Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Potensi Masalah Hukum Jika UU Disahkan di Tengah Pandemi COVID-19

Share
copy-paste Share Icon
Kenegaraan

Potensi Masalah Hukum Jika UU Disahkan di Tengah Pandemi COVID-19

Potensi Masalah Hukum Jika UU Disahkan di Tengah Pandemi COVID-19
Fahmi Ramadhan Firdaus, S.H., M.H.Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) FH Universitas Jember
Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) FH Universitas Jember
Bacaan 10 Menit
Potensi Masalah Hukum Jika UU Disahkan di Tengah Pandemi COVID-19

PERTANYAAN

Apakah pengesahan UU yang tidak urgent di tengah pandemi COVID-19 ini diperbolehkan? Seperti UU Minerba terbaru atau rencana pengesahan RUU lainnya, seperti RUU HIP atau Cipta Kerja. Padahal masyarakat sedang mengalami permasalahan yang nyata karena terkena dampak pandemi ini, sehingga pemerintah seharusnya fokus pada kebijakan untuk menanggulangi ini. Apakah ada cacat hukum tentang pengesahan UU seperti ini yang bisa digunakan masyarakat untuk meminta pembatalan?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Perlu digarisbawahi bahwa salah satu muatan undang-undang adalah untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat.
     
    Hal ini relevan dengan kondisi sekarang, karena pembentukan undang-undang harus mengedepankan penanganan pandemi COVID-19. Mengenai beberapa undang-undang yang dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan hukum dan cenderung merugikan masyarakat yang kemudian disahkan selama pandemi merupakan hal yang kurang tepat, apalagi undang-undang tersebut dianggap cacat formil, karena tidak melibatkan partisipasi publik.
     
    Atas pengesahan undang-undang yang demikian, dapat diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi yang berimplikasi pada pembatalan sebagian pasal atau keseluruhan undang-undang tersebut.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Tahapan Pembentukan Undang-Undang
    Perlu dipahami terlebih dahulu bahwa terdapat 5 tahapan dalam proses pembentukan undang-undang berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”) sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 15/2019”), yang pada intinya sebagai berikut:
     
    1. Perencanaan
    Perencanaan penyusunan undang-undang dituangkan dalam Program Legislasi Nasional (“Prolegnas”) yang menjadi blueprint program pembentukan undang-undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional. Prolegnas terbagi menjadi dua, yakni Prioritas Jangka Menengah yang disusun untuk jangka waktu 5 tahun dan Prolegnas Prioritas Tahunan.[1]
     
    1. Penyusunan
    Penyusunan rancangan undang-undang disertai naskah akademik yang dapat berasal dari presiden atau Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) dan/atau Dewan Perwakilan Daerah.[2]
     
    1. Pembahasan 
    Pembahasan rancangan undang-undang dilakukan oleh eksekutif bersama legislatif melalui 2 tingkat pembicaraan. Tingkat satu, yakni pembicaraan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat badan legislasi, rapat badan anggaran atau rapat panitia khusus. Tingkat dua adalah pembicaraan dalam rapat paripurna.[3]
     
    1. Pengesahan
    Rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan presiden disampaikan oleh pimpinan DPR kepada presiden dalam jangka waktu paling lama 7 hari sejak tanggal persetujuan bersama untuk kemudian disahkan menjadi undang-undang.[4]
     
    1. Pengundangan
    Undang-undang kemudian wajib diundangkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.[5]
     
    Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UU 12/2011, materi muatan yang harus diatur dalam undang-undang adalah:
    1. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”);
    2. perintah suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-undang;
    3. pengesahan perjanjian internasional tertentu;
    4. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
    5. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
     
    Untuk proses pembentukan undang-undang secara lengkapnya dapat Anda simak di Proses Pembentukan Undang-Undang.
     
    Pengesahan Undang-Undang di Tengah Pandemi
    Terkait pertanyaan Anda, sesungguhnya dapat merujuk pada pasal di atas bahwa undang-undang haruslah dibentuk untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat. Kebutuhan masyarakat saat ini, yakni upaya untuk penanganan pandemi COVID-19.
     
     
    Memang banyak yang menyayangkan, karena terdapat beberapa rancangan undang-undang yang tidak berkaitan dengan kebutuhan masyarakat bahkan dianggap merugikan masyarakat ikut disahkan juga selama pandemi COVID-19. Padahal, seharusnya DPR memaksimalkan fungsi pengawasan dan anggaran selama pandemi ini.
     
    Salah satu yang disorot adalah pengesahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang dipandang disahkan secara terburu-buru dan dianggap cacat formil, karena tidak melibatkan partisipasi publik seluas-luasnya dan tidak sesuai ketentuan carry over dalam Pasal 71A UU 15/2019.
     
    Cacat Hukum dalam Pembentukan Undang-Undang
    Mengenai beberapa undang-undang yang dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan hukum dan cenderung merugikan masyarakat yang kemudian disahkan selama pandemi merupakan hal yang kurang tepat, apalagi undang-undang tersebut dianggap cacat formil, karena tidak melibatkan partisipasi publik.
     
    Menyoal cacat hukum, sesungguhnya dapat dibagi menjadi dua, yakni cacat materiil dan cacat formil yang kemudian terhadap dugaan cacat hukum ini dapat diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
     
    Menurut Bachtiar dalam buku Problematika Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi pada Pengujian UU terhadap UUD (hal. 133), pengujian konstitusionalitas undang-undang dapat dilakukan secara materiil (materiele toetsing) atau secara formil (formele toetsing).
     
    Pengujian secara materiil adalah pengujian yang berkaitan dengan isi atau substansi dari suatu undang-undang. Sementara pengujian secara formil adalah pengujian yang berkaitan dengan apakah proses pembuatan undang-undang telah sesuai atau tidak dengan prosedur yang ditetapkan.
     
    Pembagian antara pengujian materiil dan pengujian formil termaktub pada Pasal 51 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, bahwa dalam permohonan ke Mahkamah Konstitusi, pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa:
    1. pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945; dan/atau
    2. materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
     
    Apabila undang-undang itu terbukti cacat secara materiil maupun formil, maka implikasinya adalah pembatalan sebagian atau keseluruhan undang-undang tersebut.
     
    Baca juga: Telah Disahkan DPR, Sejumlah Ketentuan UU Minerba Masih Menuai Polemik
     
    Kami telah mengkompilasi berbagai topik hukum yang sering ditanyakan mengenai dampak wabah COVID-19 terhadap kehidupan sehari-hari mulai dari kesehatan, bisnis, ketenagakerjaan, profesi, pelayanan publik, dan lain-lain. Informasi ini dapat Anda dapatkan di tautan berikut covid19.hukumonline.com.
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
     
    Referensi:
    Bachtiar. Problematika Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi pada Pengujian UU terhadap UUD. Jakarta: Raih Asa Sukses, 2015.
     

    [1] Pasal 16, Pasal 17, Pasal 20 ayat (3), (5), dan (6) UU 12/2011 sebagaimana yang telah diubah dengan UU 15/2019
    [2] Pasal 43 ayat (3) UU 12/2011
    [3] Pasal 66 dan Pasal 67 UU 12/2011
    [4] Pasal 72 dan Pasal 73 ayat (1) UU 12/2011
    [5] Pasal 81 huruf a, b, c, dan d UU 12/2011

    Tags

    konstitusi
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    TIPS HUKUM

    Akun Pay Later Anda Di-Hack? Lakukan Langkah Ini

    24 Mar, 2023 Bacaan 10 Menit
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!