Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Ini Bentuk Pelindungan Bagi Mahasiswa Korban Kekerasan Seksual di Kampus

Share
copy-paste Share Icon
Hak Asasi Manusia

Ini Bentuk Pelindungan Bagi Mahasiswa Korban Kekerasan Seksual di Kampus

Ini Bentuk Pelindungan Bagi Mahasiswa Korban Kekerasan Seksual di Kampus
Erizka Permatasari, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Ini Bentuk Pelindungan Bagi Mahasiswa Korban Kekerasan Seksual di Kampus

PERTANYAAN

Belakangan ini viral kasus ketua BEM yang menerima sanksi skorsing akademik 1 semester atas kasus kekerasan seksual di kampus. Lantas, bagaimana prosedur pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus? Apakah benar satgas PPKS bisa membantu korban kekerasan seksual? Apa itu satgas PPKS? Lalu, bagaimana pembuktian tindak pidana kekerasan seksual?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.

    Pedoman pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus diatur dalam Permendikbudristek 30/2021.

    Lantas, apa saja perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan seksual? Lalu, bagaimana prosedur pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus menurut peraturan tersebut?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Artikel ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dipublikasikan pada 1 November 2021.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    KLINIK TERKAIT

    Sebar Video dan Gambar Pornografi ke Internet, Ini Sanksinya

    Sebar Video dan Gambar Pornografi ke Internet, Ini Sanksinya

    Untuk memberikan pedoman bagi perguruan tinggi dalam menyusun kebijakan dan mengambil tindakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang terkait dengan pelaksanaan tridharma di dalam atau di luar kampus, pemerintah menerbitkan Permendikbudristek 30/2021.[1] Lalu, sebelum menjawab pokok pertanyaan Anda, mari kita pahami terlebih dahulu pengertian kekerasan seksual.

    Apa itu Kekerasan Seksual?

    Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.[2]

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Kekerasan seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi, yang meliputi:[3]

    1. menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender korban;
    2. memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban;
    3. menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada korban;
    4. menatap korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman;
    5. mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada korban meskipun sudah dilarang korban;
    6. mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;
    7. mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;
    8. menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;
    9. mengintip atau dengan sengaja melihat korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi;
    10. membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh korban;
    11. memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual;
    12. menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban;
    13. membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban; dan lain-lain.

    Patut diperhatikan, persetujuan korban sebagaimana dimaksud pada angka 2, 6, 7, 8, 12, dan 13 di atas, dianggap tidak sah dalam hal korban:[4]

    1. belum berusia dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    2. mengalami situasi dimana pelaku mengancam, memaksa, dan/atau menyalahgunakan kedudukannya;
    3. mengalami kondisi di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, dan/atau narkoba;
    4. mengalami sakit, tidak sadar, atau tertidur;
    5. memiliki kondisi fisik dan/atau psikologis yang rentan;
    6. mengalami kelumpuhan sementara (tonic immobility); dan/atau
    7. mengalami kondisi terguncang.

    Baca juga: Bisakah Pelecehan Seksual Verbal Dipidana?

    Siapa Saja yang Dikategorikan sebagai Korban?

    Menurut Pasal 1 angka 12 Permendikbudristek 30/2021, yang termasuk sebagai korban yaitu:

    1. Mahasiswa, yakni peserta didik pada jenjang pendidikan tinggi;[5]
    2. Pendidik, yaitu tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai dosen, instruktur, dan tutor yang berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi;[6]
    3. Tenaga kependidikan, yakni anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan tinggi;[7]
    4. Warga kampus, yakni masyarakat yang beraktivitas dan/atau bekerja di kampus;[8] dan
    5. Masyarakat umum yang mengalami kekerasan seksual.

