KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Hukumnya Jika Jangka Waktu Pengembalian Barang Dibatasi oleh Penjual

Share
copy-paste Share Icon
Bisnis

Hukumnya Jika Jangka Waktu Pengembalian Barang Dibatasi oleh Penjual

Hukumnya Jika Jangka Waktu Pengembalian Barang Dibatasi oleh Penjual
Dr. Yusuf Shofie, S.H., M.H.Fakultas Hukum Universitas YARSI
Fakultas Hukum Universitas YARSI
Bacaan 10 Menit
Hukumnya Jika Jangka Waktu Pengembalian Barang Dibatasi oleh Penjual

PERTANYAAN

Saya bekerja di suatu perusahaan MLM ingin menanyakan mengenai klausul retur/pengembalian barang, apakah klausul ini sudah sesuai dengan Undang-undang Perlindungan Konsumen atau tidak? Kira-kira klausul-klausul bunyi persyaratan pengembalian produk sebagai berikut:

  1. Batas waktu pengembalian 14 hari sejak tanggal pembelian.
  2. Melampirkan formulir barang pesanan distributor asli (sejenis bon pembelian).
  3. Melampirkan formulir penukaran dan pengembalian barang yang telah dilengkapi.
  4. Isi produk yang masih tersisa minimal 2/3 dari isi semula, perusahaan tidak akan mengganti produk dalam bentuk uang. Pengembalian secara penuh diberikan dalam bentuk voucher produk yang dapat ditukarkan dengan satu atau lebih produk dengan nilai yang sama. Perusahaan tidak akan mengembalikan selisih uang jika produk pengganti bernilai lebih rendah. Penukaran produk pengganti yang bernilai lebih tinggi dapat dilakukan dengan menambah kekurangan harga produk.

Demikian, bunyi klausul mengenai prosedur retur/pengembalian barang. Mohon sarannya apabila klausul tersebut di atas tidak sesuai. Terima kasih sebelumnya.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen mengatur klausula-klausula baku yang tidak boleh dicantumkan dalam perjanjian. Ketentuan tersebut juga berlaku bagi perusahaan penjualan langsung secara multi tingkat (MLM).

    Selain itu, ketentuan ganti rugi untuk konsumen yang berkaitan dengan pengembalian barang sebagaimana Anda tanyakan, juga telah diakomodir dalam UU Perlindungan Konsumen.

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Larangan dalam Perjanjian Baku

    Ruang lingkup berlakunya hukum perlindungan konsumen didasarkan pada beberapa hal. Pertama, identifikasi ada-tidaknya subjek individu konsumen. Kedua, objek transaksi para pihak, dalam hal ini, antara pelaku usaha dan konsumen. Terakhir, pengaturan kaidah hukum positifnya, di dalam UU Perlindungan Konsumen atau di luar UU Perlindungan Konsumen.

    Dasar hukum positif tertulis untuk menentukan sesuai tidaknya 4 klausul yang Anda tanyakan didasarkan pada Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen yang berbunyi:

    KLINIK TERKAIT

    Praktik Bisnis Multi Level Marketing di Perusahaan Asuransi

    Praktik Bisnis <i>Multi Level Marketing</i> di Perusahaan Asuransi

    Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

    1. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
    2. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
    3. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli konsumen;
    4. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
    5. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen;
    6. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;
    7. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
    8. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

    Menyambung pertanyaan Anda, Permendag 70/2019 hendaknya diperhatikan pengaturannya sepanjang menyangkut penggunaan klausul baku. Pasal 21 huruf c Permendag 70/2019 menentukan bahwa perusahaan penjualan langsung secara multi tingkat (MLM) dilarang melakukan kegiatan menawarkan barang dengan membuat atau mencantumkan klausula baku pada dokumen dan/atau perjanjian yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen. Jadi, ketentuan klausul baku Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen berlaku bagi pelaku usaha MLM.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Ketentuan pencantuman larangan klausula baku sebagaimana diatur dalam pasal yang kami kutip di atas dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Pada prinsipnya, pasal ini tidaklah melarang digunakannya perjanjian baku (standard form contract), baik untuk barang maupun jasa, asalkan larangan (verbod) dan suruhan/keharusan (gebod) yang dituangkan di dalamnya tidak dilanggar. 

    Ada kesan di sebagian pelaku usaha bahwa UU Perlindungan Konsumen melarang perjanjian baku sehingga sangat menghambat aktivitas ekonomi mereka, padahal tidaklah demikian. UU Perlindungan Konsumen hanya membatasi penggunaan klausul-klausul perjanjian baku yang menimbulkan ekses negatif bagi pihak lainnya yang selalu dalam posisi lemah, dalam hal ini, konsumen.

    Melalui ketentuan tersebut, dari sudut politik hukum pidana (criminal policy), UU Perlindungan Konsumen telah melakukan campur tangan terhadap asas kebebasan berkontrak (pacta sunt servanda) dengan melakukan kriminalisasi terhadap praktik klausul-klausul baku sepihak dalam perjanjian baku (one-side standard form contract) dan klausul-klausul pengecualian (exemption clauses) dengan ancaman sanksi pidana penjara 5 tahun atau pidana denda maksimal Rp2 miliar.[1] Meski demikian, sejak berlaku efektif di tahun 2000 hingga saat tulisan ini dibuat, tidak ada satu pun pelaku usaha yang disidik, dituntut, diadili dan dibebani pertangungjawaban pidana pasal tersebut.

