Sekarang berkembang evolusi kejahatan siber yang menggunakan jasa prostitusi. Pelaku Open BO/VCS umumnya meminta klien menggunakan data KTP. Lalu ternyata data KTP ini jadi bahan untuk memeras klien, dengan cara menghubungi nomor WA, telepon ke istri dan keluarga, bahwa si klien pemakai jasa BO/VCS. Bahkan diancam video rekaman klien bakal disebar ke medsos lain.
Pertanyaan saya:
Bagaimana jerat hukum yang dapat diterapkan kepada pelaku pengancaman dan pemerasan VCS atau Open BO?
Apa langkah hukum yang bisa dilakukan korban pemerasan VCS?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Open BO (āOpen Booking Onlineā) dan VCS (āVideo Call Sexā) adalah jasa layanan seksual secara daring yang menggunakan dan memanfaatkan platform digital atau media elektronik. Namun, layanan jasa seksual ini juga seringkali dimanfaatkan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab untuk melakukan pemerasan dan pengancaman terhadap korban pemerasan VCS/Open BO.
Lantas, apa ancaman pidana bagi pelaku pemerasan dan pengancaman berkedok Open BO dan VCS ?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran kedua dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Taufan Adi Wijaya, S.H., M.H., C.L.A.Ā dariĀ Kantor Advokat Andrian Febrianto, dan dipublikasikan pertama kali pada pada 2 Agustus 2021, dan dimutakhirkan pertama kali pada 14 Juli 2023.
Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata ā mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihatĀ Pernyataan PenyangkalanĀ selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung denganĀ Konsultan Mitra Justika.
Open BO dan VCS
Sebelum menjawab inti pertanyaan Anda, kami akan memberikan pengertian dan penjelasan terhadap beberapa istilah-istilah sebagai berikut:
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Open BO adalah singkatan dari OpenBooking Online, yaitu prostitusi online[1] di mana pemesan Open BO melakukan pemesanan jasa layanan seksual kepada Pekerja Seks Komersial (āPSKā) melalui media elektronik atau daring.[2] Setelah adanya kesepakatan, maka baik penjual maupun pembeli jasa layanan seksual tersebut akan bertemu secara langsung untuk melaksanakan hal yang disepakati.
Video Call Sex (āVCSā) adalah salah satu jenis penjualan jasa layanan seksual di dunia maya, melalui fitur video call[3]lewat aplikasi-aplikasi seperti WhatsApp, Facebook, Instagram atau Telegram, sehingga VCS biasanya dilakukan tanpa tatap muka secara langsung.
Menurut Adami Chazawi dalam bukunya Tindak Pidana Pornografi (hal. 184), pengertian layanan seksual adalah layanan yang berhubungan dengan alat kelamin dan atau nafsu syahwat. Layanan seksual juga berarti suatu layanan yang diberikan kepada orang dalam rangka orang menyalurkan atau melampiaskan nafsu seksualnya.
Pornografi dalam Open BO dan VCS
Hukum positif di Indonesia telah mengatur mengenaiĀ pornografiĀ di dalamĀ UU Pornografi sebagaimana Pasal 1 angka 1 UU Pornografi mengatur bahwa:
Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Sedangkan Pasal 1 angka 2 UU Pornografi menjelaskan pengertian jasa pornografiĀ sebagai berikut:
Jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.
Larangan terhadap perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan pornografi salah satunya diatur dalam Pasal 4 UU Pornografi, yang selengkapnya berbunyi:
Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
kekerasan seksual;
masturbasi atau onani;
ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
alat kelamin; atau
pornografi anak.
Ā
Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang:
menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
menyajikan secara eksplisit alat kelamin;
mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau
menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.
Berdasarkan aturan di atas, tindakan menyediakan jasa pornografi seperti Open BO dan VCS dapat dikatakan telah memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Pornografi. Kemudian, pelaku berpotensi dipidana berdasarkan Pasal 30 UU Pornografi sebagai berikut:
Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 6 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250 juta dan paling banyak Rp3 miliar.
Di sisi lain, proses negosiasi dan transaksi Open BO dilakukan secara daring melalui platform digital atau media elektronik, dan begitu pula dengan layanan VCS di mana baik dari proses negosiasi, transaksi, sampai eksekusi pelaksanaan kesepakatan pelayanan jasanya juga dilakukan dengan menggunakan platform digital atau media elektronik.
Maka dari itu, selain merupakan tindak pidana UU Pornografi, kegiatanĀ OpenĀ BO dan VCS juga melanggarĀ UU ITEĀ dan perubahannya, dimanaĀ Pasal 27 ayat (1)Ā UU ITEĀ mengatur:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hakĀ mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnyaĀ Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memilikiĀ muatan yang melanggar kesusilaan.
