Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Aturan dan Bentuk Perjanjian Perkawinan dalam Islam

Share
copy-paste Share Icon
Keluarga

Aturan dan Bentuk Perjanjian Perkawinan dalam Islam

Aturan dan Bentuk Perjanjian Perkawinan dalam Islam
Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Aturan dan Bentuk Perjanjian Perkawinan dalam Islam

PERTANYAAN

Apakah perjanjian perkawinan dalam Islam itu diperbolehkan? Jika iya, bolehkah pembuatannya menyimpangi hukum Islam? Terima kasih.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Sebagai suatu perjanjian, perjanjian perkawinan dalam Islam termasuk ke dalam aspek muamalah. Sehingga pembuatan perjanjian perkawinan hukumnya mubah atau boleh, selama tidak melanggar asas-asas perjanjian dalam hukum Islam.

    Lantas, bagaimana isi yang boleh diatur dalam perjanjian perkawinan menurut hukum Islam?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran kedua dari artikel dengan judul Kedudukan Perjanjian Perkawinan Menurut Hukum Islam yang dibuat oleh Erizka Permatasari, S.H. dan dipublikasikan pertama kali pada Senin, 29 Juni 2020, kemudian dimutakhirkan pada Selasa, 27 September 2022.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    KLINIK TERKAIT

    Fungsi, Isi Materi, dan Bentuk-Bentuk Perjanjian Kawin

    Fungsi, Isi Materi, dan Bentuk-Bentuk Perjanjian Kawin

    Apakah perjanjian perkawinan dapat mengenyampingkan hukum Islam? Jika seseorang telah memilih membuat perjanjian perkawinan, apakah masih bisa menerapkan hukum perdata Islam lainnya, seperti di bidang waris dan lain-lain?

    Sebelum membahas kedudukan perjanjian perkawinan dalam Islam, mari simak seputar perjanjian perkawinan terlebih dahulu.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Perjanjian perkawinan diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan jo. Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 (hal. 156) yang menyatakan bahwa pada waktu sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

    Aturan tersebut menjadi dasar dibolehkannya calon pasangan suami istri dan/atau pasangan suami istri untuk membuat perjanjian perkawinan. Lebih lanjut, perjanjian dapat dibuat baik sebelum perkawinan dilangsungkan (prenuptial agreement) maupun selama dalam ikatan perkawinan (postnuptial agreement).

    Dalam hukum perkawinan Islam, perjanjian perkawinan diatur pula dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 52 KHI.

    Perjanjian Perkawinan Ditinjau dari Perspektif Hukum Islam

    Sebelum membahas lebih jauh mengenai kedudukan perjanjian perkawinan dalam Islam, perlu diketahui bahwa setiap perbuatan di dalam hukum Islam dapat ditentukan hukumnya dalam suatu penggolongan.

    Penggolongan ini dikenal dengan istilah al-ahkam al-khamsah (penggolongan hukum yang lima).

    Mengutip Imam Syafi’i, Sayuti Thalib dalam Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku bagi Umat Islam (hal. 17) menggolongkan al-ahkam al-khamsah sebagai berikut.

    1. Fardh atau wajib adalah perbuatan yang dilakukan atas perintah. Apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan mendapat dosa.
    2. Sunah atau mandub adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar anjuran. Apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapat dosa.
    3. Ibahah atau mubah adalah kebolehan. Suatu perbuatan boleh dikerjakan dan boleh juga tidak dikerjakan. Baik dikerjakan atau tidak, tidak mendapat pahala atau dosa.
    4. Makruh atau larangan ringan adalah perbuatan yang dilarang untuk dilakukan, namun bila dilakukan tidak diancam dengan hukuman atau dosa. Apabila perbuatan tersebut ditinggalkan, maka mendapat pahala.
    5. Haram atau larangan adalah perbuatan yang apabila dilakukan mendapat dosa dan apabila ditinggalkan maka mendapat pahala.

    Perjanjian perkawinan adalah salah satu bentuk dari perjanjian yang dibuat antara satu pihak dengan pihak lainnya. Sebagai suatu perjanjian, maka perjanjian perkawinan termasuk ke dalam aspek muamalah.

    Dalam hal muamalah, pada dasarnya para pihak bebas melakukan perbuatan apa saja, selama perbuatan tersebut tidak dilarang menurut hukum Islam. Hal ini sesuai dengan kaidah fikih muamalah kontemporer bahwa hukum asal praktik muamalah adalah boleh dilakukan, hingga ada dalil yang menunjukkan hukum kebalikannya.

    Merujuk pada penggolongan hukum di atas, kegiatan membuat perjanjian perkawinan hukumnya adalah mubah atau boleh, selama tidak melanggar asas-asas perjanjian dalam hukum Islam.