    Ketentuan Ganti Kerugian untuk Konsumen

    Perjanjian baku yang membatasi tanggung jawab penjual memang diperkenankan KUH Perdata, yaitu dalam Pasal 1493 KUH Perdata. Namun, kebolehannya bukan tanpa batas. Pasal 1494 KUH Perdata melakukan pembatasan agar penggunaannya tidak merugikan pihak lainnya.

    Dalam pertanyaan Anda tidak disebutkan alasan-alasan retur/pengembalian barang. Oleh karenanya, kami asumsikan dalam hal ini terdapat kerugian atau ketidaksesuaian keadaan barang pada saat penggunaan atau pemanfaatan oleh konsumen. Dalam hal ini, Pasal 19 UU Perlindungan Konsumen seyogyanya diperhatikan:

    1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
    2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
    3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
    4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
    5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

    Bentuk ganti rugi pada Pasal 19 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen dapat berupa:

    1. pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya atau perawatan; dan/atau;
    2. pemberian santunan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    Kata “dapat” menunjukkan masih ada bentuk-bentuk ganti rugi lainnya yang dapat diajukan konsumen kepada pelaku usaha, seperti: keuntungan yang akan diperoleh bila tidak terjadi kecelakaan; kehilangan pekerjaan atau penghasilan untuk sementara atau seumur hidup akibat kerugian fisik yang diderita; dan sebagainya. 

    Pada bagian lain UU Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa konsumen berhak mendapatkan ganti rugi maksimal Rp200 juta melalui penjatuhan sanksi administratif yang dijatuhkan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).[2] Merujuk pada ketentuan ini, BPSK tidak diperkenankan menjatuhkan putusan ganti rugi melampaui Rp200 juta.

    Namun dalam praktik penegakan hukum atas kerugian materiil yang dialami konsumen, sejak tahun 2000 hingga 2022 ini, BPSK tidak pernah menjatuhkan amar putusan berupa sanksi administratif tersebut dalam putusan arbitrase BPSK. Satu kali BPSK pernah menjatuhkan sanksi tersebut, namun putusan tersebut dibatalkan oleh Pengadilan Negeri setempat melalui prosedur keberatan.

    Jika konsumen menghendaki “ganti rugi lainnya” tersebut sehingga jumlah tuntutannya melampaui angka Rp200 juta, maka seyogyanya pintu gugatan konsumen tidak diajukan ke BPSK, melainkan ke Pengadilan Negeri atas dasar gugatan wanprestasi atau perbuatan melanggar hukum. KUH Perdata sebagai hukum materiil berlaku bagi para pihak sepanjang tidak ditentukan lain. Menurut Pasal 1246 KUH Perdata, ganti rugi terdiri dari dua faktor, yaitu kerugian yang nyata-nyata diderita dan keuntungan yang seharusnya diperoleh. 

    Selanjutnya, berkaitan dengan pertanyaan Anda, pelaksanaan pemberian ganti rugi dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi dalam Pasal 19 ayat (3) UU Perlindungan Konsumen tersebut belum pernah dijumpai dalam pengalaman praktik penulis. Cacat produk biasanya baru diketahui setelah produk dikonsumsi atau dimanfaatkan. Untuk produk otomotif, misalnya mobil/kendaraan yang sama sekali baru (bukan kendaraan second), baru diketahui beberapa bulan kemudian setelah disampaikan pengaduan/komplain dari konsumen.

    Terhadap Pasal 19 ayat (3) UU Perlindungan Konsumen tersebut, Inosentius Samsul dalam disertasinya berpendapat bahwa batas waktu 7 hari tidak dimaksudkan untuk menjalani proses pembuktian, tetapi hanya memberi kesempatan kepada produsen untuk membayar atau mencari solusi lain, termasuk penyelesaian sengketa melalui pengadilan (hal. 144-145).

    Berdasarkan penjelasan ketentuan-ketentuan di atas, jika kita lihat, pelaku usaha MLM yang Anda tanyakan telah berusaha mematuhi ketentuan dalam UU Perlindungan Konsumen. Hal ini dapat kita lihat di antaranya dari tenggang waktu yang diberikan untuk pengembalian barang diatur lebih lama (14 hari) dibandingkan dengan tenggang waktu yang diatur dalam pelaksanaan pemberian ganti rugi berdasarkan UU Perlindungan Konsumen (7 hari). Selain itu, ganti rugi dalam bentuk produk dengan nilai yang sama juga memang dibolehkan dalam UU Perlindungan Konsumen.

    Akan tetapi, perlu diperhatikan, ketentuan-ketentuan pengembalian barang tersebut tetap akan diuji dengan iktikad baik para pihak pada pelaksanaan perjanjian jual beli sebagai perjanjian pokoknya.

    Jawaban klinik hukum ini terbatas pada upaya membantu penelusuran (inventarisasi) hukum positif di tengah banyaknya hukum bagi masyarakat luas yang membutuhkannya. Jika dibutuhkan solusi atau preskripsi hukum konkret atas peristiwa hukum yang dihadapi pembaca, sangat dianjurkan untuk menghubungi penasihat hukum (advokat) yang berwenang menanganinya.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
    2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
    3. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 70 Tahun 2019 tentang Distribusi Barang Secara Langsung.

    Referensi:

    Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen: Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.

    [1] Pasal 18 jo. Pasal 62 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen

    [2] Pasal 52 huruf m jo. Pasal 60 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen

    Tags

    klinik hukumonline
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Somasi: Pengertian, Dasar Hukum, dan Cara Membuatnya

    7 Jun 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!