KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Solusi Rusun Atas Penggusuran Permukiman di Pinggir Rel Kereta

Share
copy-paste Share Icon
Pertanahan & Properti

Solusi Rusun Atas Penggusuran Permukiman di Pinggir Rel Kereta

Solusi Rusun Atas Penggusuran Permukiman di Pinggir Rel Kereta
DR. Irene Mariane, S.H., CN., M.H.Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Trisakti (Ika FH Usakti)
Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Trisakti (Ika FH Usakti)
Bacaan 10 Menit
Solusi Rusun Atas Penggusuran Permukiman di Pinggir Rel Kereta

PERTANYAAN

Di daerah saya masih banyak rumah-rumah kecil tidak layak huni yang berada menempel di pinggir rel kereta api. Saya ingin menanyakan, siapa yang seharusnya berwenang untuk menggusur rumah-rumah ini? Apakah PT KAI atau pemerintah daerah setempat? Adakah solusi bagi mereka yang bertempat tinggal di rumah tidak layak huni tersebut? Misalnya mereka dibuatkan rumah susun oleh pemerintah daerah. Jika mereka dibuatkan rumah susun, bagaimana status kepemilikannya? Hak milik kah?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Penggusuran rumah dalam kasus ini dikarenakan dibangun di pinggir atau menempel rel kereta api yang membahayakan atau tidak sesuai dengan ketentuan tata ruang. Di sisi lain, perlu diperhatikan pula asas pemisahan horizontal yang berlaku dalam hukum pertanahan di Indonesia.

    Kemudian jika terjadi penggusuran rumah tersebut, siapa yang berwenang menggusur? Adakah solusi alternatif seperti permukiman kembali misalnya dengan membuat rumah susun?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Larangan Bangun Rumah di Jalur Rel Kereta Api

    KLINIK TERKAIT

    Rumah Longsor, Begini Tanggung Jawab Developer

    Rumah Longsor, Begini Tanggung Jawab <i>Developer</i>

    Guna menjawab pertanyaan Anda, mengenai siapa yang berhak melakukan penggusuran, PT Kereta Api Indonesia (“PT KAI”) atau pemerintah daerah, perlu diteliti lebih dahulu, status tanahnya apakah tanah negara atau tanah hak.

    Kemudian, harus diketahui lebih lanjut siapa pemegang hak atas tanah di pinggir rel kereta api tersebut, apakah milik dari PT KAI atau milik pihak lain.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Jika tanah tersebut adalah tanah berstatus hak milik PT KAI dengan menunjukkan alat bukti sebagai pemilik hak atas tanah yang sah, maka PT KAI berwenang melakukan penggusuran tersebut.

    Kewenangan PT KAI ini berdasarkan ketentuan Pasal 178 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, yang berbunyi:

    Setiap orang dilarang membangun gedung, membuat tembok, pagar, tanggul, bangunan lainnya, mananam jenis pohon yang tinggi, atau menempatkan barang pada jalur kereta api yang dapat mengganggu pandangan bebas dan membayahakan keselamatan perjalanan kereta api.

    Namun jika tanah negara, maka yang berhak melakukan penggusuran adalah negara atau dalam hal ini pemerintah daerah setempat. Adapun kewenangan ini merujuk pada Pasal 140 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman (“UU 1/2011”):

    Setiap orang dilarang membangun perumahan dan/atau permukiman di tempat yang berpotensi dapat menimbulkan bahaya bagi barang ataupun orang.

    Yang dimaksud dengan “tempat yang berpotensi dapat menimbulkan bahaya” antara lain, sempadan rel kereta api, bawah jembatan, daerah Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET), Daerah Sepadan Sungai (DSS), daerah rawan bendana dan daerah kawasan khusus seperti kawasan militer.[1]

     

    Asas Pemisahan Horizontal

    Dalam hukum pertanahan Indonesia, dikenal asas pemisahan horizontal. Singkatnya asas ini berarti pemegang hak atas tanah tidak secara otomatis sebagai pemilik dari bangunan/tanaman yang ada di atas tanah tersebut, begitu pula sebaliknya.

    Dengan demikian, para pemilik rumah yang ada di atas tanah yang menempel dengan rel kereta api masih memiliki hak atas bangunan/tanaman yang ada di atas tanah yang bukan milik mereka, di mana bangunan/tanaman ini memiliki nilai/harga tersendiri.

    Dalam praktik, banyak kasus serupa di mana masyarakat yang tinggal di pinggir rel kereta api ini merupakan subyek pajak dan telah membayar pajak atas bangunan rumah tinggal yang ditempati setiap tahunnya.

     

    Pemberian Kompensasi

    Masyarakat yang tergusur itu tetap berhak mendapatkan kompensasi berupa uang atas nilai bangunan/tanaman yang ada di atas tanah yang akan digusur. Uang yang dimaksud adalah biasanya disebut dengan istilah uang kerohiman yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya:

    Uang yang diberikan secara cuma-cuma oleh pemilik tanah kepada pemakai lahan tanpa izin; uang ganti rugi.

