Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Merangkul Lawan Jenis, Termasuk Pelecehan Seksual?

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Merangkul Lawan Jenis, Termasuk Pelecehan Seksual?

Merangkul Lawan Jenis, Termasuk Pelecehan Seksual?
Renata Christha Auli, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Merangkul Lawan Jenis, Termasuk Pelecehan Seksual?

PERTANYAAN

Saya adalah seorang karyawan di sebuah kantor. Beberapa hari yang lalu saya dipanggil ke kantor dan bertemu dengan bagian HRGA, dan saya mendapatkan tuduhan bahwa saya telah melakukan perbuatan sexual harassment terhadap tim saya, karena saya telah merangkul teman kerja saya (lawan jenis), lalu saya diminta untuk mengundurkan diri.

Pertanyaannya:

  1. Apakah merangkul termasuk pelecehan seksual? Saya merangkul teman kerja saya dengan tujuan agar lebih friendly dengan tidak ada unsur seksual. Jika saya benar terjerat hukum pelecehan seksual, pelecehan seksual pasal berapa?
  2. Pada saat itu juga saya diminta untuk mengundurkan diri (dengan paksaan dan ancaman akan diproses hukum jika saya tidak membuat surat resign). Pada surat resign juga saya tidak masukkan kata-kata "dibuat tanpa adanya paksaan". Bagaimana saya mendapatkan keadilan?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Dalam konteks hukum pidana di Indonesia tidak dikenal istilah pelecehan seksual, melainkan yang dikenal adalah istilah perbuatan cabul yang diatur dalam Pasal 289 KUHP dan Pasal 414 UU 1/2023. Adapun terdapat UU TPKS sebagai lex specialis derogat legi generali yang mengatur tindak pidana kekerasan seksual.

    Lantas, apakah perbuatan merangkul lawan jenis dapat dijerat dengan pasal kekerasan seksual atau perbuatan cabul?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang ditulis oleh Timothy Nugroho, S.H. dari Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron dan dipublikasikan 15 Desember 2020.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    KLINIK TERKAIT

    Pelecehan Seksual oleh Driver, Penyedia Aplikasi Bertanggung Jawab?

    Pelecehan Seksual oleh <i>Driver</i>, Penyedia Aplikasi Bertanggung Jawab?

    Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.

    Pengertian Pelecehan Seksual

    Berkenaan dengan pelecehan seksual, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ratna Batara Munti dalam artikel Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas, istilah pelecehan seksual mengacu pada sexual harassment yang diartikan sebagai unwelcome attention (Martin Eskenazi dan David Gallen, 1992) atau secara hukum didefinisikan sebagai "imposition of unwelcome sexual demands or creation of sexually offensive environments" (hal. 5).

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Definisi lain dikemukakan oleh Judith Berman dari Advisory Committee Yale College Grievance Board and New York University sebagaimana dikutip Romany Sihite dalam bukunya Perempuan, Kesetaraan, & Keadilan (hal. 69). Ia merumuskan pengertian sexual harassment sebagai semua tingkah laku seksual atau kecenderungan untuk bertingkah laku seksual yang tidak diinginkan oleh seseorang baik verbal (psikologis) atau fisik yang menurut si penerima tingkah laku sebagai merendahkan martabat, penghinaan, intimidasi, atau paksaan.

    Lalu, menurut Komnas Perempuan, pelecehan seksual adalah tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban.[1]

    Berdasarkan definisi-definisi di atas, unsur penting dari pelecehan seksual adalah adanya ketidakinginan atau penolakan pada apapun bentuk-bentuk perbuatan yang bersifat seksual. Lantas, apa saja yang termasuk kasus pelecehan seksual?

    Jenis-jenis Pelecehan Seksual

    Dalam UU TPKS, pelecehan seksual adalah salah satu bentuk tindak pidana kekerasan seksual yang terdiri atas pelecehan seksual fisik dan pelecehan seksual non-fisik,[2] sebagai berikut:

    1. Pelecehan seksual non-fisik adalah perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya.[3]

    Sedangkan yang dimaksud dengan ‘perbuatan seksual secara nonfisik’ adalah pernyataan, gerak tubuh, atau aktivitas yang tidak patut dan mengarah kepada seksualitas dengan tujuan merendahkan atau mempermalukan.[4]

    1. Pelecehan seksual fisik terdiri dari tiga bentuk yaitu:[5]
    1. Perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya;
    2. Perbuatan seksual fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya secara melawan hukum, baik di dalam maupun di luar perkawinan.
    3. Penyalahgunaan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau orang lain.

