KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Warga Beri Presiden Hadiah, Termasuk Gratifikasi?

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Warga Beri Presiden Hadiah, Termasuk Gratifikasi?

Warga Beri Presiden Hadiah, Termasuk Gratifikasi?
Erizka Permatasari, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Warga Beri Presiden Hadiah, Termasuk Gratifikasi?

PERTANYAAN

Jika presiden mendapat hadiah dari warga dan atas pemberian tersebut, presiden kemudian menyerahkan sejumlah uang sebagai bentuk pembayaran atas hadiah yang diberikan, apakah hal tersebut dapat dikategorikan sebagai gratifikasi? Lalu, masihkah Presiden berkewajiban melaporkan pemberian tersebut kepada KPK?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Gratifikasi adalah pemberian kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bu nga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya, baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

    Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Jika terbukti menerima suap, maka penerima dapat dipidana.

    Namun, ketentuan gratifikasi dianggap suap tidak berlaku jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“KPK”) maksimal 30 hari sejak menerima gratifikasi.

    Lantas, dalam kasus yang Anda tanyakan, jika penerima hadiah kemudian memberikan sejumlah uang sebagai bentuk pembayaran atas hadiah yang diberikan, masihkah pemberian hadiah dikategorikan sebagai gratifikasi dan harus dilaporkan ke KPK?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Apa Itu Gratifikasi?

    KLINIK TERKAIT

    Jenis-jenis Korupsi dan Hukumnya di Indonesia

    Jenis-jenis Korupsi dan Hukumnya di Indonesia

    Gratifikasi adalah pemberian kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya, baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik, sebagaimana diatur Pasal 1 angka 1 Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pelaporan Gratifikasi (“Peraturan KPK 2/2019”).

    Dalam hal ini, yang dimaksud dengan pegawai negeri adalah meliputi:[1]

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
    1. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Kepegawaian dan/atau Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara;
    2. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
    3. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
    4. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau
    5. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

    Sedangkan yang dimaksud dengan penyelenggara negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[2]

     

    Syarat Gratifikasi Dianggap Sebagai Suap

    Pasal 12B ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU 20/2001”) mengatur setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan:

    1. Jika nilai gratifikasi Rp10 juta atau lebih, maka pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi.
    2. Jika nilai gratifikasi kurang dari Rp10 juta, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dibuktikan oleh penuntut umum.

    Jika merujuk dari rumusan pasal di atas, dapat diketahui gratifikasi yang dilarang adalah yang dianggap sebagai pemberian suap, yang memenuhi ketentuan di atas.

    Dalam hal pegawai negeri atau penyelenggara negara terbukti menerima suap dalam bentuk gratifikasi, yang bersangkutan dapat dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun, dan pidana denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar.[3]

    Namun, ketentuan gratifikasi dianggap suap tidak berlaku jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“KPK”) maksimal 30 hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.[4]

    Dalam waktu maksimal 30 hari kerja sejak tanggal penerimaan laporan, KPK wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.[5]

    Baca juga: Bentuk-bentuk Tindak Pidana Korupsi

     

    Pengecualian Wajib Lapor Gratifikasi

    Namun demikian, pelaporan gratifikasi dikecualikan terhadap jenis gratifikasi berikut:[6]

