Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Pemotongan THR dan Penonaktifan BPJS bagi Karyawan yang Unpaid Leave

Share
copy-paste Share Icon
Bisnis

Pemotongan THR dan Penonaktifan BPJS bagi Karyawan yang Unpaid Leave

Pemotongan THR dan Penonaktifan BPJS bagi Karyawan yang <i>Unpaid Leave</i>
Yudha Khana Saragih, S.H.Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron
Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron
Bacaan 10 Menit
Pemotongan THR dan Penonaktifan BPJS bagi Karyawan yang <i>Unpaid Leave</i>

PERTANYAAN

Mohon bantuan untuk permasalahan karyawan yang melaksanakan cuti di luar pertanggungan, karena alasan kesehatan (anjuran dokter). Cutinya disetujui dengan risiko tidak menerima gaji, tunjangan dan fasilitas lainnya (sesuai peraturan perusahaan). Ketika cuti, status BPJS dinonaktifkan dan THR dihitung prorata. Apakah BPJS termasuk tunjangan dalam UU 13/2003? Dan bagaimana hukumnya perhitungan prorata THR walaupun sudah menjadi karyawan tetap selama 5 tahun?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Kami tidak menemukan adanya ketentuan mengenai pemotongan Tunjangan Hari Raya (“THR”) apabila pekerja/buruh menjalankan cuti di luar tanggungan (unpaid leave). Kami menyarankan Anda untuk membaca ketentuan pembayaran THR yang diatur secara khusus dalam perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama, maupun peraturan perusahaan yang berlaku di tempat Anda bekerja.
     
    Selanjutnya, pemungutan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (“BPJS”) bukan bagian dari tunjangan, melainkan hasil pemotongan upah pekerja yang disetorkan oleh pengusaha ke BPJS sebagai akibat kepesertaan pekerja di BPJS.
     
    Namun, apakah dengan menjalani cuti di luar tanggungan, kepesertaan pekerja di BPJS dapat dinonaktifkan? Penjelasan selengkapnya dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Besaran Tunjangan Hari Raya Ketika Cuti di Luar Tanggungan
    Setiap pekerja/buruh berhak atas penghasilan yang layak atas hasil pekerjaannya, sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar.[1]
     
    Penghasilan yang layak tersebut diberikan dalam bentuk:[2]
    1. upah; dan
    2. pendapatan non upah.
     
    Upah tersebut hanya diterima oleh pekerja/buruh sepanjang ia melaksanakan pekerjaannya atau yang dikenal dengan prinsip no work no pay yang diatur dalam Pasal 93 ayat (1) UU Ketenagakerjaan:
     
    Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan
     
    Prinsip no work no pay tersebut dikecualikan dalam hal pekerja/buruh sedang menjalankan hak waktu istirahat kerja yang meliputi:[3]
    1. hak istirahat mingguan;
    2. cuti tahunan;
    3. istirahat panjang;
    4. cuti sebelum dan sesudah melahirkan; atau
    5. cuti keguguran kandungan.
     
    Mengacu pada prinsip no work no pay di atas, dalam hal pekerja/buruh mengajukan hak waktu istirahat kerja di luar ketentuan di atas, maka pekerja/buruh tidak akan mendapatkan upah, kecuali perusahaan menentukan lain.
     
    Cuti yang demikian biasanya dikenal dengan cuti di luar tanggungan atau unpaid leave.
     
    Lalu, apakah pengajuan unpaid leave berdampak pada perhitungan Tunjangan Hari Raya (“THR”)?
     
    Dalam Pasal 6 ayat (1) PP Pengupahan, THR merupakan bagian dari pendapatan non upah.
     
    Perhitungan besaran THR diatur lebih lanjut dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 Tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh Di Perusahaan (“Permenaker 6/2016”) yang menerangkan bahwa besaran THR ditetapkan sebagai berikut:
    1. pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih, diberikan sebesar 1 bulan upah;
    2. pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja 1 bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 bulan, diberikan secara proporsional sesuai masa kerja dengan perhitungan: (masa kerja : 12) x 1 bulan upah.
     
    Berdasarkan penelusuran yang kami lakukan, kami tidak menemukan adanya ketentuan mengenai pemotongan THR apabila pekerja/buruh menjalankan cuti di luar tanggungan (unpaid leave).
     
    Karena, berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1) Permenaker 6/2016, perhitungan THR secara proporsional hanya dapat dilakukan apabila pekerja/buruh memiliki masa kerja kurang dari 1 tahun.
     