    Besaran uang kerohiman ini tentunya ditentukan berdasarkan berbagai aspek. Dalam hal adanya pembangunan nasional di atas tanah negara atau tanah yang dimiliki pemerintah, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah, masyarakat terdampak diberikan santunan uang atau relokasi.[2]

    Besaran nilai santunan dihitung dengan memperhatikan:[3]

    1. biaya pembersihan segala sesuatu yang berada di atas tanah;
    2. mobilisasi;
    3. sewa rumah paling lama 12 bulan; dan/atau
    4. tunjangan kehilangan pendapatan dari pemanfaatan tanah.

    Baca juga: Langkah Hukum Bila Tak Sepakat Besaran Ganti Rugi Pembebasan Tanah

     

    Solusi Permukiman Rumah Susun

    Kemudian jika kepada masyarakat tersebut dibuatkan rumah susun, hal ini sesuai bunyi Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945:

    Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

    Maka dari ketentuan di atas, negara bertugas memberikan/menciptakan hunian layak bagi masyarakat. Penggusuran bisa terjadi karena hunian masyarakat merupakan hunian berbahaya seperti dalam kasus ini letaknya di pinggir atau menempel pada rel kereta api atau tidak sesuai ketentuan tata ruang daerah.

    Penggusuran rumah masyarakat di pinggir rel kereta api bisa berdampak terhadap kondisi sosial ekonomi, ketertiban umum yang biasanya menimbulkan perseteruan dan perlawanan.[4] Sehingga, apabila penggusuran tanpa menyiapkan pemindahan permukiman kelak bisa saja menciptakan permukiman ilegal lainnya.

    Tentu saja pemberian uang kerohiman kepada masyarakat yang tergusur tidaklah cukup, karena itu perlu ada jaminan masyarakat bukan sebagai korban penggusuran, melainkan akan ikut menikmati pertambahan nilai dari penggusuran, misalnya dengan menyediakan rumah susun sebagaimana Anda tanyakan.

    Mengingat bunyi Pasal 101 ayat (2) UU 1/2011:

    Pemukiman kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memindahkan masyarakat terdampak dari lokasi yang tidak mungkin dibangun kembali karena tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan/atau rawan bencana serta dapat menimbulkan bahaya bagi barang ataupun orang.

    Mengenai kepemilikan rumah susun, Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (“UU Rusun”) menyebutkan:

    Hak kepemilikan atas sarusun merupakan hak milik atas sarusun yang bersifat perseorangan yang terpisah dengan hak bersama atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.

    Oleh karena itu, masyarakat nantinya akan mendapatkan Sertifikat Hak Milik sarusun sebagai tanda bukti kepemilikan atas sarusun di atas tanah hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah negara, serta hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah hak pengelolaan.[5]

    Alternatif pendirian rumah susun bagi masyarakat yang tergusur ini tidak hanya dari pemerintah setempat, melainkan bisa kerja sama dengan PT KAI. Sebagai contoh, pembangunan rumah susun dapat dilakukan pada lahan aset milik PT KAI.[6]

    Adapun pemangku kepentingan yang terlibat dapat meliputi peran pemerintah daerah, Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, PT KAI, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk penyediaan rumah susun ini.[7]

    Dengan melibatkan peran dari pemangku kepentingan tersebut diharapkan dapat menjadi win-win solution bagi seluruh pihak. Bagi masyarakat yang tergusur dapat memperoleh hunian layak dan terjangkau dengan jaminan kepemilikan. Bagi PT KAI, dapat memperoleh keuntungan melalui pengusaan lahan kembali tanpa harus kehilangan aset.[8]

    Bagi Kementerian Perhubungan dapat melaksanakan pembangunan transportasi kereta api tanpa halangan yang membahayakan. Sedangkan bagi pemerintah daerah dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat bisa memfasilitasi pembangunan perumahan bagi masyarakat yang tergusur itu.[9]

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar Hukum:

    1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian;
    3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun;
    4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman;
    5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
    6. Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2018 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Dalam Rangka Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Nasional.

     

    Referensi:

    1. Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses pada 16 Maret 2021, pukul 14.28 WIB;
    2. Dyana Lifiani Patriana Bhakti. Rel Kereta Api dan Hunian. Tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2018;
    3. Human Rights Watch. Masyarakat yang Tergusur: Pengusiran Paksa di Jakarta, Volume 18 Nomor 10, 2006.

    [1] Pasal 140 UU 1/2011

    [2] Pasal 6 Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2018 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Dalam Rangka Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Nasional (“PP 62/2018”)

    [3] Pasal 8 ayat (3) PP 62/2018

    [4] Human Rights Watch. Masyarakat yang Tergusur: Pengusiran Paksa di Jakarta, Volume 18 Nomor 10, 2006, hal. 4

    [5] Pasal 1 angka 11 UU Rusun

    [6] Dyana Lifiani Patriana Bhakti. Rel Kereta Api dan Hunian. Tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2018, hal. 13

    [7] Dyana Lifiani Patriana Bhakti. Rel Kereta Api dan Hunian. Tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2018, hal. 13

    [8] Dyana Lifiani Patriana Bhakti. Rel Kereta Api dan Hunian. Tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2018, hal. 13 - 14

    [9] Dyana Lifiani Patriana Bhakti. Rel Kereta Api dan Hunian. Tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2018, hal. 14

    Tags

    pengadaan tanah
    pertanahan

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Jika Polisi Menolak Laporan Masyarakat, Lakukan Ini

    15 Jan 2024
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!