Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Sistem Kredit Pemilikan Rumah (KPR)
Kredit dalam pemahaman umum sering dianggap sebagai membeli dengan mengangsur.
Sebenarnya itu pengertian yang tidak tepat. Istilah yang resmi dalam regulasi keuangan di Indonesia, kredit itu adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
[1]
KPR yang ditawarkan di bank konvensional, bukan bank syariah, kompensasinya adalah bunga sebagaimana diterangkan dalam
Brosur Seri Literasi Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dengan mekanisme di mana bank akan memberikan pinjaman kepada nasabah untuk membeli rumah dan nasabah akan mengangsur pinjaman tersebut sesuai dengan tenor yang disepakati.
Adapun sertifikat tanah dan bangunan di atasnya, akan dijadikan agunan dari pinjaman tersebut. Tenor yang ditawarkan memang bermacam-macam, namun untuk pembelian/pengadaan rumah, tenor hutang bisa sampai 10 atau 15 tahun.
KPR Syariah
Patut diperhatikan pula versi syariah dari KPR, maksudnya, pengadaan rumah dengan melalui akad syariah.
Pada perbankan syariah, baik bank umum syariah maupun unit usaha syariah (layanan transaksi syariah di bank konvensional), pemilikan rumah juga ditawarkan, tetapi imbalan atas pinjaman tidak berupa bunga, yaitu imbalan atau bagi hasil.
[2]
Semestinya, istilah yang digunakan tidak menggunakan kata “kredit” yang merujuk pada adanya bunga dalam peminjaman, namun, karena istilah KPR itu sudah menjadi istilah yang sangat umum dipakai untuk menyebut pembiayaan pemilikan rumah, bank syriah pun juga menggunakan istilah tersebut, tetapi selalu dilengkapi dengan kata-kata syariah di belakangnya, atau dengan singkatan IB, misalnya yang lazim adalah KPR Syariah atau KPR IB atau singkatan dari brand resmi bank syariah dalam versi internasional, ialah Islamic Banking.
Kontrak/Akad dalam KPR Syariah
Lantas, apa bedanya dengan KPR konvensional? Bedanya adalah bank syariah menerapkan pengambilan keuntungan atas pembiayaan yang diberikan, tetapi keuntungan itu dalam bentuk profit margin, sewa (semacam leasing), atau bagi hasil kerja sama.
Keseluruhan jenis akad tersebut telah pula diberikan fatwa secara resmi oleh Dewan Syariah Nasional, Majelis Ulama Indonesia sebagaimana diterangkan Agus Triyanta dalam buku Hukum Perbankan Syariah: Regulasi, Implementasi dan Formulasi Kepatuhannya pada Prinsip-Prinsip Islam (hal. 51 – 64).
Intinya, tambahan pada pengembalian (cicilan) dari dana pinjaman yang dikucurkan oleh bank tidak berupa atau berasal dari bunga pinjaman, namun berupa:
1.
Profit margin, ialah dalam hal akad yang dipakai adalah
murabahah atau jual beli, di mana bank membeli rumah dari
developer dan kemudian dijual kembali ke nasabah.
[3]2. Jasa (
ujrah/
fee) membuatkan rumah, dalam jual beli
ishtishna’ di mana nasabah minta dibuatkan rumah yang kemudian nasabah akan membayar
fee untuk itu.
[4]3.
Fee sewa, dalam akad
Ijarah Muntahiyah bi Tamlik (sewa beli), di mana nasabah menyewa rumah dari bank dan kemudian di akhir masa sewa bank akan menjual atau menghibahkan rumah itu kepada nasabah.
[5]4. Bagi hasil keuntungan, dalam akad
Musyarakah Mutanaqishah di mana nasabah dan bank
sharing modal untuk membeli rumah, namun sejalan dengan waktu, porsi kepemilikan bank diambil alih oleh nasabah, sehingga pada akhirnya kepemilikan penuh ada pada nasabah.
[6]
Kekurangan dan Kelebihan KPR Syariah
Kekurangan dari KPR Syariah jika dibandingkan dengan KPR di bank konvensional adalah bahwa akad atau kontrak yang dilakukan terlalu bervariasi antara satu bank dengan bank yang lain, sehingga bagi orang yang masih awam akan merasa rumit berurusan dengan akad yang bermacam-macam.
Di samping itu, tentu saja biaya dokumentasi hukumnya, termasuk pembuatan akad melalui nota riil juga lebih memerlukan biaya, jika dibandingkan dengan KPR konvensional yang hanya ada satu jenis, ialah pinjaman dengan pengembalian ditambah bunga.
Kelebihannya, selain tentu saja bebas dari bunga (riba) juga imbalan yang tidak didasarkan suku bunga akan lebih stabil, karena memang semuanya sudah pasti dan fixed di muka, di saat akad dibuat, berbeda dengan suku bunga yang masih dapat terpengaruh oleh fluktuasi.
Nilai keadilan dari pembiayaan ini juga lebih terjamin, karena alasan pembebanan imbalan sangat jelas asal dan alasannya.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
Agus Tiyanta. Hukum Perbankan Syariah: Regulasi, Implementasi dan Formulasi Kepatuhannya Pada Prinsip-Prinsip Islam. Malang: Setara Press, 2016;
[2] Pasal 1 angka 12 UU 10/1998