Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Wabah COVID-19 sebagai Force Majeure
Pertama-tama, ada perlunya kami menguraikan mengenai dapat tidaknya wabah COVID-19 dianggap sebagai keadaan kahar atau force majeure, yang menyebabkan penundaan perjalanan umrah.
Di dalam hukum perjanjian memang ada ketentuan bahwa force majeure bisa dijadikan alasan untuk membatalkan kontrak. Namun, menurut Mahfud, spekulasi tersebut keliru dan meresahkan, bukan hanya dalam dunia usaha tetapi juga bagi pemerintah.
Status COVID-19 sebagai bencana non-alam tidak bisa langsung dijadikan alasan pembatalan kontrak dengan alasan force majeure.
Hal senada diuraikan Tri Harnowo dalam artikel
Wabah Corona sebagai Alasan Force Majeur dalam Perjanjian. Jika dalam perjanjian
tegas dinyatakan keadaan
outbreak atau
lockdown sebagai peristiwa
force majeure, maka dapat dijadikan alasan
force majeure. Jika
tidak dinyatakan tegas dalam perjanjian, maka yang harus diperhatikan adalah prestasinya, bukan semata peristiwanya.
Jika keadaan force majeure sifatnya sementara, maka hal ini hanya menunda kewajiban debitur dan tidak dapat untuk mengakhiri perjanjian, kecuali disepakati lain oleh para pihak.
Selain itu, sepanjang penelusuran kami, penundaan umrah ini juga terkait dengan kebijakan pemerintah Arab Saudi yang memang menghentikan sementara kedatangan jemaah umrah dari luar negeri.
Masih menurut Tri Harnowo, apabila wabah virus corona berakhir atau pemerintah mencabut lockdown, pihak kreditur dapat menuntut kembali pemenuhan prestasi debitur atau dapat juga memilih mengakhiri perjanjian dengan ganti rugi.
Dengan demikian, menurut hemat kami, wabah COVID-19 bisa menjadi pintu masuk untuk negosiasi ulang perjanjian terkait perjalanan umrah. Perjanjian akan diubah sesuai kesepakatan para pihak.
Implikasi Wabah COVID-19 terhadap Perjalanan Umrah
Jemaah Umrah berhak memperoleh pelayanan dari PPIU, meliputi:
…
…
…
layanan lainnya sesuai dengan perjanjian tertulis yang disepakati antara PPIU dan Jemaah Umrah; dan
…
Maka perjanjian perlu disesuaikan terkait dengan keadaan-keadaan akibat wabah COVID-19. Dengan adanya perjanjian baru antara jemaah dengan PPIU, maka hak jemaah tetap dapat terpenuhi.
Perjanjian baru ini akan memberikan layanan lainnya di luar layanan yang memang sudah menjadi kewajiban dari PPIU. Contohnya, layanan penjadwalan ulang perjalanan umrah dan segala fasilitasnya, yang dapat mencakup visa, tranportasi, dan akomodasi.
Dengan adanya kesepakatan ulang atas perjalanan umrah ini, maka jemaah akan mendapatkan kepastian pemberangkatan dan pemulangan sesuai dengan masa berlaku visa umrah di Arab Saudi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang menjadi haknya.
[1] Dilansir dari berbagai sumber, Menteri Agama Fachrul Razi menyatakan bahwa Arab Saudi telah menjamin bahwa perpanjangan visa umrah tidah dipungut biaya.
Dengan dijadikannya berbagai implikasi wabah COVID-19 sebagai pintu masuk untuk negosiasi ulang perjanjian ibadah umrah, menurut hemat kami, PPIU dan jemaah juga perlu untuk terus didampingi oleh pemerintah.
Sehingga setiap pihak terdampak dapat bersama-sama tetap melaksanakan pemberangkatan umrah pada waktu yang telah disesuaikan.
Jika Jemaah Memilih Membatalkan Perjalanan
Dalam hal Jemaah yang telah terdaftar membatalkan keberangkatan, PPIU wajib mengembalikan BPIU setelah dikurangi biaya yang telah dikeluarkan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
Oleh karenanya, menurut hemat kami, kewajiban PPIU untuk mengembalikan uang jemaah hanya benar-benar terjadi jika jemaah sendiri yang melakukan pembatalan keberangkatan.
Selama penundaan umrah terjadi akibat kebijakan pemerintah Arab Saudi, dan pemerintah Indonesia mendorong penjadwalan ulang, maka uang jemaah tidak wajib dikembalikan.
Kami telah mengompilasi berbagai topik hukum yang sering ditanyakan mengenai dampak wabah COVID-19 terhadap kehidupan sehari-hari, mulai dari kesehatan, bisnis, ketenagakerjaan, profesi, pelayanan publik, dan lain-lain. Informasi ini dapat Anda dapatkan di tautan berikut
covid19.hukumonline.com.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
[1] Pasal 88 huruf c UU 8/2019