol akan menaati protokol kesehatan meskipun aplikator sudah menyiapkan sejumlah aturan untuk pengemudi ojol selama mengangkut orang. Oleh karena itu, Permenhub 18/2020 diminta agar segera dicabut dan direvisi.
     
    Yang berwenang untuk mencabut atau mengubah Permenhub 18/2020 adalah Menteri Perhubungan itu sendiri. Pasal 22 Permenhub 18/2020 menyatakan bahwa:
     
    Dalam hal diperlukan, Peraturan Menteri ini dapat sewaktu-waktu diubah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
    Selain itu, perlu diingat bahwa kementerian berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.[6]
     
    Oleh karena itu, Presiden pada dasarnya berwenang untuk mengordinasikan kementerian di bawahnya, termasuk mencegah peraturan antar kementerian yang saling bertentangan. Bahkan jika diperlukan, memerintahkan pencabutan peraturan menteri.
     
    Hal ini sesuai dengan pendapat Charles Simabura, Dosen Hukum Tata Negara Universitas Andalas dalam artikel berita di atas, yang menyatakan bahwa permasalahan ini harus diselesaikan oleh Presiden.
     
    Kami juga telah mengkompilasi berbagai topik hukum yang sering ditanyakan mengenai dampak wabah Covid-19 terhadap kehidupan sehari-hari mulai dari kesehatan, bisnis, ketenagakerjaan, profesi, pelayanan publik, dan lain-lain. Informasi ini dapat Anda dapatkan di tautan berikut covid19.hukumonline.com.
     
    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
     
    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara;
     

    [1] Lampiran Permenkes 9/2020, hal. 21
    [2] Lampiran Permenkes 9/2020, hal. 21
    [3] Lampiran Permenkes 9/2020, hal. 23
    [4] Pasal 2 Permenhub 18/2020
    [5] Pasal 9 dan Pasal 10 ayat (1) Permenhub 18/2020
    [6] Pasal 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara
     

    Tags

    kesehatan
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Syarat dan Prosedur Mempekerjakan TKA untuk Sementara

    21 Mar 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!