Di awal masa pandemi di Indonesia pernah terjadi panic buying. Lalu bagaimana perlindungan hukumnya untuk konsumen pada saat terjadi fenomena panic buying tersebut? Terima kasih.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Panic buying adalah salah satu perilaku manusia yang tidak menentu selama krisis, yang terjadi ketika konsumen/pembeli membeli suatu barang dalam jumlah besar sebagai bentuk antisipasi atau setelah bencana atau saat bencana terjadi atau sebagai bentuk antisipasi dalam hal terjadi kelangkaan atau kenaikan harga barang.
Bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen dalam hal terjadi panic buying?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.
Panic buying adalah salah satu perilaku manusia yang tidak menentu selama krisis, yang terjadi ketika konsumen/pembeli membeli suatu barang dalam jumlah besar sebagai bentuk antisipasi setelah bencana atau saat bencana terjadi atau sebagai bentuk antisipasi dalam hal terjadi kelangkaan atau kenaikan harga barang, sebagaimana diterangkan oleh Sheikh Shoib dan M. Yasir Arafat dalam artikel “Behavioral Perspectives of Panic Buying” yang dimuat dalam buku Panic Buying: Perspectives and Prevention (hal. 1) sebagai berikut:
Panic buying, also known as irrational stockpiling, stock-home syndrome, hoarding, or panic purchasing, is one of the several erratic human behaviors during crises. Panic buying occurs when buyers purchase an usually large amount of goods in anticipation of or after a disaster or perceived disaster or anticipation of a shortage of products or a large price.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen dalam hal terjadi panic buying?
Menurut UU Perlindungan Konsumen, yang dimaksud dengan konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.[1]
Selanjutnya, menjawab pokok pertanyaan Anda, sepanjang penelusuran kami, belum ada aturan yang secara spesifik mengatur mengenai perlindungan konsumen terhadap fenomena panic buying ini.
Hanya saja, dalam praktiknya, fenomena panic buying di masyarakat menyebabkan barang-barang tertentu yang dibutuhkan masyarakat mengalami kelangkaan. Akibatnya, harga barang menjadi melambung tinggi karena tingginya permintaan atas barang tersebut, sedangkan jumlah barang yang ditawarkan tidak sebanding dengan banyaknya permintaan. Hal ini tentu merugikan konsumen lainnya karena tidak mendapatkan barang yang sesuai dengan nilai tukar yang seharusnya.
Padahal, Pasal 4 huruf b UU Perlindungan Konsumen menegaskan setiap konsumen berhak untuk memilih serta mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
Untuk memastikan hak konsumen tersebut terpenuhi dengan baik, UU Perlindungan Konsumen mengatur adanya kewajiban pembinaan dan pengawasan perlindungan konsumen. Dalam hal ini, pembinaan perlindungan konsumen menjadi kewajiban pemerintah yang dilaksanakan oleh Menteri Perdagangan dan/atau menteri teknis terkait.[2] Sedangkan pengawasan perlindungan konsumen selain diselenggarakan oleh pemerintah, juga dilakukan masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.[3]
Selain itu, dalam hal panic buying yang dimaksud dilakukan pelaku usaha yang sengaja memanfaatkan situasi dengan membeli barang kebutuhan masyarakat dalam jumlah besar untuk ditimbun, sehingga menyebabkan kelangkaan dan kenaikan harga barang, untuk kemudian diperdagangkan kembali dengan harga berkali-kali lipat dari harga aslinya untuk meraup keuntungan, ini berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (“UU 7/2014”).
Padahal, secara tegas pelaku usaha dilarang menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang.[4]
Disarikan dari Hukumnya Menimbun Masker Hingga Menyebabkan Kelangkaan dan Harga Tinggi, yang dimaksud dengan barang kebutuhan pokok adalah barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak dengan skala pemenuhan kebutuhan yang tinggi serta menjadi faktor pendukung kesejahteraan masyarakat, seperti beras, gula, minyak goreng, mentega, daging sapi, daging ayam, telur ayam, susu, jagung, kedelai, dan garam beryodium.
Sedangkan yang dimaksud dengan barang penting adalah barang strategis yang berperan penting dalam menentukan kelancaran pembangunan nasional, seperti pupuk, semen, serta bahan bakar minyak dan gas.
Jika penimbunan terjadi, pelaku usaha yang bersangkutan dapat dijerat pidana penjara maksimal 5 tahun dan/atau pidana denda maksimal Rp50 miliar.[5]
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Sheikh Shoib dan M. Yasir Arafat. “Behavioral Perspectives of Panic Buying” dalam buku Panic Buying: Perspectives and Prevention. Switzerland: Springer International Publishing, 2021.