    Prosedur Pencegahan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi

    Perguruan tinggi wajib melakukan pencegahan kekerasan seksual melalui:[9]

    a. Pembelajaran, yang dilakukan oleh pemimpin perguruan tinggi dengan mewajibkan mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan mempelajari modul Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi;[10]

    b. Penguatan tata kelola, yang minimal terdiri atas:[11]

    1. merumuskan kebijakan yang mendukung pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi;
    2. membentuk satuan tugas (“satgas”);
    3. menyusun pedoman pencegahan dan penanganan kekerasan seksual;
    4. membatasi pertemuan antara mahasiswa dengan pendidik dan/atau tenaga kependidikan di luar jam operasional kampus dan/atau luar area kampus;
    5. menyediakan layanan pelaporan kekerasan seksual;
    6. melatih mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, dan warga kampus terkait upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual
    7. melakukan sosialisasi secara berkala terkait pedoman pencegahan dan penanganan kekerasan seksual kepada mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, dan warga kampus;
    8. memasang tanda informasi yang berisi pencantuman layanan aduan kekerasan seksual dan peringatan bahwa kampus perguruan tinggi tidak menoleransi kekerasan seksual;
    9. menyediakan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual; dan
    10. melakukan kerja sama dengan instansi terkait untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.

     

    c. Penguatan budaya komunitas mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan dalam bentuk komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, minimal pada kegiatan:[12]

    1. pengenalan kehidupan kampus bagi mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan;
    2. organisasi kemahasiswaan; dan/atau
    3. jaringan komunikasi informal mahasiswa, pendidik dan tenaga kependidikan.

     

    Peran Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual

    Sebagaimana telah kami jabarkan bahwa pembentukan satgas menjadi salah satu prosedur pencegahan kekerasan seksual melalui penguatan tata kelola.[13] Adapun satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (“PPKS”) adalah bagian dari perguruan tinggi yang berfungsi sebagai pusat pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi.[14]

    Kemudian, pada dasarnya keanggotaan dari satgas berasal dari perguruan tinggi yang terdiri atas pendidik, tenaga kependidikan, dan mahasiswa.[15] Anggota satgas wajib menjunjung tinggi kode etik yang ditetapkan oleh perguruan tinggi,[16] yaitu menjamin kerahasiaan identitas pihak yang terkait langsung dengan laporan, menjamin keamanan korban, saksi, dan/atau pelapor, dan menjaga independensi dan kredibilitas satgas.[17]

    Adapun satgas PPKS memiliki tugas yang harus dipenuhi yaitu:[18]

    1. membantu pemimpin perguruan tinggi menyusun pedoman PPKS di Perguruan Tinggi;
    2. melakukan survei kekerasan seksual paling sedikit 1 kali dalam 6 bulan pada perguruan tinggi ;
    3. menyampaikan hasil survei kepada pemimpin perguruan tinggi ;
    4. mensosialisasikan pendidikan kesetaraan gender, kesetaraan disabilitas, pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi, serta PPKS bagi warga kampus;
    5. menindaklanjuti kekerasan seksual berdasarkan laporan;
    6. melakukan koordinasi dengan unit yang menangani layanan disabilitas, apabila laporan menyangkut korban, saksi, pelapor, dan/atau terlapor dengan disabilitas;
    7. melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam pemberian pelindungan kepada korban dan saksi;
    8. memantau pelaksanaan rekomendasi dari satgas oleh pemimpin perguruan tinggi ; dan
    9. menyampaikan laporan kegiatan PPKS kepada pemimpin perguruan tinggi paling sedikit 1 kali dalam 6 bulan.

    Dalam melaksanakan tugasnya, satgas PPKS juga memiliki wewenang yang harus dipenuhi, antara lain:[19]

    1. memanggil dan meminta keterangan korban, saksi, terlapor, pendamping, dan/atau ahli;
    2. meminta bantuan pemimpin perguruan tinggi untuk menghadirkan saksi, terlapor, pendamping, dan/atau ahli dalam pemeriksaan;
    3. melakukan konsultasi terkait penanganan kekerasan seksual dengan pihak terkait dengan mempertimbangkan kondisi, keamanan, dan kenyamanan korban; dan
    4. melakukan kerja sama dengan perguruan tinggi terkait dengan laporan kekerasan seksual yang melibatkan korban, saksi, pelapor, dan/atau terlapor dari Perguruan Tinggi yang bersangkutan.