Adapun ancaman pidana terhadap pelanggaranĀ Pasal 27 ayat (1) UU ITEĀ diatur dalamĀ Pasal 45 ayat (1)Ā UU 19/2016,Ā yaitu pelaku dipidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak RpĀ 1Ā miliar.
Kemudian sebagai informasi, Dewan Perwakilan Rakyat (āDPRā) telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (āRUUā) tentang perubahan kedua UU ITE dalam rapat paripurna. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan dalam artikelĀ DPR Beberkan 20 Perubahan dan Sisipan UU ITE Terbaru.
Dalam RUU Perubahan Kedua UU ITE (āRUU ITEā) yang telah disahkan oleh DPR, perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan, mempertunjukkan, mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan untuk diketahui umum.Ā
Unsur-unsur ketentuan dalam RUU ITE di atas dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 27 ayat (1) RUU ITE yaitu:
"Menyiarkan" adalah perbuatan mentransmisikan, mendistribusikan, dan membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dalam sistem elektronik.
Ā āMendistribusikanā adalah mengirimkan dan/atau menyebarkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik kepada banyak orang atau berbagai pihak melalui sistem elektronik.
āMentransmisikanā adalah mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang ditujukan kepada pihak lain melalui sistem elektronik.
āMembuat dapat diaksesā adalah semua perbuatan lain selain mendistribusikan dan mentransmisikan melalui sistem elektronik yang menyebabkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dapat diketahui pihak lain (publik).
Ā āMelanggar kesusilaan" adalah melakukan perbuatan mempertunjukkan ketelanjangan, alat kelamin, dan aktivitas seksual yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat di tempat dan waktu perbuatan tersebut dilakukan. Penafsiran pengertian kesusilaan disesuaikan dengan standar yang berlaku pada masyarakat dalam waktu dan tempat tertentu (contemporary community standard).
Ā āDiketahui umumā adalah untuk dapat atau sehingga dapat diakses oleh kumpulan orang banyak yang sebagian besar tidak saling mengenal.
Lalu, orang yang melanggar Pasal 27 ayat (1) RUU ITE berpotensi dipenjara maksimal 6 tahun dan/atau denda maksimal Rp1 miliar, sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (1) RUU ITE.
Namun penting untuk diketahui, menurut Pasal 45 ayat (2) RUU ITE, perbuatan dalam Pasal 27 ayat (1) RUU ITE tidak dipidana dalam hal:
dilakukan demi kepentingan umum;
dilakukan untuk pembelaan atas dirinya sendiri; atau
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tersebut merupakan karya seni, budaya, olahraga, kesehatan, dan/atau ilmu pengetahuan.
Berkaitan dengan pertanyaan Anda, kasus pemerasan VCS danĀ OpenĀ BO pada dasarnya telah diatur dalamĀ KUHPĀ yang pada saat artikel ini diterbitkan masih berlaku danĀ UU 1/2023Ā tentang KUHP baru yang berlaku terhitung 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[4] yaitu tahun 2026.Ā
Pasal 369 ayat (1) KUHP
Pasal 483 ayat (1) UU 1/2023
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan ancaman pencemaran baik dengan lisan maupun tulisan, atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa seorang supaya memberikan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang itu atau orang lain atau supaya membuat utang atau menghapuskan piutang, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.
Dipidana karena pengancaman dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV, yaitu Rp200 juta,[5] setiap orang yang dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa orang supaya:
Ā
memberikan suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain; atau
memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapuskan piutang.
Ā
Namun, karena kasus ini merupakan tindak pidana yang berkaitan dengan informasi elektronik, maka aturan yang digunakan adalah UU ITE dan perubahannya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP, yaitu:
Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.
Suatu perbuatan yang diatur dalam aturan pidana umum dan aturan pidana khusus hanya dijatuhi aturan pidana khusus, kecuali undang-undang menentukan lain.
Dikutip dari artikelĀ 3 Asas Hukum:Ā Lex Superior,Ā Lex Specialis, danĀ Lex PosteriorĀ Beserta Contohnya, asas dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP dan Pasal 125 ayat (2) UU 1/2023 dikenal denganĀ lex specialis derogat legi generali, yaitu asas yang menyatakan bahwa peraturan yang lebih khusus mengesampingkan peraturan yang lebih umum.
Dengan demikian, menjawab pertanyaan Anda, tindakan pemerasan dan pengancaman secara daring termasuk pelanggaran terhadap Pasal 27 ayat (4) UU ITE yang berbunyi:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuatĀ dapatĀ diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.
