Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Batal Beli Rumah karena Force Majeure, Dapatkah Uang Kembali?

Share
copy-paste Share Icon
Pertanahan & Properti

Batal Beli Rumah karena Force Majeure, Dapatkah Uang Kembali?

Batal Beli Rumah karena <i>Force Majeure</i>, Dapatkah Uang Kembali?
David Christian, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Batal Beli Rumah karena <i>Force Majeure</i>, Dapatkah Uang Kembali?

PERTANYAAN

Konsumen membeli rumah dari developer. Pembayaran konsumen hanya kepada developer, belum dilakukan akad kredit bank. Dalam perjalanan cicilan, terjadi force majeure, di mana konsumen harus menjadi penanggung jawab atas pendidikan keponakannya. Sehingga konsumen mengajukan diri untuk meminta kebijakan developer untuk membatalkan perjanjian. Developer setuju membatalkan, namun perhitungannya hanya 40% yang dikembalikan dengan alasan pajak-pajak, uang tanda jadi dan kebijakan perusahaan.

Sehubungan dengan hal tersebut, mohon dapat dibantu untuk dicarikan:

  1. peraturan kewajiban perusahaan properti untuk mengembalikan uang konsumen dalam hal belum dilakukan akad kredit dan terjadi force majeure; dan
  2. peraturan pajak yang wajib dibayarkan perusahaan properti.
  3. kebijakan pemerintah di masa pandemi, relaksasi apa yang diberikan?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Ketentuan pengembalian uang akibat pembatalan pembelian rumah atau properti tergantung padafase saat pembatalan terjadi dan alasan pembatalan. Misalnya karena kelalaian developer atau kelalaian pembeli. Namun, kelalaian di sini tidak bisa disamakan dengan force majeure. Lantas, apakah pembeli yang membatalkan membeli rumah dapat menuntut pengembalian uang yang telah dibayarkan?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Pembeli Batal Beli Rumah, Berapa Persen Uang Kembali? yang ditulis oleh Saufa Ata Taqiyya, S.H., dan pertama kali dipublikasikan pada Rabu, 8 Desember 2021.

    Force Majeure dalam Perjanjian

    Sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai force majeure. Menurut Subekti sebagaimana dikutip dalam Wabah Corona sebagai Alasan Force Majeur dalam Perjanjianforce majeure atau keadaan memaksa merupakan pembelaan debitur untuk menunjukan bahwa tidak terlaksananya apa yang dijanjikan disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga dan ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tadi.

    KLINIK TERKAIT

    Mengenal Apa Itu PPJB dalam Proses Jual Beli Tanah

    Mengenal Apa Itu PPJB dalam Proses Jual Beli Tanah

    Masih dari artikel yang sama, unsur utama yang dapat menimbulkan keadaan force majeur adalah:

    1. adanya kejadian yang tidak terduga;
    2. adanya halangan yang menyebabkan suatu prestasi tidak mungkin dilaksanakan;
    3. ketidakmampuan tersebut tidak disebabkan oleh kesalahan debitur;
    4. ketidakmampuan tersebut tidak dapat dibebankan risiko kepada debitur.

    Baca juga:Nasib Konsumen Saat Terjadi Force Majeure Terhadap Perusahaan

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Karena luasnya kemungkinan keadaan atau situasi yang dapat dianggap sebagai force majeure, untuk mendapatkan kepastian hukum para pihak biasanya mencantumkan klausula dengan daftar peristiwa yang dapat menjadi force majeure dalam perjanjian mereka. Dalam kasus yang Anda tanyakan, kami asumsikan peristiwa yang dialami konsumen telah dicantumkan dalam perjanjian atau setidaknya telah disepakati kedua belah pihak sebagai force majeure.

    Dalam kasus Anda, kebijakan force majeure berakibat pada pembatalan perjanjian, yang didasarkan pada ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata bahwa perjanjian dapat ditarik kembali dengan kesepakatan para pihak.

    Batal Beli Rumah karena Force Majeure, Dapatkah Uang Kembali?

    Aturan pengembalian uang pembeli karena pembatalan jual beli rumah diatur dalam PP 12/2021 yang membedakan jumlah pengembalian uang pembeli ke dalam dua fase, yaitu:

    1. Fase Pemasaran

    Yang dimaksud dengan fase pemasaran adalah fase di mana pelaku pembangunan (developer) memperkenalkan, menawarkan, menentukan harga, dan menyebarluaskan informasi mengenai rumah atau perumahan dan satuan rumah susun atau rumah susun yang dilakukan oleh developer pada saat sebelum atau dalam proses sebelum penandatanganan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (“PPJB”).[1]

    Dalam fase ini, apabila pembatalan pembelian rumah dilakukan oleh calon pembeli yang bukan disebabkan oleh kelalaian developer, maka developer mengembalikan pembayaran yang telah diterima kepada calon pembeli dengan dapat memotong paling rendah 20% dari pembayaran yang telah diterimanya ditambah dengan biaya pajak yang telah diperhitungkan.[2]

    Pembatalan tersebut disampaikan secara tertulis,[3] dan pengembalian pembayaran dilaksanakan paling lambat 30 hari kalender sejak surat pembatalan ditandatangani.[4]

    1. Fase PPJB

    Apabila pembatalan pembelian rumah terjadi setelah penandatanganan PPJB, maka ketentuannya adalah sebagai berikut:

    1. Dalam hal pembatalan pembelian rumah terjadi karena kelalaian developer, pembayaran yang telah diterima harus dikembalikan kepada pembeli.[5]
    2. Dalam hal pembayaran telah dilakukan pembeli paling banyak 10% dari harga transaksi, dan terjadi pembatalan pembelian rumah akibat kelalaian pembeli, keseluruhan pembayaran menjadi hak developer.[6]
    3. Dalam hal pembayaran telah dilakukan pembeli lebih dari 10% dari harga transaksi, dan terjadi pembatalan pembelian rumah akibat kelalaian pembelideveloper berhak memotong 10% dari harga transaksi.[7]

    Sehingga, menjawab pertanyaan pertama Anda, pada dasarnya ketentuan mengenai kewajiban pengembalian uang akibat pembatalan jual beli rumah tergantung pada fase saat pembatalan terjadi dan alasan pembatalan.

