Terima Kasih atas pertanyaan Anda.
Dasar Hukum dan Syarat-Syarat Diskresi
Diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.
Karena diskresi dilaksanakan dalam bentuk keputusan dan/atau tindakan, ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan (2) UU Administrasi Pemerintahan juga berlaku dalam pelaksanaan diskresi, yaitu sebagai berikut:
Setiap Keputusan dan/atau Tindakan wajib berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB.
Peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar Kewenangan; dan
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan.
Selain itu, diskresi juga hanya dapat dilakukan oleh pejabat pemerintahan
[1] yang berwenang dengan tujuan:
[2]melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;
mengisi kekosongan hukum;
memberikan kepastian hukum; dan
mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
Dalam pelaksanaan diskresi, pejabat pemerintahan
harus memenuhi syarat-syarat berikut ini:
[3]sesuai dengan tujuan diskresi;
sesuai dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB);
berdasarkan alasan-alasan yang objektif;
tidak menimbulkan Konflik Kepentingan; dan
dilakukan dengan iktikad baik.
Keterkaitan antara Diskresi dan Penyalahgunaan Wewenang
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Adapun yang dalam menentukan apakah seorang perjabat telah melakukan penyalahgunaan wewenang sebagaimana yang dimaksud dalam pasal di atas, Mahkamah Agung dalam
Putusan Nomor 2349 K/PID.SUS/2012 (hal. 46) menjelaskan bahwa cara mengukurnya adalah dengan
menilai apakah tindakan pejabat tersebut telah menyimpang dari maksud dan tujuan pemberian wewenang tersebut, apabila menyimpang perbuatan tersebut dikualifikasi sebagai penyalahgunaan wewenang (
Detournement de Pouvoir).
Kualifikasi penyalahgunaan wewenang tersebut berkaitan erat dan selaras dengan syarat-syarat pelaksanaan diskresi yaitu di antaranya
iktikad baik,
tidak menimbulkan konflik kepentingan, dan sesuai dengan AUPB yakni asas
kepentingan umum[4] dan
asas ketidakberpihakan.
[5]
Dengan kata lain, jika diskresi telah dilakukan dengan memenuhi syarat-syarat di atas, hal ini tidak dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang berdasarkan kualifikasi dalam putusan Mahkamah Agung yang kami sebutkan sebelumnya, karena diskresi yang dilakukan dengan iktikad baik dan untuk kepentingan umum seharusnya sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian wewenang yang diberikan.
Oleh karenanya, menjawab pertanyaan Anda, pada dasarnya pejabat pemerintahan dapat tetap melaksanakan diskresi tanpa dipidana karena menyalahgunakan wewenang asalkan diskresi tersebut dilaksanakan sesuai dengan syarat-syarat dan ketentuan yang berlaku.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Terima kasih.
Dasar Hukum:
Putusan:
[1] Pasal 22 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan
[2] Pasal 22 ayat (2) UU Administrasi Pemerintahan
[3] Pasal 175 angka 2 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 24 UU Administrasi Pemerintahan
[4] Pasal 10 ayat (1) huruf g UU Administrasi Pemerintahan
[5] Pasal 10 ayat (1) huruf c UU Administrasi Pemerintahan