    Lalu, satgas PPKS dalam menangani laporan kekerasan seksual melalui mekanisme sebagai berikut:[20]

    1. penerimaan laporan;
    2. tindakan pencegahan keberulangan.
    3. pemulihan; dan
    4. penyusunan kesimpulan dan rekomendasi;
    5. pemeriksaan;

    Mekanisme penanganan kekerasan seksual oleh satgas PPKS dapat Anda baca selengkapnya dalam Pasal 38 s.d. Pasal 50 Permendikbudristek 30/2021.

    Prosedur Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi

    Selain itu, perguruan tinggi wajib melakukan penanganan kekerasan seksual melalui:[21]

    a. Pendampingan

    Pendampingan diberikan kepada korban atau saksi yang berstatus sebagai mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, dan warga kampus, atas persetujuannya dalam bentuk:[22]

    1. konseling;
    2. layanan kesehatan;
    3. bantuan hukum;
    4. advokasi; dan/atau
    5. bimbingan sosial dan rohani.

    Dalam hal korban tidak memungkinkan untuk memberikan persetujuan, maka persetujuan dapat diberikan oleh orang tua atau wali korban atau pendamping.[23]

    b. Pelindungan

    Pelindungan diberikan kepada korban atau saksi yang berstatus sebagai mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, dan warga kampus, berupa:[24]

    1. jaminan keberlanjutan untuk menyelesaikan pendidikan bagi mahasiswa;
    2. jaminan keberlanjutan pekerjaan sebagai pendidik dan/atau tenaga kependidikan pada perguruan tinggi yang bersangkutan;
    3. jaminan pelindungan dari ancaman fisik dan nonfisik dari pelaku/pihak lain atau keberulangan kekerasan seksual dalam bentuk memfasilitasi pelaporan terjadinya ancaman fisik dan nonfisik kepada aparat penegak hukum;
    4. pelindungan atas kerahasiaan identitas;
    5. penyediaan informasi mengenai hak dan fasilitas pelindungan; dan lain-lain.

    c. Pengenaan sanksi administratif

    Pelaku yang terbukti melakukan kekerasan seksual dikenakan sanksi administratif yang ditetapkan dengan keputusan pemimpin perguruan tinggi berdasarkan rekomendasi satgas.[25]

    Sanksi administratif yang diberikan meliputi:[26]

    1. Sanksi administratif ringan, berupa:
    1. teguran tertulis; atau
    2. pernyataan permohonan maaf secara tertulis yang dipublikasikan di internal kampus atau media massa.

     

    1. Sanksi administratif sedang, berupa:
    1. Pemberhentian sementara dari jabatan tanpa memperoleh hak jabatan; atau
    2. Pengurangan hak sebagai mahasiswa, meliputi penundaan mengikuti perkuliahan (skors), pencabutan beasiswa; atau pengurangan hak lain.

     

    1. Sanksi administratif berat, berupa:
    1. Pemberhentian tetap sebagai mahasiswa; atau
    2. Pemberhentian tetap dari jabatan sebagai pendidik, tenaga kependidikan, atau warga kampus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dari perguruan tinggi yang bersangkutan.

    Patut diperhatikan, pemimpin perguruan tinggi dapat menjatuhkan sanksi administratif lebih berat dari sanksi administratif yang direkomendasikan oleh satgas dengan mempertimbangkan:[27]

    1. korban merupakan penyandang disabilitas;
    2. dampak kekerasan seksual yang dialami korban; dan/atau
    3. terlapor atau pelaku merupakan anggota satuan tugas, kepala/ketua program studi, atau ketua jurusan.

    d. Pemulihan korban, yaitu diberikan atas persetujuan korban, berupa:[28]

    1. tindakan medis;
    2. terapi fisik;
    3. terapi psikologis; dan/atau
    4. bimbingan sosial dan rohani.

