Mohon informasinya, apakah prenuptial agreement yang dibuat di Jerman bisa berlaku di Indonesia terutama dalam hak WNI untuk tetap memiliki properti dengan status hak milik? Bila berlaku, prosedur apa yang harus dilakukan? Apakah melegalisir ke KBRI di mana pernikahan dilangsungkan dan melaporkan ke Kantor Catatan Sipil di Indonesia? Sebelumnya terima kasih banyak atas bantuan dan penjelasannya.
Dengan adanya perjanjian kawin yang mengatur pemisahan harta pasangan warga negara Indonesia (“WNI”) dengan warga negara asing (“WNA”), maka WNI tersebut tetap dapat mempunyai hak milik atas tanah.
Lalu, bagaimana jika perjanjian perkawinananya dibuat di luar negeri (LN)?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Perjanjian Perkawinan
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, terlebih dahulu kami menjelaskan bahwa prenuptial agreement atau perjanjian perkawinan adalah perjanjian tertulis antara pasangan suami-istri yang dibuat sebelum atau selama perkawinan berlangsung yang diatur oleh Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) yang berbunyi:
Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 menegaskan perjanjian perkawinan dapat dibuat pada waktu, sebelum, atau selama dalam ikatan perkawinan, serta perjanjian perkawinan dapat disahkan oleh notaris. Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan sebagai berikut (hal. 156 -157):
Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan tidak mempunyai kekuataan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”;
Pasal 29 ayat (3) UU Perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan”;
Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga”.
Perjanjian Perkawinan yang Dibuat di Luar Negeri
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami asumsikan perjanjian perkawinan yang Anda tanyakan dibuat di Jerman berdasarkan hukum positif Jerman. Sedangkan, perjanjian perkawinan berdasarkan UU Perkawinan harus dibuat sesuai dengan hukum positif Indonesia dengan pengesahan oleh pegawai pencatatan perkawinan atau notaris di Indonesia. Sehingga perjanjian perkawinan yang dibuat dengan hukum positif Jerman tidak bisa langsung diberlakukan.
Dalam hal ini, Giovanna Calista Fortunella dalam penelitiannya berjudul Keabsahan Perjanjian Perkawinan yang Dibuat di Luar Negeri Ditinjau dari Hukum Perdata Internasional Indonesia pada intinya menyatakan bahwa perjanjian perkawinan yang dibuat di luar negeri tidak sah bilamana tidak dicatatkan pada kantor catatan sipil, dan bahwa kantor catatan sipil hanya akan melakukan pencatatan apabila memperoleh penetapan dari Pengadilan Negeri.
Oleh karena itu, pada dasarnya perjanjian perkawinan yang dibuat di Jerman perlu memperoleh penetapan di Pengadilan Negeri terlebih dahulu, dan kemudian dicatatkan pada kantor catatan sipil. Namun, perlu diketahui juga bahwa setiap dokumen yang dibuat di luar negeri, jika akan digunakan di Indonesia, misalnya seperti digunakan/diajukan ke instansi pemerintahan tertentu, perlu dilegalisir di Kedutaan Besar Republik Indonesia (“KBRI”) setempat terlebih dahulu. Selain di KBRI, legalisasi juga dilakukan di Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Anda dapat menyimak penjelasan selengkapnya mengenai legalisasi ini dalam artikel Perlukah Dokumen Asing Dilegalisasi di KBRI?.
Selain dengan cara di atas, menurut hemat kami, Anda juga bisa menyusun perjanjian perkawinan baru berdasarkan hukum positif Indonesia. Terkait tata cara pendaftaran perjanjian perkawinan di Indonesia dapat Anda baca dalam artikel Sahkah Perjanjian Perkawinan yang Tak Didaftarkan ke Pengadilan?.
Hak Kepemilikan WNI atas Tanah
Pada dasarnya harta yang didapat selama perkawinan menjadi harta bersama. Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”):
Sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami isteri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami isteri.
Mengutip artikel Status Kepemilikan Tanah untuk Orang Asing yang Telah Menjadi WNI, jika seorang WNI menikah dengan seseorang yang berkewarganegaraan asing (“WNA”), maka terjadi percampuran harta, dan pasangannya yang berstatus WNA akan turut menjadi pemilik atas harta pihak yang berstatus WNI. Oleh karena itu, tidak boleh seorang WNI pelaku perkawinan campuran memegang hak milik atas tanah. Akan tetapi, WNI dalam perkawinan campuran bisa memiliki hak milik atas tanah dengan catatan bahwa yang bersangkutan mempunyai perjanjian perkawinan yang mengatur mengenai pemisahan harta kekayaan.
Hal tersebut didasarkan atas ketentuan bahwa perjanjian perkawinan memperbolehkan pasangan suami isteri untuk menyimpang dari peraturan harta bersama selama tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 139 KUH Perdata:
Para calon suami isteri dengan perjanjian kawin dapat menyimpang dari peraturan undang-undang mengenai harta bersama asalkan hal itu tidak bertentangan dengan tata susila yang baik atau dengan tata tertib umum dan diindahkan pula ketentuan-ketentuan berikut.
Oleh karena itu diperlukan pemisahan harta perkawinan antara WNI dengan WNA yang tercantum dalam perjanjian perkawinan seperti penjelasan di atas sehingga WNI tetap dapat mempunyai hak milik atas tanah.
Giovanna Calista Fortunella, Keabsahan Perjanjian Perkawinan yang Dibuat di Luar Negeri Ditinjau dari Hukum Perdata Internasional Indonesia, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2017.