Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh
Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Senin, 31 Agustus 2020.
Penerbitan Surat Peringatan
Pemberian SP kini diatur dalam Pasal 81 angka 42 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 154A ayat (1) huruf k UU Ketenagakerjaan yang berbunyi:
Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan:
k. pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Berdasarkan ketentuan di atas, masa berlaku SP dapat ditentukan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Sehingga, bisa saja diatur masa berlaku SP yang lebih singkat atau lebih lama dari 6 bulan.
Sebagaimana dijelaskan dalam artikel
Pemberian Surat Peringatan dalam Jangka Waktu Berdekatan, masa berlaku 6 bulan ini berarti jika seandainya pekerja melakukan pelanggaran, lalu diberikan SP pertama, kemudian kembali melakukan pelanggaran dalam masa berlaku tersebut, dapat diberikan SP kedua, yang juga berlaku selama 6 bulan, dan demikian berlaku hingga SP ketiga.
Apabila dalam kurun waktu masa berlaku SP ketiga pekerja yang bersangkutan kembali melakukan pelanggaran, hal ini dapat dijadikan sebagai alasan terjadinya PHK.
Namun, jika pekerja melakukan kembali pelanggaran setelah masa berlaku SP pertama terlampaui, maka SP yang diterbitkan adalah kembali pada peringatan pertama, demikian pula berlaku juga bagi SP kedua dan ketiga.
Sehingga, berdasarkan ketentuan dan penjelasan di atas, jika penyebaran informasi mengenai kasus positif COVID-19 di perusahaan yang dilakukan oleh pekerja kepada pihak keluarganya sendiri tidak diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, maka pemberian SP yang Anda tanyakan tidak memiliki landasan hukum.
Protokol Kesehatan di Perkantoran
Dalam Lampiran Kepmenkes 328/2020, pasca masa Pembatasan Sosial Berskala Besar, pihak manajemen/Tim Penanganan COVID-19 yang dibentuk di tempat kerja diimbau selalu memperhatikan informasi terkini serta imbauan dan instruksi pemerintah pusat dan daerah terkait COVID-19 di wilayahnya, serta memperbarui kebijakan dan prosedur terkait COVID-19 di tempat kerja sesuai dengan perkembangan terbaru (hal. 13).
Bila tempat kerja menemukan/mendapat informasi pekerja memenuhi kriteria sebagai Orang Tanpa Gejala, Orang Dalam Pemantauan, Pasien Dalam Pengawasan atau Konfirmasi COVID-19, maka tempat kerja diimbau untuk segera melaporkan dan berkoordinasi dengan Puskesmas atau Dinas Kesehatan setempat (hal. 14).
Setiap pekerja dengan status terkonfirmasi positif harus dilakukan penyelidikan epidemiologi untuk menemukan kontak erat (hal. 17).
Selanjutnya, harus dilakukan (hal. 20 – 21):
Identifikasi kontak di lingkungan kerja yaitu mengidentifikasi orang-orang/pekerja lain yang memiliki riwayat berinteraksi dengan pekerja terkonfirmasi positif dalam radius 1 meter, menggunakan formulir sebagai berikut:
Pekerja yang kontak dengan pekerja terkonfirmasi positif dikelompokkan menjadi 2 Ring berdasarkan 14 hari terakhir pekerja itu berkegiatan:
Ring 1: Pekerja dan orang lain yang pernah berinteraksi langsung dalam radius 1 meter dengan pekerja terkonfirmasi positif.
Ring 2: Pekerja dan orang lain yang berada dalam 1 ruangan dengan pekerja terkonfirmasi positif.
Terhadap pekerja yang telah teridentifikasi masuk dalam Ring 1 dan Ring 2 dilakukan pemeriksaan rapid test dan karantina/isolasi mandiri (bekerja dari rumah) dengan menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat dan physical distancing dan bila ada gejala, segera melaporkan ke petugas kesehatan.
Karantina mandiri dapat dilakukan di rumah atau tempat karantina/isolasi yang disediakan oleh tempat kerja/pemerintah.
Segera lakukan pembersihan dan disinfeksi pada ruangan/area kerja yang terkontaminasi pekerja terkonfirmasi positif COVID-19:
Tutup ruangan/area kerja yang pernah digunakan oleh pekerja sakit selama minimal 1 x 24 jam sebelum proses pembersihan dan disinfeksi dilakukan untuk meminimalkan potensi terpapar droplet dari saluran pernafasan.
Pembersihan dilakukan dengan melap semua area kerja pada permukaan-permukaan yang sering disentuh pekerja sakit dengan cairan disinfektan.
Melakukan penyemprotan dengan cairan disinfeksi pada ruangan yang terkontaminasi pekerja sakit.
Buka pintu dan jendela ke arah ruang terbuka untuk meningkatkan sirkulasi udara di dalam tempat tersebut. Jika memungkinkan tunggu lagi selama 1 x 24 jam setelah proses pembersihan dan disinfeksi dilakukan.
Selain itu, tempat kerja perkantoran dan industri juga diimbau untuk (hal. 23):
Menyediakan lingkungan kerja yang aman dan sehat bagi pekerja melalui berbagai upaya pencegahan dan pengendalian COVID-19 di tempat kerja terintegrasi dengan keselamatan dan kesehatan kerja.
Berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan dalam pencegahan penularan COVID-19 di tempat kerja.
Wajib melaporkan kepada Dinas Kesehatan apabila terdapat pekerja terkena COVID-19.
Jika diperlukan, memfasilitasi sarana karantina/isolasi mandiri bagi pekerja terindikasi Orang Tanpa Gejala, Orang Dalam Pemantauan, Pasien Dalam Pengawasan.
Berdasarkan uraian di atas, laporan mengenai pekerja yang terjangkit COVID-19 seharusnya dilakukan oleh tempat kerja atau dalam hal ini perusahaan.
Langkah Hukum
Pertama, wajib dilakukan perundingan bipartit secara musyawarah antara Anda dan perusahaan untuk mencapai mufakat terlebih dahulu paling lama 30 hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan.[1]
Kedua, apabila perundingan bipartit gagal, karena salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya ke instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa perundingan bipartit telah dilakukan, namun gagal.[2]
Ketiga, pelaksanaan mediasi oleh mediator yang berada di kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.[3] Jika mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.[4]
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
[1] Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU 2/2004
[2] Pasal 4 ayat (1) UU 2/2004
[3] Penjelasan Umum angka 6 dan Pasal 8 UU 2/2004