Terkait dengan Surat Edaran Menteri Agama RI No 5 Tahun 2022 tentang pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan mushola. Apakah Polisi memiliki wewenang dan tanggung jawab menertibkan peraturan dalam SE tersebut? Apabila tidak ada wewenang, apakah tetap dapat dilakukan pengajuan tuntutan hukum kepada pelanggarnya? Terima kasih.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Surat Edaran (“SE”) bukan merupakan peraturan perundang-undangan, melainkan SE adalah peraturan kebijakan (beleidsregel) atau peraturan perundang-undangan semu (pseudo wetgeving).
Sedangkan Polri adalah penegak hukum atas norma-norma hukum yang berlaku. Dikarenakan SE bukanlah peraturan perundang-undangan dan tidak memenuhi unsur-unsur sebagai norma hukum, maka Polri tidak berwenang untuk menegakkan atau menertibkan pelaksanaan SE.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Kekuatan Hukum Surat Edaran
Fenomena terbitnya Surat Edaran (“SE”) dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia terus menjadi perdebatan terkait apakah SE termasuk dalam kategori mengatur (regeling) atau bersifat penetapan (beschikking).
Terkait ini, kami berpendapat kedudukan SE adalah sebagai berikut:[1]
SE dalam hal ini yang dibuat oleh Menteri bukan peraturan perundang-undangan, sebab SE Menteri tidak memuat norma tingkah laku (larangan, perintah, ijin dan pembebasan), kewenangan, dan penetapan.
SE adalah naskah dinas yang berisi pemberitahuan, penjelasan dan/atau petunjuk cara melaksanakan hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak.
SE tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menganulir Peraturan Menteri, Peraturan Presiden, atau Peraturan Pemerintah, tetapi semata-mata hanya untuk memperjelas makna dari peraturan yang ingin diberitahukan.
SE mempunyai derajat lebih tinggi dari surat biasa, karena SE memuat petunjuk atau penjelasan tentang hal-hal yang harus dilakukan berdasarkan peraturan. SE bersifat pemberitahuan, tidak mengatur sanksi karena bukan norma.
SE merupakan suatu perintah pejabat tertentu kepada bawahan atau orang di bawah binaannya.
SE tidak mempunyai kekuatan mengikat ke luar instansi dan hanya berlaku mengikat di instansi pejabat yang membuatnya.
Pejabat penerbit tidak memerlukan dasar hukum karena SE merupakan suatu peraturan kebijakan yang diterbitkan semata-mata berdasarkan kewenangan bebas. Namun, patut diperhatikan faktor-faktor penerbitan SE:
Hanya diterbitkan karena keadaan mendesak.
Ada peraturan terkait yang tidak jelas yang butuh ditafsirkan.
Substansi tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Dapat dipertanggungjawabkan secara moral dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik.
SE adalah suatu perintah atau penjelasan yang tidak berkekuatan hukum, artinya tidak ada sanksi hukum bagi yang tidak mematuhinya.
Apabila dihubungkan dengan aspek yuridis, filosofis dan sosiologis, maka dapat disimpulkan penerbitan SE adalah sebagai berikut:
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Aspek yuridis, pembuatan SE tidak merujuk pada peraturan perundang-undangan tertentu, dan SE dibuat oleh pemerintah untuk menerangkan atau memperjelas sesuatu hal dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Aspek filosofis, pembentukan SE adalah kebutuhan teknis untuk memperjelas norma-norma yang ada di atasnya yang belum jelas, sehingga diatur lebih lanjut melalui SE.
Aspek sosiologis, SE dibutuhkan dalam kondisi penting dan mendesak untuk memenuhi kekosongan hukum.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa SE tetap harus dianggap sah sepanjang mengatur tingkat internal pejabat di lingkungannya, dengan tetap mempertimbangkan aspek yuridis, filosofis dan sosiologis.
Namun yang perlu digarisbawahi, kedudukan SE dalam sistem hukum di Indonesia bukan sebagai peraturan perundang-undangan, karena SE tidak memenuhi unsur-unsur sebagai norma hukum. Melainkan, SE adalah peraturan kebijakan (beleidsregel) atau peraturan perundang-undangan semu (pseudo wetgeving).
Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
Menegakkan hukum; dan
Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Pasal 75 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 15 ayat (1) UU Polri
Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang:
menerima laporan dan/atau pengaduan;
membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum;
mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian;
melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan;
melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;
mencari keterangan dan barang bukti;
menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;
mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;
memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;
menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
Dari ketentuan di atas, bisa dipahami tugas pokok Polri itu melakukan penegakan hukum adalah upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Polisi sebagai penegak hukum merupakan penyidik dan penyelidik dalam hukum acara pidana.
Dari penjelasan ini, Polri sebagai penegak hukum hanya melaksanakan norma hukum. Sehingga, karena SE bukanlah norma hukum, melainkan peraturan kebijakan, maka Polri tidak berwenang untuk menertibkan pelaksanaan SE Menag 5/2022.
Bisakah Menuntut Pidana bagi Pelanggar SE?
Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, SE bukanlah peraturan perundang-undangan karena tidak memenuhi unsur-unsur sebagai norma hukum. Dengan demikian, SE bukan norma hukum pidana.
Padahal, dalam hukum pidana berlaku asas legalitas yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi:
Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.
Asas legalitas adalah asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, jika sebelumnya perbuatan tersebut belum diatur terlebih dahulu dalam undang-undang. Asas ini tidak boleh berlaku surut, artinya tidak boleh mempidanakan seseorang, apabila perbuatannya belum ada aturannya.
Asas legalitas dalam hukum pidana itu sangat penting, digunakan untuk mengetahui apakah suatu peraturan hukum dapat diberlakukan terhadap tindak pidana yang terjadi atau tidak.
Oleh karena itu, apabila terjadi tindak pidana, akan dilihat adakah ketentuan hukum yang mengaturnya dan juga bisakah diberlakukan terhadap tindak pidana itu.
Setidaknya, ada 3 unsur dalam pengertian asas legalitas, yaitu:
Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana apabila perbuatan itu belum diatur sama sekali dalam suatu aturan;
Dalam menentukan adanya suatu perbuatan pidana, tidak boleh menggunakan suatu analogi;
Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut.
Jadi, kami tegaskan kembali pelaksanaan penegakan SE bukan menjadi wewenang Polri dan terhadap pelanggar SE tidak dapat dituntut secara hukum.