    Contoh pelecehan seksual adalah antara lain siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, mempertunjukan materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh.[6]

    Kemudian, jika seseorang terbukti melakukan perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya, ia berpotensi dipidana penjara maksimal 4 tahun dan/atau pidana denda maksimal Rp50 juta, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 huruf a UU TPKS.

    Pasal Pelecehan Seksual menurut KUHP

    Kemudian, perlu Anda ketahui bahwa dalam konteks hukum pidana Indonesia tidak dikenal istilah pelecehan seksual, tetapi yang dikenal adalah perbuatan cabul sebagaimana diatur dalam Pasal 289 KUHP yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan Pasal 414 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[7]  yaitu tahun 2026.

    Pasal 289 KUHPPasal 414 UU 1/2023
    Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena merusakkan kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya 9 tahun.

    (1) Setiap Orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminnya:

    1. di depan umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 6 Bulan atau pidana denda paling banyak kategori III, yaitu Rp50 juta;[8]
    2. secara paksa dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun; atau
    3. yang dipublikasikan sebagai muatan Pornografi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.

    (2) Setiap Orang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan memaksa orang lain untuk melakukan perbuatan cabul terhadap dirinya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.

    R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal berpendapat bahwa yang dimaksud perbuatan cabul adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya: cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan sebagainya (hal. 212).

    Sedangkan P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang dalam buku Delik-Delik Khusus: Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan dan Norma Kepatutan (hal. 135) mengutip Arrest Hoge Raad tanggal 5 November 1946, NJ 1947 Nomor 17 yang menyatakan bahwa tindak pidana ini dipandang selesai dilakukan segera setelah pelaku berhasil mengatasi perlawanan yang diberikan oleh korban.

    Adapun dalam KUHP baru, "perbuatan cabul" diartikan sebagai kontak seksual yang berkaitan dengan nafsu birahi, kecuali perkosaan.[9]

    Dengan demikian, adanya perlawanan, penolakan, atau ketidakinginan dari korban adalah unsur yang penting, baik dalam pelecehan seksual yang telah kami sampaikan definisinya di atas, atau perbuatan cabul dalam konteks KUHP dan UU 1/2023. Tanpa adanya perlawanan, penolakan, atau ketidakinginan dari korban, tentu pelaku tidak dapat dijerat dengan Pasal 289 KUHP atau Pasal 414 UU 1/2023.

    Maka, dalam kasus yang Anda sampaikan, perlu dilihat apakah terdapat perlawanan, penolakan, atau ketidakinginan dari anggota tim yang Anda rangkul ketika Anda melakukan hal tersebut. Apabila memang tidak ada, maka tentu perbuatan Anda tidak termasuk dalam pelecehan seksual ataupun tindak pidana perbuatan cabul dalam Pasal 6 huruf a UU TPKS, Pasal 289 KUHP atau Pasal 414 UU 1/2023. Selain itu, dari contoh-contoh perbuatan cabul yang disebutkan oleh R. Soesilo, perbuatan merangkul juga tidak bisa langsung dikategorikan sebagai perbuatan cabul karena tidak dilakukan dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.

    Kemudian, terhadap Pasal 289 KUHP dan Pasal 414 UU 1/2023, dapat diterapkan asas atau doktrin lex specialis derogat legi generali, yang berarti hukum khusus menyampingkan hukum umum.[10] Menyambung kasus hukum yang Anda tanyakan, tindak pidana khusus contohnya tindak pidana kekerasan seksual diatur dalam UU TPKS.

    Pasal 6 huruf a UU TPKS memiliki karakteristik unsur yang lebih spesifik dibandingkan Pasal 289 KUHP dan Pasal 414 UU 1/2023. Namun, penyidik dapat mengenakan pasal berlapis terhadap suatu tindak pidana yang  memenuhi unsur-unsur sebagaimana diatur dalam KUHP dan UU 1/2023 serta UU TPKS. Artinya, jika unsur-unsur tindak pidananya terpenuhi, penyidik dapat menggunakan pasal-pasal tersebut.