    Namun perlu Anda pahami, force majeure berbeda dengan kelalaian, karena tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur,[8] maka menurut hemat kami ketentuan PP 12/2021 tidak dapat diberlakukan.

    Sejauh penelusuran kami, ketentuan pengembalian uang pembeli jika terjadi pembatalan akibat force majeure tidak diatur secara khusus perhitungannya. Oleh karenanya, menurut hemat kami pembatalan harus didasarkan atas ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata, yaitu sesuai kesepakatan para pihak. Dengan kata lain, jumlah uang yang dikembalikan didasarkan kesepakatan bersama.

    Adapun belum dilakukannya akad kredit pada dasarnya tidak berpengaruh pada ketentuan pembatalan perjanjian ini.

    Pajak yang Dibayarkan Developer

    Menjawab pertanyaan kedua Anda, paling tidak terdapat dua macam pajak yang harus dibayarkan oleh developer:

    1. Pajak Penghasilan (“PPh”)

    Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, terutang PPh yang bersifat final.[9] Besarnya PPh tersebut adalah:

    1. Sebesar 2,5% dari jumlah bruto apabila objeknya adalah selain rumah sederhana atau rumah susun sederhana;
    2. 1% dari jumlah bruto apabila objeknya adalah rumah sederhana dan rumah susun sederhana;
    3. 0% jika dilakukan kepada pemerintah, badan usaha milik negara yang mendapat penugasan khusus dari pemerintah, atau badan usaha milik daerah yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.[10]

    2. Pajak Bumi dan Bangunan ("PBB-P2”)

    Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (“PBB-P2”) adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan.[11]

    Adapun objek dari PBB-P2 adalah bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.[12]

    Sedangkan, untuk wajib pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.[13]

    Relaksasi Pajak di Masa Pandemi

    Kemudian menjawab pertanyaan ketiga Anda, kami mengasumsikan relaksasi yang Anda maksud adalah relaksasi perpajakan. Hal ini telah diulas sebelumnya dalam artikel Ragam Kebijakan Insentif dan Relaksasi Pajak Selama Pandemi. Namun, dalam artikel ini kami akan menjelaskan lebih lanjut sesuai pertanyaan Anda perihal jual beli properti.

    Berdasarkan Pasal 7 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan 6/PMK.010/2022, insentif PPh final dalam bidang usaha jasa konstruksi yang ditanggung pemerintah hanya diberikan kepada wajib pajak penerima program percepatan peningkatan tata guna air irigasi (P3-TGAI). Adapun, jangka waktu pemberian insentif tersebut diberikan pada masa pajak Januari 2022 – Juni 2022.[14]

    Selain PPh, bagi pengusaha rumah tapak dan rumah susun, juga bisa mendapatkan Pajak Pertambahan Nilai (“PPN”) yang ditanggung pemerintah untuk masa pajak Januari 2022 – September 2022. PPN yang ditanggung pemerintah untuk penyerahan rumah tapak atau satuan rumah susun dengan harga jual maksimal Rp2 miliar adalah sebesar 50%, sedangkan untuk harga jual Rp2 miliar sampai Rp5 miliar adalah sebesar 24%.[15]

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwi bahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.

    Demikian jawaban dari kami tentang batal beli rumah karena force majeure, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
    2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
    3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
    4. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya;
    5. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman;
    6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 3/PMK.03/2022 Tahun 2022 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019
    7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.010/2022 Tahun 2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Rumah Tapak dan Satuan Rumah Susun yang Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2022

    [1] Pasal 1 angka 12 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Pemukiman (“PP 12/2021”)

    [2] Pasal 22H ayat (3) PP 12/2021

    [3] Pasal 22H ayat (5) PP 12/2021

    [4] Pasal 22H ayat (6) PP 12/2021

    [5] Pasal 22L ayat (2) PP 12/2021

    [6] Pasal 22L ayat (3) PP 12/2021

    [7] Pasal 22L ayat (4) PP 12/2021

    [8] Pasal 1244 dan 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

    [9] Pasal 1 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya (“PP 34/2016”)

    [10] Pasal 2 ayat (1) PP 34/2016

    [11] Pasal 1 angka 33 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (“UU 1/2022”)

    [12] Pasal 38 Ayat (1) UU 1/2022

    [13] Pasal 39 Ayat (2) UU 1/2022

    [14] Pasal 12 ayat (2) huruf b Peraturan Menteri Keuangan Nomor 3/PMK.03/2022 Tahun 2022 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019

    [15] Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.010/2022 Tahun 2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Rumah Tapak dan Satuan Rumah Susun yang Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2022

    Tags

    force majeure
    perdata

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Catat! Ini 3 Aspek Hukum untuk Mendirikan Startup

    9 Mei 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!