    Hal tersebut juga sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 45 KHI yang menerangkan bahwa kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk taklik talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

    Bentuk Perjanjian Perkawinan dalam Islam

    Sebagaimana diterangkan dalam KHI, Terdapat dua bentuk perjanjian perkawinan dalam Islam, yaitu taklik talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

    Taklik talak

    Taklik talak adalah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.[1]

    Dalam hal taklik talak, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, yakni sebagai berikut.

    • Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.[2]
    • Apabila keadaan yang terdapat dalam taklik talak terjadi, maka bukan berarti talak jatuh dengan sendirinya. Istri harus mengajukan ke Pengadilan Agama untuk menjatuhkan talak tersebut.[3]
    • Perjanjian taklik talak bukan hal yang wajib diadakan.[4]
    • Apabila suami telah membuat taklik talak, maka taklik talak tersebut tidak dapat dicabut kembali.[5]

    Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam

    Ketentuan Pasal 47 ayat (1) KHI mendeskripsikan frasa ‘perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam’ sebagai berikut:

    Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.

    Menurut hemat kami, hal ini sesuai dengan apa yang dimaknai sebagai perjanjian perkawinan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan jo. Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 yang telah kami uraikan sebelumnya.

    Isi Perjanjian Perkawinan dalam Islam

    Apa saja yang boleh diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan dalam hukum Islam? Adapun isi perjanjian perkawinan dalam Islam dapat berupa hal-hal berikut.

    1. Percampuran harta pribadi

    Ketentuan Pasal 47 KHI mengatur hal terkait kedudukan harta dalam perkawinan. Perjanjian yang dibuat dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Islam.[6]

    Pada dasarnya, perkawinan tidak menimbulkan adanya percampuran harta antara suami-istri karena harta di dalam hukum Islam bersifat individual. Hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 86 ayat (1) KHI yang menerangkan bahwa pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan.

    Namun, apabila kedua pihak ingin melakukan pencampuran harta pribadi maka hal tersebut dibolehkan. Dengan catatan, apa yang diatur di dalam perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam.

    1. Pemisahan harta pencaharian

    Merujuk pada Pasal 47 KHI, kedua pihak juga dapat mengatur mengenai pemisahan harta pencaharian masing-masing selama dalam ikatan perkawinan.

    Menurut Sayuti Thalib dalam Hukum Kekeluargaan Indonesia (hal. 83), yang dimaksud dengan harta pencaharian adalah harta yang diperoleh oleh suami istri setelah mereka berada dalam perkawinan karena usaha, baik usaha mereka berdua atau usaha salah seorang dari mereka.

    Dalam hal pemisahan harta pencaharian, isi perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

    Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 48 ayat (1) KHI yang menerangkan bahwa apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

    1. Kewenangan untuk mengadakan hipotek atas harta pribadi dan bersama

    Selain itu, kedua pihak juga dapat mengadakan ikatan hipotek atas harta pribadi dan harta bersama.

    Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 47 ayat (3) KHI yang menerangkan bahwa isi perjanjian itu boleh juga menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotek atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.

    Selain mengatur mengenai harta, menurut hemat kami, perjanjian perkawinan juga dapat mengatur hal-hal tambahan seperti hak dan kewajiban suami istri, pengaturan poligami, hak asuh anak, dan lain-lain.

    Apakah Isi Perjanjian Perkawinan Boleh Menyimpangi Hukum Islam?

    Apabila merujuk pada Pasal 29 ayat (2) UU Perkawinan, dijelaskan bahwa perjanjian perkawinan tidak dapat disahkan apabila melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan.

    Hal serupa juga dijelaskan dalam Pasal 46 ayat (1) dan Pasal 47 ayat (2) KHI.

    Pasal 46 ayat (1) KHI

    Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.

    Pasal 47 ayat (2) KHI

    Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam.

    Dengan demikian, bagi umat Islam, isi perjanjian perkawinan tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.

    Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.

    Demikian jawaban kami terkait perjanjian perkawinan dalam Islam sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
    2. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

    Putusan:

    Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015.

    Referensi:

    Sayuti Thalib. Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku bagi Umat Islam. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2014.


    [1] Pasal 1 huruf e Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (”KHI”)

    [2] Pasal 46 ayat (1) KHI

    [3] Pasal 46 ayat (2) KHI

    [4] Pasal 46 ayat (3) KHI

    [5] Pasal 46 ayat (3) KHI

    [6] Pasal 47 ayat (2) KHI

    Tags

    perjanjian kawin
    perkawinan

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Akun Pay Later Anda Di-Hack? Lakukan Langkah Ini

    19 Jul 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!