Pelaku kejahatan seksual terhadap anak dapat dikenai tindakan pemasangan chip serta kebiri kimia. Namun IDI menyatakan menolak sebagai eksekutor karena bukan layanan medis dan bertentangan dengan etika kedokteran. Bagaimana kacamata hukum pidana memandang hukuman ini? Jika akan diterapkan, bagaimana gambaran idealnya? Apakah ini tidak melanggar HAM?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Secara garis besar, kebiri kimia adalah pemberian suatu zat kimia melalui penyuntikan atau metode lain yang ditujukan untuk menekan hasrat seksual berlebih.
Karena sudah diperintahkan dalam undang-undang, maka dokter yang ditetapkan menjadi eksekutor tindakan ini tidak boleh menolak dan harus melaksanakannya karena ini merupakan perintah undang-undang, yang mana menjadi alasan pembenar.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel ini adalah pemutakhiran kedua kali dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M.H. dan dipublikasikan pertama kali pada Rabu, 17 Juni 2020 dan dimutakhirkan pertama kali pada 5 Januari 2021.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Sebelum membahas lebih jauh mengenai hukum kebiri kimia, ada baiknya kita pahami terlebih dahulu apa itu kebiri kimia.
Hukuman berupa tindakan kebiri kimia atau yang lebih familiar disebut hukuman kebiri adalah pemberian zat kimia melalui penyuntikan atau metode lain, yang dilakukan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, sehingga menimbulkan korban lebih dari 1 orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, untuk menekan hasrat seksual berlebih, yang disertai rehabilitasi.[1]
Sehingga, menjawab pertanyaan Anda, secara garis besar kebiri kimia adalah pemberian suatu zat kimia melalui penyuntikan atau metode lain yang ditujukan untuk menekan hasrat seksual berlebih.
Selain hukuman kebiri kimia, UU 23/2002 dan PP 70/2020 juga mengatur pengenaan pidana tambahan berupa pemasangan alat pendeteksi elektronik atau chip. Pemasangan chip ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan mantan narapidana.[2]
Yang Dapat Dikenakan Hukuman Kebiri Kimia dan Pemasangan Chip
Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, pengenaan hukuman kebiri kimia dan pemasangan chip ini ditunjukkan bagi:
Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
Pelaku tindak pidana persetubuhan kepada anak, sebagaimana diatur dalam Pasal 76D UU 35/2014:
Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Pelaku tindak pidana persetubuhan kepada anak dan tindak pidana perbuatan cabul kepada anak dipidana penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun dan denda maksimal Rp5 miliar.[3]
Namun, patut diperhatikan bahwa tidak semua pelaku tindak pidana perbuatan cabul dan tindak pidana persetubuhan kepada anak dikenakan tindakan berupa pemasangan alat pendeteksi elektronik atau chip dan/atau kebiri kimia.
Tindakan berupa pemasangan alat pendeteksi elektronik atau chip dapat dikenakan pada:[4]
Pelaku tindak pidana perbuatan cabul kepada anak yang merupakan orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari 1 orang secara bersama-sama.[5]
Pelaku yang sebelumnya pernah dipidana karena melakukan tindak pidana persetubuhan kepada anak dan/atau tindak pidana perbuatan cabul kepada anak.[6]
Pelaku tindak pidana persetubuhan kepada anak dan/atau tindak pidana perbuatan cabul kepada anak yang menimbulkan korban lebih dari 1 orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia.[7]
Sedangkan hukuman kebiri kimia dapat dikenakan kepada:[8]
Pelaku tindak pidana persetubuhan kepada anak yang sebelumnya pernah dipidana karena melakukan tindak pidana yang sama.[9]
Pelaku tindak pidana persetubuhan kepada anak yang menimbulkan korban lebih dari 1 orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia.[10]
Tindakan pemasangan chip dan kebiri kimia dikenakan untuk jangka waktu maksimal 2 tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok.[11]
Pelaksanaan pemasangan chip dan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasinya di bawah pengawasan berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan.[12]
Pandangan Hukum Pidana
Menurut hemat kami, pelaku kejahatan seksual terhadap anak dikualifikasikan sebagai graviora delicta atau kejahatan serius yang kejam. Mengapa dikatakan demikian? Karena anak sangat rentan menjadi korban kejahatan dan oleh sebab itu harus diberikan perlindungan.
