Dalam tindak pidana kehutanan seperti mengangkut kayu tanpa surat keterangan sahnya hasil hutan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, apakah diterapkan penyertaan, misalnya terhadap seorang sopir yang hanya disuruh mengangkut kayu yang tidak dilengkapi surat keterangan sahnya hasil hutan tersebut? Bagaimanakah pertanggungjawaban pidananya?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Benar, setiap orang yang melakukan pengangkutan kayu hasil hutan wajib memiliki dokumen yang merupakan surat keterangan sahnya hasil hutan, dan pelanggaran terhadap ketentuan tersebut diancam dengan ketentuan pidana.
Adapun perihal orang yang melakukan dan menyuruh melakukan tindak pidana, hal ini berkaitan dengan penyertaan dalam tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Lalu, bagaimana pertanggungjawaban hukum sopir yang hanya disuruh mengangkut hasil hutan tanpa surat keterangan sahnya hasil hutan?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.
Adapun definisi tentang hutan dan hasil hutan kayu diatur dalam Pasal 37 angka 1 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 1 angka 1 dan 13 UU 18/2013 yang berbunyi:
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam komunitas alam lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dan yang lainnya.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Pasal 1 angka 13
Hasil hutan kayu adalah hasil hutan berupa kayu bulat, kayu bulat kecil, kayu olahan, atau kayu pacakan yang berasal dari kawasan hutan.
Menyambung pertanyaan Anda mengenai larangan dan sanksi pidana bagi sopir yang mengangkut hasil hutan kayu namun pengangkutan tersebut tidak dilengkapi surat izin pengangkutan hasil hutan, hal tersebut berkaitan dengan kewajiban untuk memiliki surat
keterangan sahnya hasil hutan yang ditegaskan dalam Pasal 16 UU 18/2013 yang berbunyi:
Setiap orang yang melakukan pengangkutan kayu hasil hutan wajib memiliki dokumen yang merupakan surat keterangan sahnya hasil hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kemudian, larangannya diatur dalam Pasal 37 angka 3 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 12 huruf e UU 18/2013 yang berbunyi:
Setiap orang dilarang:
(e) mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan;
Sanksi pidana terhadap pelanggaran ketentuan tersebut, termasuk bagi seorang pengemudi/sopir yang melakukan kegiatan ataupun aktivitas pengangkutan hasil hutan kayu tanpa memiliki surat keterangan sahnya hasil hutan, diatur dalam Pasal 37 angka 13 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 83 ayat (1) huruf b UU 18/2013:
Orang perseorangan yang dengan sengaja:
mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e;
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan di atas, perbuatan seorang pengemudi/sopir yang mengangkut hasil hutan tanpa surat keterangan sahnya hasil hutan, apabila disengaja dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana.
Di Indonesia dikenal adanya prinsip fiksi hukum yaitu bahwa ketika suatu peraturan perundang-undangan telah diundangkan maka saat itu setiap orang dianggap mengetahuinya (presumption iures de iure) dan ketentuan tersebut berlaku mengikat sehingga ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat membebaskan atau memaafkan dari tuntutan hukum (ignorantia jurist non excusat).
Dengan diundangkannya Peraturan Perundang-Undangan dalam lembaran resmi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini, setiap orang dianggap telah mengetahuinya.
Pernyertaan dalam Tindak Pidana
Sopir yang mengangkut hasil hutan kayu, seperti kita ketahui kebanyakan dari mereka merupakan orang yang disuruh untuk mengangkut hasil-hasil hutan yang sudah disiapkan oleh pemberi kerja.
R.Soesilo dalam bukunya berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 73-74) menjelaskan bahwa yang dihukum sebagai orang yang melakukan tindak pidana baik kejahatan maupun pelanggaran dibagi atas 4 macam yaitu :
Pleger (Orang yang melakukan) yaitu orang yang sendirian telah berbuat mewujudkan segala anisir atau elemen dari persitiwa pidana.
Doen Plegen (Orang yang menyuruh melakukan) yaitu sedikitnya ada dua orang, yang menyuruh (doen plegen) dan orang yang disuruh (pleger). Jadi bukan hanya orang itu sendiri yang melakukan peristiwa pidana, akan tetapi ia menyuruh orang lain meskipun demikian ia dipandang dan dihukum sebagai orang yang melakukan sendiri yang melakukan peristiwa pidana.
Medepleger (Orang yang turut melakukan) dalam arti kata bersama-sama melakukan, sedikitnya harus ada 2 (dua) orang, ialah orang yang melakukan dan orang yang turut melakukan.
Uitlokker (Orang yang dengan pemberian, salah memakai kekuasaan, memakai kekerasan, dan sebagainya dengan sengaja membujuk melakukan perbuatan itu.
Sedangkan mengenai Pasal 56 KUHP, R.Soesilo menjelaskan medeplichtig atau membantu melakukan yaitu jika seseorang sengaja memberikan bantuan tersebut, pada waktu atau sebelum (jadi tidak sesudahnya) kejahatan itu dilakukan. Bila bantuan diberikan sesudah kejahatan itu dilakukan, maka orang salah melakukan sekongkol atau tadah (heling) (hal 75).
Dari penjelasan pasal-pasal di atas mengenai penyertaan dan pembantuan dalam tindak pidana, dapat kita lihat bagaimana peran dari seorang sopir yang mengangkut hasil hutan kayu tanpa surat keterangan sahnya hasil hutan dapat dikategorikan sebagai pelaku tindak pidana (pleger), atau orang yang turut melakukan tindak pidana (medepleger) jika pengangkutan tersebut dilakukan oleh lebih dari 1 orang. Sedangkan orang yang menyuruhnya dikategorikan sebagai doen plegen atau orang yang menyuruh melakukan tindak pidana, yang juga dihukum sebagai orang yang melakukan tindak pidana.
Untuk itu, apabila ada kenalan ataupun saudara Anda yang bekerja sebagai pengendara mobil yang mengangkut hasil hutan alangkah lebih baiknya untuk diingatkan terlebih dahulu agar memastikan apakah hasil hutan tersebut sudah ada surat keterangan yang sah atau tidak. Jangan sampai karena tidak melakukan pengecekan terkait surat keterangan yang sah untuk hasil hutan tersebut, yang bersangkutan menjadi terjerat dalam permasalahan hukum.