    Baca juga: Jerat Pidana Pasal Pelecehan Seksual dan Pembuktiannya

    Paksaan dalam Pengunduran Diri

    Menjawab pertanyaan kedua Anda, aturan tentang pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagai salah satu alasan terjadinya pemutusan hubungan kerja (“PHK”) diatur dalam Pasal 81 angka 45 Perppu Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 154A ayat (1) huruf i UU Ketenagakerjaan yang selengkapnya berbunyi:

    Pekerja/Buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan harus memenuhi syarat:

    1. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
    2. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
    3. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri

    Berdasarkan rumusan pasal tersebut dapat kita ketahui bahwa pengunduran diri harus didasarkan atas kemauan sendiri, bukan adanya paksaan atau ancaman dari pihak lain.

    Mengenai pernyataan Anda atas adanya paksaan dan ancaman akan diproses hukum pada saat membuat surat pengunduran diri (resign), jika Anda keberatan, maka Anda harus dapat membuktikan adanya paksaan dan ancaman tersebut.

    Baca juga: Ada Pelecehan di Tempat Kerja? Tempuh Langkah Ini

    Upaya Hukum

    Sebagai informasi, langkah hukum yang dapat Anda tempuh untuk memperjuangkan hak Anda adalah dengan menempuh upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mekanisme yang diatur dalam UU PPHI, mengingat kasus yang Anda alami dapat dikategorikan sebagai perselisihan pemutusan hubungan kerja, yaitu perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.[11]

    Selain itu, terhadap tuduhan bahwa Anda telah melakukan pelecehan seksual, tindakan tersebut dapat Anda laporkan atas dugaan tindak pidana pencemaran nama baik dan/atau fitnah yang tersebar pada beberapa pasal, yakni:

    1. Pencemaran secara lisan (Pasal 310 ayat (1) KUHP atau Pasal 433 ayat (1) UU 1/2023);
    2. Pencemaran secara tertulis (Pasal 310 ayat (2) KUHP atau Pasal 433 ayat (2) UU 1/2023);
    3. Fitnah (Pasal 311 KUHP atau Pasal 434 ayat UU 1/2023);

    Baca juga: Mau Melaporkan Tindak Pidana ke Polisi? Begini Prosedurnya

    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
    2. Undang–Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
    3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;
    4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
    5. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang yang telah ditetapkan sebagai undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023.

    Referensi:

    1. P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang. Delik-Delik Khusus: Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan dan Norma Kepatutan. Jakarta: Sinar Grafika, 2011;
    2. R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1996.;
    3. Romany Sihite. Perempuan, Kesetaraan, & Keadilan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007;
    4. Shinta Agustina. Implementasi Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali dalam Sistem Peradilan Pidana. Jurnal Masalah-Masalah Hukum FH Universitas Diponegoro, Vol 44, No. 4, 2015;
    5. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, 15 Bentuk Kekerasan Seksual: Sebuah Pengenalan, yang diakses pada Jumat, 2 Februari 2024 pukul 14.00 WIB.

    [1] Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, 15 Bentuk Kekerasan Seksual: Sebuah Pengenalan, hal. 6

    [2] Pasal 4 ayat (1) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (“UU TPKS”)

    [3] Pasal 5 UU TPKS

    [4] Penjelasan Pasal 5 UU TPKS

    [5] Pasal 6 UU TPKS

    [6] Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, 15 Bentuk Kekerasan Seksual: Sebuah Pengenalan, hal. 6

    [7] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)

    [8] Pasal 79 ayat (1) huruf c UU 1/2023

    [9] Penjelasan Pasal 415 UU 1/2023

    [10]  Shinta Agustina. Implementasi Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali dalam Sistem Peradilan Pidana. Jurnal Masalah-Masalah Hukum FH Universitas Diponegoro, Vol 44, No. 4, 2015, hal. 504

    [11] Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

     

    Tags

    pelecehan seksual
    pidana

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Baca Tips Ini Sebelum Menggunakan Karya Cipta Milik Umum

    28 Feb 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!