    Pemulihan korban tersebut di atas dapat melibatkan dokter/tenaga kesehatan lain, konselor, psikolog, tokoh masyarakat, pemuka agama, dan/atau pendamping lain sesuai kebutuhan termasuk kebutuhan korban penyandang disabilitas.[29]

    Lalu, tindakan medis dan terapi fisik tersebut juga dapat diberikan kepada saksi pelapor, dalam hal saksi pelapor mengalami stres traumatis sekunder (secondary traumatic stress).[30]

    Pembuktian Pelecehan Seksual dalam Hukum Pidana

    Menjawab pertanyaan Anda mengenai pembuktian, pada dasarnya pembuktian pelecehan seksual dalam hukum pidana adalah berdasarkan Pasal 184 KUHAP, menggunakan 5 macam alat bukti, yaitu:

    1. keterangan saksi;
    2. keterangan ahli;
    3. surat;
    4. petunjuk;
    5. keterangan terdakwa.

    Selengkapnya dapat Anda baca pada artikel Jerat Pidana Pasal Pelecehan Seksual dan Pembuktiannya.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
    2. Peraturan  Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

    [1] Pasal 2 huruf a Peraturan  Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (“Permendikbudristek 30/2021”).

    [2] Pasal 1 angka 1 Permendikbudristek 30/2021

    [3] Pasal 5 ayat (1) dan (2) Permendikbudristek 30/2021

    [4] Pasal 5 ayat (3) Permendikbudristek 30/2021

    [5] Pasal 1 angka 6 Permendikbudristek 30/2021

    [6] Pasal 1 angka 7 Permendikbudristek 30/2021

    [7] Pasal 1 angka 8 Permendikbudristek 30/2021

    [8] Pasal 1 angka 9 Permendikbudristek 30/2021

    [9] Pasal 6 Permendikbudristek 30/2021

    [10] Pasal 6 ayat (2) Permendikbudristek 30/2021

    [11] Pasal 6 ayat (3) Permendikbudristek 30/2021

    [12] Pasal 6 ayat (4) Permendikbudristek 30/2021

    [13] Pasal 6 ayat (3) huruf b Permendikbudristek 30/2021

    [14] Pasal 1 angka 14 Permendikbudristek 30/2021

    [15] Pasal 27 ayat (1) Permendikbudristek 30/2021

    [16] Pasal 35 ayat (1) Permendikbudristek 30/2021

    [17] Pasal 35 ayat (3) Permendikbudristek 30/2021

    [18] Pasal 34 ayat (1) Permendikbudristek 30/2021

    [19] Pasal 34 ayat (2) Permendikbudristek 30/2021

    [20] Pasal 38 Permendikbudristek 30/2021

    [21] Pasal 10 Permendikbudristek 30/2021

    [22] Pasal 11 ayat (1), (2), dan (4) Permendikbudristek 30/2021

    [23] Pasal 11 ayat (5) Permendikbudristek 30/2021

    [24] Pasal 12 Permendikbudristek 30/2021

    [25] Pasal 13 Permendikbudristek 30/2021

    [26] Pasal 14 ayat (1), (2), (3), dan (4) Permendikbudristek 30/2021

    [27] Pasal 16 Permendikbudristek 30/2021

    [28] Pasal 20 ayat (1) dan (3) Permendikbudristek 30/2021

    [29] Pasal 20 ayat (2) Permendikbudristek 30/2021

    [30] Pasal 20 ayat (4) Permendikbudristek 30/2021

    Tags

    kampus
    mahasiswa

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Hitung Pesangon Berdasarkan UU Cipta Kerja

    18 Agu 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!