Pelaku yang melanggar Pasal 27 ayat (4) UU ITE dapat diancam pidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar, sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (4) UU 19/2016.
Lalu, sepanjang penelusuran kami, RUU ITE tidak mengatur perihal pemerasan secara daring seperti sebelumnya. Namun, terdapat pasal baru yaitu Pasal 27B ayat (2) RUU ITE yang mengatur perbuatan yang dilarang sebagai berikut:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan ancaman pencemaran atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa orang supaya:
memberikan suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain; atau
memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapuskan piutang.
Menurut Penjelasan Pasal 27B ayat (2) RUU ITE, yang dimaksud dengan āancaman pencemaranā adalah ancaman menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum.
Kemudian, orang yang melanggar ketentuan dalam Pasal 27B ayat (2) RUU ITE, berpotensi dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar, sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (10) RUU ITE.
Namun, penting untuk diketahui bahwa tindak pidana dalam Pasal 27B ayat (2) RUU ITE hanya dapat dituntut atas pengaduan korban tindak pidana.[6]
Lantas, apa langkah hukum yang dapat dilakukan oleh korban pemerasan VCS/Open BO? Berikut ulasannya.
Cara Melaporkan Pelaku Pemerasan VCS
Disarikan dari artikelĀ Jerat Pidana Pemerasan dengan Ancaman Penyebaran Video Porno,Ā berdasarkanĀ Pasal 42 UU ITEĀ jo.Ā Pasal 43 UU 19/2016 dan Pasal 102 s.d. Pasal 143Ā KUHAP, prosedur untuk menuntut pelaku secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut:
Orang yang merasa haknya dilanggar atau melalui kuasa hukum, datang langsung membuat laporan kejadian kepada penyidik POLRI pada unit/bagian cybercrime atau kepada penyidik PPNS (āPejabat Pegawai Negeri Sipilā) pada Sub Direktorat Penyidikan dan Penindakan, Kementerian Komunikasi dan Informatika. Selanjutnya, penyidik akan melakukan penyelidikan yang dapat dilanjutkan dengan proses penyidikan berdasarkan hukum acara pidana dan UU ITE serta perubahannya.
Setelah proses penyidikan selesai, maka berkas perkara oleh penyidik akan dilimpahkan kepada penuntut umum untuk dilakukan penuntutan di muka pengadilan. Apabila yang melakukan penyidikan adalah PPNS, maka hasil penyidikannya disampaikan kepada penuntut umum melalui penyidik POLRI.
Sebagai informasi, dalam RUU ITE, ketentuan Pasal 43 ayat (5) ditambahkan 1 huruf, yakni huruf l yang berbunyi sebagai berikut:Ā
PPNS berwenang untuk memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses secara sementara terhadap akun media sosial, rekening bank, uang elektronik, dan/atau aset digital.
Dengan demikian, kami menyarankan agar tetap berhati-hati dan tidak sembarangan saat menyerahkan data pribadi seperti dalam kasus ini menyerahkan KTP kepada pihak lain agar tidak menjadi korban pemerasan atau pengancaman dari pihak-pihak tidak bertanggung jawab, sehingga dapat menyebabkan kerugian baik secara materiel maupun imateriel. Kami juga menyarankan, agar sebaiknya masyarakat menghindari penggunaan layanan jasa seksual tersebut.
Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjutĀ di sini.
Adami Chazawi. Tindak Pidana Pornografi. Surabaya: Putra Media Nusantara, 2009;
Christiany Juditha. Prostitusi Daring: Tren Industri Jasa Seks Komersial di Media Sosial. Jurnal Pekommas, Vol. 6, No. 1, 2021;
Kondar Siregar. Model Pengaturan Hukum Tentang Pencegahan Tindak Prostitusi Berbasis Masyarakat Adat Dalihan Na Tolu.Ā Medan: Perdana Mitra Handalan, 2016.Ā
[1] Kondar Siregar. Model Pengaturan Hukum Tentang Pencegahan Tindak Prostitusi Berbasis Masyarakat Adat Dalihan Na Tolu.Ā Medan: Perdana Mitra Handalan, 2016, hal. 1-3
[2] Christiany Juditha. Prostitusi Daring: Tren Industri Jasa Seks Komersial di Media Sosial. Jurnal Pekommas, Vol. 6, No. 1, 2021, hal. 56
[3] Christiany Juditha. Prostitusi Daring: Tren Industri Jasa Seks Komersial di Media Sosial. Jurnal Pekommas, Vol. 6, No. 1, 2021, hal. 56
[6] Pasal 45 ayat (11) Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang telah disahkan oleh DPR (āRUU ITEā)