Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Upaya Hukum Jika Tak Digaji dan Diminta Mengembalikan Bonus

Share
copy-paste Share Icon
Ketenagakerjaan

Upaya Hukum Jika Tak Digaji dan Diminta Mengembalikan Bonus

Upaya Hukum Jika Tak Digaji dan Diminta Mengembalikan Bonus
Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Upaya Hukum Jika Tak Digaji dan Diminta Mengembalikan Bonus

PERTANYAAN

Perusahaan akan memotong gaji karyawan akibat dampak COVID-19 sebesar 30% dari gaji untuk sebagian posisi. Saya dan teman-teman kerja saya tidak setuju dan bernegosiasi agar pemotongan gaji jadi 15%. Namun, pihak perusahaan malah menaikan persentase pemotongan gaji menjadi 50%. Saya adalah karyawan yang kontraknya sudah habis dan menyambung kontrak tanpa ada perjanjian tertulis. Perusahaan sudah sepakat memberikan bonus kepada saya. Tapi setelah beberapa bulan, pihak perusahaan sekarang meminta balik bonus saya. Bahkan sekarang sudah 3 bulan pihak perusahaan tidak memberikan gaji kepada karyawan, padahal mereka menjanjikan untuk mencicil gaji. Apa yang harus saya lakukan? Apa bisa dibawa ke jalur hukum?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Pemotongan upah karena perusahaan terdampak COVID-19 tidak berdasarkan hukum dan dapat menimbulkan perselisihan hubungan industrial. Hal ini karena pemotongan upah hanya dapat dilakukan sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau peraturan kerja bersama untuk:
    1. denda;
    2. ganti rugi; dan/atau
    3. uang muka upah
    Bonus yang sudah dibayarkan kepada karyawan tidak bisa dituntut untuk dikembalikan, sebab bonus merupakan pendapatan non upah, yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dan merupakan hak pekerja/karyawan.
     
    Untuk perusahaan terdampak pandemi COVID-19, dengan pertimbangan kelangsungan usaha, dapat melakukan perubahan besaran upah atau cara pembayaran upah asalkan didasarkan atas kesepakatan dengan pekerja.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini. Anda juga bisa konsultasikan langsung masalah ini secara lebih spesifik dan personal dengan advokat berpengalaman di sini.

    ULASAN LENGKAP

    Ulasan:
    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Pemotongan Upah yang Sah
    Pertama-tama, berkaitan dengan gaji, dalam penyebutan di artikel ini kami akan memakai istilah “upah”, sebagaimana yang digunakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (“PP 78/2015”).
     
    Upah didefinisikan sebagai hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/ buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.[1]
     
    Perihal pemotongan upah, hal ini dapat dilakukan sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau peraturan kerja bersama untuk:[2]
    1. denda;
    2. ganti rugi; dan/atau
    3. uang muka upah
     
    Selain berdasarkan perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan peraturan kerja bersama, pemotongan upah juga dapat dilakukan untuk hal-hal di bahah ini, namun harus dilakukan berdasarkan kesepakatan atau perjanjian tertulis, yaitu untuk:[3]
    1. pembayaran hutang atau cicilan hutang karyawan; dan/atau
    2. sewa rumah dan/atau sewa barang-barang milik perusahaan yang disewakan oleh pengusaha kepada karyawan.
     
    Pemotongan upah juga dapat dilakukan tanpa persetujuan karyawan dalam hal terjadi kelebihan pembayaran upah kepada karyawan.[4]
     
    Patut dicatat, jumlah keseluruhan pemotongan upah tersebut maksimal 50% dari setiap pembayaran upah yang diterima karyawan.[5]
     
    Oleh karena itu, alasan pemotongan upah karyawan akibat perusahaan terdampak COVID-19 adalah tidak berdasarkan hukum dan dapat menimbulkan perselisihan hubungan industrial.
     
    Baca juga: Bolehkah Memotong Gaji Karyawan karena Perusahaan Terdampak Virus Corona?
    Status Anda Demi Hukum Menjadi PKWTT
    Berdasarkan kronologis, Anda berstatus sebagai karyawan dengan perjanjian kerja untuk waktu tertentu (“PKWT”) yang sudah habis masa kerjanya dan diperpanjang tanpa perjanjian kerja tertulis atau dengan kata lain perjanjian kerja lisan.[6]
     
    Dalam hal ini, Pasal 57 ayat (1) dan (2) UU 13/2003 menegaskan:
    1. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.
    2. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu.
     
    Dikarenakan perpanjangan PKWT Anda tidak dibuat dalam perjanjian tertulis, maka demi hukum perjanjian kerja tersebut dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu (“PKWTT”), maka Anda berhak menuntut hak-hak sebagai karyawan PKWTT.
     