Secara khusus dalam lingkungan gereja, kejahatan seksual terhadap anak memang dipandang sebagai graviora delicta dan menjadi perhatian khusus bagi gereja, seperti yang tergambar dalam Ave Maria International Law Journal yang berjudul The New Delicta Graviora Laws yang ditulis Davide Cito (hal. 93):
Although the abuse of minors by a Cleric is a particularly odious and very serious crime, it is certainly not the only crime contained in the delicta graviora. However, recent events have made this particular type of crime the driving force of reform, and in a sense, the central point in the Holy See’s current penal legal system.
Anak sebagai korban kejahatan seksual terdampak luar biasa, terutama terhadap perkembangan psikologinya di masa yang akan datang, akibat dari depresi, malu, dan lain sebagainya.
Dalam konteks ini, hukuman berupa tindakan kebiri kimia dan pemasangan chip merupakan hukuman yang setimpal. Sebab, selain pelaku tidak bisa lagi mengulangi perbuatannya, pada saat yang sama ini sekaligus sebagai general prevention bagi orang lain agar tidak melakukan kejahatan yang sama.
Hukuman Kebiri Kimia dan Pemasangan Chip, Melanggar HAM?
Pernyataan tindakan kebiri kimia dan pemasangan chip adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (“HAM”) memang tidaklah dapat dinafikan. Akan tetapi, apakah pelaku kejahatan seksual saat berbuat demikian juga memikirkan HAM anak yang menjadi korban?
Selain itu, dokter yang tidak mau menjadi eksekutor karena dianggap bertentangan dengan etika kedokteran merupakan permasalahan lain.
Dikutip dari Pasal 5 Kode Etik Kedokteran Indonesia (“KODEKI”), memang disebutkan:
Tiap perbuatan atau nasihat dokter yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik, wajib memperoleh persetujuan pasien/ keluarganya dan hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien tersebut.
Adapun Penjelasan Pasal 5 KODEKI, berbunyi:
Pada diri pasien sebagai manusia, kaitan badan/tubuh dan jiwa/mental tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Melemahkan daya tahan psikis dan fisik adalah bertentangan dengan fitrah/tugas ilmu kedokteran, karena hal ini jika dibiarkan justru akan membahayakan nyawa atau memperberat penderitaannya. Kecuali ada alasan pembenar, tindakan tersebut diperbolehkan seperti pembiusan pra-bedah pada umumnya, pemberian obat pra-anestesi/anestesi untuk kejang atau nyeri tak tertahankan.
Tindakan kebiri kimia memang berkaitan dengan ketentuan dalam KODEKI yang kami sebutkan di atas.
Akan tetapi, ketika suatu ketentuan tercantum dalam undang-undang, maka ia memiliki kekuatan hukum yang harus ditaati. Terlebih lagi, saat ini sudah ada peraturan pemerintah yang ditetapkan sebagai peraturan pelaksana hukuman kebiri kimia yakni PP 70/2020. Pasal 9 huruf b PP 70/2020 menyatakan:
Dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya kesimpulan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, jaksa memerintahkan dokter untuk melakukan pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia kepada Pelaku Persetubuhan.
Sehingga, apabila di kemudian hari dokter ditetapkan menjadi eksekutor tindakan ini, maka ia harus melaksanakannya karena ini merupakan perintah undang-undang yang mana menjadi alasan pembenar dan terhadapnya tidak boleh menolak.
Alasan pembenar ini dapat dilihat pada, misalnya Pasal 50 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang menegaskan bahwa barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana atau Pasal 51 ayat (1) KUHP yang menerangkan bahwa barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.