    1. Pemberian dalam keluarga, yaitu kakek/nenek, bapak/ibu/mertua, suami/istri, anak/menantu, anak angkat/wali yang sah, cucu, besan, paman/bibi, kakak/adik/ipar, sepupu dan keponakan, sepanjang tidak terdapat konflik kepentingan;
    2. Keuntungan atau bunga dari penempatan dana, investasi atau kepemilikan saham pribadi yang berlaku umum;
    3. Manfaat dari koperasi, organisasi kepegawaian, atau organisasi yang sejenis berdasarkan keanggotaan yang berlaku umum;
    4. Perangkat atau perlengkapan yang diberikan kepada peserta dalam kegiatan kedinasan seperti seminar, workshop, konferensi, pelatihan, atau kegiatan sejenis, yang berlaku umum;
    5. Hadiah tidak dalam bentuk uang atau alat tukar lainnya, yang dimaksudkan sebagai alat promosi atau sosialisasi yang menggunakan logo atau pesan sosialisasi, sepanjang tidak memiliki konflik kepentingan dan berlaku umum;
    6. Hadiah, apresiasi atau penghargaan dari kejuaraan, perlombaan atau kompetisi yang diikuti dengan biaya sendiri dan tidak terkait dengan kedinasan;
    7. Penghargaan, baik berupa uang atau barang yang ada kaitannya dengan peningkatan prestasi kerja, yang diberikan oleh pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
    8. Hadiah langsung/undian, diskon/rabat, voucher, point rewards, atau suvenir yang berlaku umum dan tidak terkait kedinasan;
    9. Kompensasi atau honor atas profesi di luar kegiatan kedinasan yang tidak terkait dengan tugas dan kewajiban, sepanjang tidak terdapat konflik kepentingan dan tidak melanggar peraturan/kode etik pegawai/pejabat yang bersangkutan;
    10. Kompensasi yang diterima terkait kegiatan kedinasan seperti honorarium, transportasi, akomodasi dan pembiayaan yang telah ditetapkan dalam standar biaya yang berlaku di instansi penerima gratifikasi sepanjang tidak terdapat pembiayaan ganda, tidak terdapat konflik benturan kepentingan, dan tidak melanggar ketentuan yang berlaku di instansi penerima;
    11. Karangan bunga sebagai ucapan yang diberikan dalam acara seperti pertunangan, pernikahan, kelahiran, kematian, akikah, baptis, khitanan, potong gigi, atau upacara adat/agama lainnya, pisah sambut, pensiun, promosi jabatan;
    12. Pemberian terkait dengan pertunangan, pernikahan, kelahiran, akikah, baptis, khitanan, potong gigi, atau upacara adat/agama lainnya dengan batasan nilai sebesar Rp1 juta setiap pemberi;
    13. Pemberian terkait dengan musibah atau bencana yang dialami oleh diri penerima gratifikasi, suami, istri, anak, bapak, ibu, mertua, dan/atau menantu penerima gratifikasi sepanjang tidak terdapat konflik kepentingan, dan memenuhi kewajaran atau kepatutan;
    14. Pemberian sesama rekan kerja dalam rangka pisah sambut, pensiun, mutasi jabatan, atau ulang tahun yang tidak dalam bentuk uang atau alat tukar lainnya maksimal senilai Rp300 ribu setiap pemberian per orang, dengan total pemberian tidak melebihi Rp1 juta dalam 1 tahun dari pemberi yang sama, sepanjang tidak terdapat konflik kepentingan;
    15. Pemberian sesama rekan kerja yang tidak dalam bentuk uang atau alat tukar lainnya, dan tidak terkait kedinasan maksimal senilai Rp200 ribu setiap pemberian per orang, dengan total pemberian tidak melebihi Rp1 juta dalam 1 tahun dari pemberi yang sama;
    16. Pemberian berupa hidangan atau sajian yang berlaku umum; dan
    17. Pemberian cendera mata/plakat kepada instansi dalam rangka hubungan kedinasan dan kenegaraan, baik di dalam negeri maupun luar negeri, sepanjang tidak diberikan untuk individu pegawai negeri atau penyelenggara negara.

    Patut diperhatikan, pengecualian pelaporan gratifikasi di atas tidak berlaku dalam hal gratifikasi tersebut dilarang menurut peraturan yang berlaku di instansi penerima gratifikasi.[7]

    Selanjutnya, menjawab pertanyaan Anda, yang bersangkutan kemudian memberikan sejumlah uang kepada pemberi hadiah sebagai bentuk pembayaran. Apakah pemberian hadiah masih dapat dikategorikan sebagai gratifikasi? Apakah dengan diberikannya uang sebagai pembayaran mengakibatkan hilangnya kewajiban penerima hadiah untuk melaporkan pemberian hadiah ke KPK?

    Menurut hemat kami, meskipun penerima hadiah kemudian membayarkan sejumlah uang kepada pemberi hadiah sebagai bentuk pembayaran atas hadiah yang diberikan, harus dilihat terlebih dahulu apakah jumlah uang yang diberikan telah proporsional sesuai dengan harga pasar dari nilai hadiah yang diberikan.

    Hal ini penting diperhatikan, sebab jika ternyata jumlah uang yang dibayarkan tersebut justru lebih rendah dari nilai hadiah yang dibayarkan, maka pemberian hadiah dapat dikategorikan sebagai gratifikasi. Sebab, salah satu bentuk gratifikasi adalah pemberian diskon, sebagaimana diuraikan dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan KPK 2/2019. Oleh karenanya, pejabat yang bersangkutan tetap wajib melaporkan pemberian hadiah ke KPK.

    Baca juga: Batas Waktu Pelaporan Gratifikasi

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwi bahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar Hukum:

    1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
    2. Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pelaporan Gratifikasi

    [1] Pasal 1 angka 6 Peraturan KPK 2/2019

    [2] Pasal 1 angka 7 Peraturan KPK 2/2019

    [3] Pasal 12B ayat (2) UU 20/2001

    [4] Pasal 12C ayat (1) dan (2) UU 20/2001

    [5] Pasal 12C ayat (3) UU 20/2001

    [6] Pasal 2 ayat (3) Peraturan KPK 2/2019

    [7] Pasal 2 ayat (4) Peraturan KPK 2/2019

    Tags

    kpk
    pidana

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Upload Terjemahan Novel Agar Tak Langgar Hak Cipta

    20 Okt 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!