    Baca juga: Status Hukum Hubungan Kerja Tanpa Perjanjian Kerja Tertulis
     
    Pengembalian Bonus
    Mengenai bonus yang Anda sebutkan, pemberian bonus dikategorikan sebagai pendapatan non upah, yang diberikan atas keuntungan perusahaan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.[7]
     
    Jadi, disamping upah, bonus merupakan hak karyawan, yang mana keduanya adalah bagian dari penghasilan yang layak yang didapatkan oleh pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya.[8] Oleh karenanya, menurut hemat kami, apabila bonus telah diberikan berdasarkan kesepakatan antara karyawan dengan perusahaan, maka perusahaan tidak berhak untuk menuntut pengembalian bonus tersebut.
     
    Upah yang Dicicil dan Tidak Dibayar
    Pengusaha yang terlambat membayar dan/atau tidak membayar upah dikenai denda, dengan ketentuan:[9]
    1. mulai dari hari keempat sampai hari kedelapan terhitung tanggal seharusnya upah dibayar, dikenakan denda sebesar 5% untuk setiap hari keterlambatan dari upah yang seharusnya dibayarkan;
    2. sesudah hari kedelapan, apabila upah masih belum dibayar, dikenakan denda keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a ditambah 1% untuk setiap hari keterlambatan dengan ketentuan 1 bulan tidak boleh melebihi 50% dari upah yang seharusnya dibayarkan; dan
    3. sesudah sebulan, apabila upah masih belum dibayar, dikenakan denda keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b ditambah bunga sebesar suku bunga yang berlaku pada bank pemerintah.
     
    Patut digarisbawahi, pengenaan denda tersebut tidak menghilangkan kewajiban pengusaha untuk tetap membayar upah kepada karyawannya.[10]
     
    Baca juga: Langkah Hukum Jika Pengusaha Tidak Bayar Upah
     
    Sedangkan pembayaran upah tidak boleh dicicil karena harus dibayarkan seluruhnya pada setiap periode dan per tanggal pembayaran upah yang telah diperjanjikan.[11]
     
    Namun, terkait penyesuaian pembayaran upah di tengah pandemi seperti ini, perusahaan dapat merujuk kepada Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/III/2020 Tahun 2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan COVID-19 (“SE Menaker M/3/HK.04/III/2020”).
     
    Perusahaan yang melakukan pembatasan kegiatan usaha akibat kebijakan pemerintah di daerah masing-masing guna pencegahan dan penanggulangan COVID-19, sehingga menyebabkan sebagian atau seluruh pekerja/buruhnya tidak masuk kerja, dengan mempertimbangkan kelangsungan usaha maka perubahan besaran maupun cara pembayaran upah pekerja/buruh dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh.[12]
     
    Jadi, pengusaha atau perusahaan diperbolehkan menurunkan besaran upah, atau merubah cara pembayaran upah, agar tetap memiliki cukup modal bagi keberlangsungan usahanya di tengah wabah COVID-19 ini, sepanjang dilakukan atas dasar kesepakatan antara pengusaha dengan karyawan.
     
    Baca juga: Upah Dicicil karena Merosotnya Income Perusahaan Akibat COVID-19
     
    Langkah Hukum
    Untuk menuntut pembayaran upah secara penuh ataupun persoalan uang bonus tersebut, Anda dapat menempuh langkah hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial, karena hal tersebut termasuk dalam perselisihan hak.[13]
     
    Setiap perselisihan hubungan industrial wajib diselesaikan terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat paling lama 30 hari kerja sejak tanggal dimulai perundingan.[14]
     
    Apabila salah satu pihak menolak berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan dalam jangka waktu 30 hari, maka perundingan bipartit dianggap gagal.[15]
     
    Apabila gagal, selanjutnya salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihan ke instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa perundingan bipartit telah dilakukan.[16]
     
    Setelah itu, dilakukan mediasi terlebih dahulu sebelum diajukan ke pengadilan hubungan industrial.[17] Jika dalam mediasi tidak tercapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke pengadilan hubungan industrial.[18]
     
    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan advokat berpengalaman di sini.
     
    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
     

    [1] Pasal 1 angka 1 PP 78/2015
    [2] Pasal 57 ayat (1) PP 78/2015
    [3] Pasal 57 ayat (5) PP 78/2015
    [4] Pasal 57 ayat (6) PP 78/2015
    [5] Pasal 58 PP 78/2015
    [6] Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU 13/2003”)
    [7] Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 8 PP 78/2015
    [8] Pasal 4 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 6 ayat (2) huruf a  78/2015
    [9] Pasal 55 ayat (1) PP 78/2015
    [10] Pasal 55 ayat (2) PP 78/2015
    [11] Pasal 20 PP 78/2015
    [12] Poin II SE Menaker M/3/HK.04/III/2020
    [13] Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU 2/2004”)
    [14] Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU 2/2004
    [15] Pasal 3 ayat (3) UU 2/2004
    [16] Pasal 4 ayat (1) UU 2/2004
    [17] Penjelasan Umum Angka 6 UU 2/2004
    [18] Penjelasan Umum Angka 7 UU 2/2004

    Tags

    ketenagakerjaan

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Perhatikan Ini Sebelum Tanda Tangan Kontrak Kerja

    20 Mar 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!