    Meski demikian, kami menyarankan Anda untuk membaca ketentuan pembayaran THR yang diatur secara khusus dalam perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama, maupun peraturan perusahaan yang berlaku di perusahaan tempat Anda bekerja.
     
    Apakah Iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Termasuk Tunjangan?
    Tunjangan adalah bagian dari upah atau gaji yang akan diterima oleh pekerja/buruh sebagai imbalan atas pekerjaannya.
     
    Berdasarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor SE/07/MEN/1990 tentang Pengelompokan Komponen Upah dan Pendapatan Non Upah, ada 3 komponen upah yang dibutuhkan untuk membentuk penghasilan untuk pekerja/buruh, yaitu:
     
    1. Upah pokok, yaitu imbalan dasar yang dibayarkan kepada pekerja menurut tingkat atau jenis pekerjaan yang besarnya ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
     
    1. Tunjangan tetap, yaitu suatu pembayaran yang teratur berkaitan dengan pekerjaan dan diberikan secara tetap untuk pekerja dan keluarganya serta dibayarkan dalam satuan waktu yang sama dengan pembayaran upah pokok, seperti tunjangan istri, tunjangan anak, tunjangan perumahan, tunjangan kematian, tunjangan daerah dan lain-lain.
    Tunjangan makan dan tunjangan tranportasi dapat dimasukkan dalam komponen tunjangan tetap apabila pemberian tunjangan tersebut tidak dikaitkan dengan kehadiran, dan diterima secara tetap oleh pekerja menurut satuan waktu, harian atau bulanan.
     
    1. Tunjangan tidak tetap, yaitu suatu pembayaran secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan pekerja, yang diberikan secara tidak tetap untuk pekerja dan keluarganya serta dibayarkan menurut satuan waktu yang tidak sama dengan waktu pembayaran upah pokok, seperti tunjangan transportasi yang didasarkan pada kehadiran atau tunjangan makan yang dapat dimasukkan ke dalam tunjangan tidak tetap apabila tunjangan tersebut diberikan atas dasar kehadiran (pemberian tunjangan bisa dalam bentuk uang atau fasilitas makan).
    Terhadap komponen upah di atas, terdapat potongan yang mengurangi jumlah penghasilan pekerja. Potongan ini biasanya terdiri dari pajak penghasilan, iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (“BPJS”), dan lain-lain.
     
    Khusus mengenai pembayaran iuran BPJS, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (“UU BPJS”) mewajibkan pemberi kerja untuk memungut iuran yang menjadi beban pekerjanya sebagai peserta dan menyetorkannya kepada BPJS.[4]
     
    Pemungutan iuran tersebut dilakukan pemberi kerja melalui pemotongan upah pekerja yang dibenarkan oleh Pasal 57 ayat (1) dan (4) PP Pengupahan.
     
    Menjawab pertanyaan Anda, berdasarkan penjelasan di atas, pembayaran iuran BPJS oleh pemberi kerja bukanlah bagian dari komponen upah maupun tunjangan, melainkan hasil pemotongan upah pekerja yang disetorkan oleh pengusaha ke BPJS sebagai akibat kepesertaan pekerja di BPJS.
     
    Lebih lanjut, karena pekerja/buruh tidak mendapatkan upah selama masa cuti di luar tanggungan (unpaid leave), maka pengusaha tidak dapat melakukan pemotongan iuran BPJS untuk disetorkan, sehingga dapat mengakibatkan kepesertaan BPJS dihentikan sementara.
     
    Meski demikian, Anda tetap dapat mengaktifkan kembali kepesertaan BPJS dengan membayar denda sebagaimana kami berikan contoh menurut Pasal 42 ayat (1), (3), dan (5) Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan (“Perpres 64/2020”).
     
    Dengan catatan, dalam konteks BPJS Kesehatan, jika pemberi kerja belum melunasi tunggakan iuran tersebut, pemberi kerja wajib bertanggung jawab pada saat pekerjanya membutuhkan pelayanan kesehatan sesuai dengan manfaat yang diberikan.[5]
     
    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
     

    [1] Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) dan penjelasannya
    [2] Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan (“PP Pengupahan”)
    [3] Pasal 24 ayat (5) PP Pengupahan
    [4] Pasal 19 ayat (1) UU BPJS
    [5] Pasal 42 ayat (2) Perpres 64/2020

    Tags

    hukumonline
    ketenagakerjaan

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Perancang Peraturan (Legislative Drafter) Harus Punya Skill Ini

    23 Jun 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!