Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Bisakah Masyarakat Menggugat Koruptor untuk Ganti Rugi?

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Bisakah Masyarakat Menggugat Koruptor untuk Ganti Rugi?

Bisakah Masyarakat Menggugat Koruptor untuk Ganti Rugi?
Rusti Margareth Sibuea, S.H.Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron
Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron
Bacaan 10 Menit
Bisakah Masyarakat Menggugat Koruptor untuk Ganti Rugi?

PERTANYAAN

Bisakah masyarakat menggugat koruptor yang sudah menjalani hukuman karena kejahatannya? Contoh kasus: A bekerja di proyek pembangunan jembatan di sebuah daerah dan melakukan korupsi dana pembangunan jembatan. Ia kemudian telah menjalani hukuman atas perbuatannya. Karena kejadian korupsi tersebut, jembatan tidak selesai sehingga masyarakat kesulitan untuk melakukan mobilisasi. Bisakah A digugat kembali untuk mengganti rugi karena alasan di atas?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Gugatan perdata terkait tindak pidana korupsi kepada koruptor maupun ahli warisnya dapat diajukan. Namun, gugatan tersebut tidak dapat diajukan oleh masyarakat, melainkan hanya dapat diajukan oleh negara yang diwakili oleh jaksa pengacara negara atau instansi yang dirugikan sepanjang memenuhi persyaratan kondisi yang telah ditetapkan dalam undang-undang.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Ulasan:
     
    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Gugatan perdata terkait tindak pidana korupsi dapat diajukan dalam kondisi tertentu yang telah diatur secara limitatif dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”) dan perubahannya yaitu sebagai berikut:
     
    Pertama, jika pada saat penyidikan, terhadap satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (1) UU Tipikor yang selengkapnya berbunyi:
     
    Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. 
     
    Yang dimaksud dengan "secara nyata telah ada kerugian keuangan negara" di atas adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.[1]
     
    Berkaitan dengan kondisi pertama ini, UU Tipikor menegaskan bahwa putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara.[2] Putusan bebas dalam hal ini merujuk kepada putusan bebas maupun putusan lepas sebagaimana diatur dalam Pasal 191 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”).[3]
     
    Untuk tahu lebih lanjut perbedaan antara putusan bebas dan lepas silakan simak artikel Perbedaan Putusan Bebas dengan Putusan Lepas.
     
    Kedua, gugatan dapat diajukan ke ahli waris, apabila tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara sebagaimana diatur Pasal 33 UU Tipikor yang selengkapnya berbunyi:
     
    Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.
     
    Ketiga, gugatan perdata dapat juga diajukan apabila terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, jika secara nyata telah ada kerugian keuangan negara. Dalam hal ini, pengajuan gugatan juga dilakukan kepada ahli warisnya. Hal ini diatur dalam Pasal 34 UU Tipikor yang menyatakan:
     
    Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.
     
    Keempat, gugatan perdata dapat diajukan apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga merupakan hasil tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara. Gugatan dalam hal ini dapat diajukan kepada terpidana atau ahli warisnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 38C Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU 20/2001”) yang menyatakan:
     
    Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38B ayat (2), maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya.
     
    Sehingga, mengenai pertanyaan Anda tentang gugatan ganti kerugian oleh masyarakat terhadap koruptor yang sudah menjalani sanksi pidananya dengan dalil jembatan tidak selesai dan masyarakat tidak dapat melakukan mobilisasi, maka gugatan tersebut tidak dapat diajukan, karena masyarakat tidak mempunyai hak atau kewenangan berdasarkan undang-undang.
     
    Apabila dicermati lebih lanjut, subjek hukum yang berwenang mengajukan gugatan perdata dalam tindak pidana korupsi adalah negara yang diwakili oleh Jaksa Pengacara Negara atau instansi yang dirugikan dari adanya tindak pidana korupsi tersebut.
     
    Perlu diketahui bahwa Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34 UU Tipikor serta Pasal 38C UU 20/2001 termasuk dalam Bab IV tentang Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan. Dengan demikian sesungguhnya pasal-pasal tersebut termasuk dalam kategori hukum formil (hukum acara).
     
    Menurut Eddy O.S. Hiariej, dalam bukunya Teori dan Hukum Pembuktian (hal. 35), hukum acara pidana mengandung asas lex stricta yang berarti bahwa hukum acara pidana harus ditafsirkan secara ketat. Tegasnya, gugatan ganti kerugian tersebut tidak dapat diajukan oleh masyarakat karena undang-undang sudah mengatur secara limitatif pengajuan gugatan perdata terkait tindak pidana korupsi sebagaimana diatur Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34 UU Tipikor serta Pasal 38C UU 20/2001.
     
    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
     
    Referensi:
    Eddy O.S. Hiariej. Teori dan Hukum Pembuktian. Penerbit Erlangga: Jakarta. 2012.
     

    [1] Penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU Tipikor
    [2] Pasal 32 ayat (2) UU Tipikor
    [3] Penjelasan Pasal 32 ayat (2) UU Tipikor

    Tags

    korupsi
    pidana

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Catat! Ini 3 Aspek Hukum untuk Mendirikan Startup

    9 Mei 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!