Salam sejahtera. Saya izin bertanya mengenai hukum pidana. Saat seseorang melakukan suatu perbuatan yang ternyata perbuatan tersebut memenuhi beberapa rumusan pasal suatu tindak pidana yang ada di KUHP dan berada di luar KUHP/UU itu kan disebut dengan concursus idealis. Sistem pemidanaan dalam concursus idealis menurut Pasal 63 ayat (1) KUHP adalah absorbsi (yang paling berat) namun terdapat ketentuan di Pasal 63 ayat (2) KUHP bahwa berlaku lex specialis derogat lex generali. Pertanyaan saya adalah ketika ancaman pidana menurut KUHP (sebagai lex generali) itu misalnya 15 tahun dan ancaman pidana menurut UU lain itu misalnya 7 tahun. Yang akan dijatuhkan itu yang mana? Apakah tetap lex specialis (UU lain) dengan ancaman pidana yang lebih rendah atau lex generali (KUHP) dengan ancaman pidana yang lebih berat? Terima kasih.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Berpijak pada Pasal 63 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, jawaban dari pertanyaan Anda sudah sangat jelas bahwa yang diterapkan ialah aturan yang bersifat khusus (lex specialis), ketentuan a quo merupakan penerapan dari asas lex specialis derogat legi generaliyang berasal dari hukum Romawi yang dianut dalam hukum pidana Indonesia.
Jika aturan pidana khusus berhadapan dengan aturan pidana umum dapat berakibat/menjadi kebalikan atau pengecualian dari sistem absorbsi, artinya hakim lalu terpaksa tidak memilih ancaman pidana pokok yang terberat tetapi justru memilih yang khusus yang pada kenyataannya ancaman pidananya lebih ringan dari aturan pidana yang umum.
Sederhananya, jika terjadi concursus idealis yang salah satunya merupakan aturan yang bersifat lex specialis, yang menjadi fokus bukan tentang pidana yang terberat, melainkan aturan khusus (lex specialis) tanpa melihat ancaman pidananya lebih berat atau lebih ringan jika dibandingkan dengan aturan yang bersifat umum (lex generali).
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.
Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dan satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu; jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.
Sehubungan ini, benar, jika merujuk Pasal 63 ayat (2) KUHP di atas jawabannya sudah sangat jelas bahwa yang diterapkan ialah peraturan yang bersifat khusus (lex specialis), ketentuan a quo merupakan penerapan dari asas lex specialis derogat legi generali yang berasal dari hukum Romawi yang dianut dalam hukum pidana Indonesia.[1]
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Adami Chazawi menyebutkan bahwa jika ketentuan pidana khusus berhadapan dengan ketentuan pidana umum dapat berakibat/menjadi kebalikan atau pengecualian dari sistem absorbsi, artinya hakim lalu terpaksa tidak memilih ancaman pidana pokok yang terberat tetapi justru memilih yang khusus yang pada kenyataannya ancaman pidananya lebih ringan dari ketentuan pidana yang umum.[2]
Sederhananya, jika terjadi concursus idealis yang salah satunya merupakan aturan yang bersifat lex specialis, yang menjadi fokus bukan tentang pidana yang terberat, namun yang menjadi fokus ialah aturan yang bersifat lex specialis tanpa melihat ancaman pidananya lebih berat atau lebih ringan jika dibandingkan dengan aturan yang bersifat umum (lex generali).
Contoh Kasus
Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia memberikan contoh misalnya Pasal 338 KUHP melarang perbuatan dengan ancaman hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun, yakni pembunuhan, namun apabila yang melakukan itu seorang ibu terhadap anaknya yang baru lahir dan perbuatan itu dilakukan terdorong oleh kekhawatiran akan terlihat bahwa ia melahirkan anak sebagaimana diatur Pasal 341 KUHP dengan pidana penjara maksimal 7 tahun, maka dapat dikatakan bahwa Pasal 338 KUHP merupakan peraturan umum terhadap Pasal 341 KUHP sebagai peraturan khusus. Dengan demikian seandainya kini ada gabungan berupa satu perbuatan atau eendaadsche samenloop, Pasal 341 KUHP yang berlaku meskipun hukumannya lebih ringan daripada Pasal 338 KUHP.[3]
Apa yang dituliskan oleh Wirjono Prodjodikoro persis dengan kasus yang Anda tanyakan, hanya saja perbedaannya di sini ialah kasus yang dicontohkan oleh Wirjono Prodjodikoro adalah lex specialis dalam konteks bentuk khusus dari delik dalam bentuk pokoknya, sementara lex specialis yang Anda tanyakan dalam konteks undang-undang khusus di luar kodifikasi.
Arti Lex Specialis dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP
Kendati demikian, keduanya termasuk cakupan dari makna lex specialis dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP, sebagaimana ditegaskan oleh Masruchin Ruba’i, dkk yang menyebutkan bahwa terdapat dua pengertian tentang aturan pidana khusus dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP.[4]
Pertama, yang dimaksud aturan pidana khusus ialah suatu aturan pidana yang memuat seluruh unsur dari suatu ketentuan pidana yang umum dan ditambah adanya satu atau beberapa unsur yang khusus.
Kedua, tentang aturan pidana khusus memiliki arti yang lebih luas dari pengertian yang pertama, yakni termasuk pada aturan yang lain yang tidak ada hubungan langsung dengan bentuk diperberat maupun diperingannya suatu tindak pidana, namun antara aturan pidana yang umum dan aturan pidana yang khusus tetap harus ada persamaan unsur, artinya dalam aturan pidana yang khusus harus ada unsur-unsur aturan pidana yang umum.