Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Pemerintah Ubah Aturan JHT Secara Sepihak, Bolehkah Menurut Hukum Asuransi?

Share
copy-paste Share Icon
Bisnis

Pemerintah Ubah Aturan JHT Secara Sepihak, Bolehkah Menurut Hukum Asuransi?

Pemerintah Ubah Aturan JHT Secara Sepihak, Bolehkah Menurut Hukum Asuransi?
Dr. Zahry Vandawati Chumaida, S.H., M.H.Pusat Kajian Hukum Bisnis FH Unair
Pusat Kajian Hukum Bisnis FH Unair
Bacaan 10 Menit
Pemerintah Ubah Aturan JHT Secara Sepihak, Bolehkah Menurut Hukum Asuransi?

PERTANYAAN

Setau saya JHT termasuk jenis asuransi. Pertanyaan saya, kan asuransi itu harus didasarkan kontrak/polis antara perusahaan dan konsumen pengguna. Nah apakah ketentuan JHT yang diubah sepihak oleh pemerintah belum lama ini sah hukumnya menurut hukum asuransi?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Jaminan Hari Tua (JHT) termasuk dalam asuransi sosial yang diselenggarakan oleh pemerintah melalui BPJS Ketenagakerjaan, sehingga pemerintah berwenang menentukan regulasi terkait dengan JHT

    Selain itu, perlu diketahui juga bahwa JHT merupakan asuransi sosial yang pembayarannya bukan hanya dibayar oleh pekerja sendiri saja namun juga oleh pemberi kerja. Jadi kontrak polisnya bukan langsung antara BPJS Ketenagakerjaan dengan pekerja, namun secara kolektif dari perusahaan pemberi kerja yang mendaftarkan kepada BPJS Ketenagakerjaan.

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Jenis-Jenis Asuransi

    Sebenarnya konsep dari asuransi adalah perjanjian antara para pihak, sehingga dengan adanya perjanjian tersebut akan muncul hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan yaitu dalam hal ini pekerja dan perusahaan selaku tertanggung dan BPJS Ketenagakerjaan selaku badan hukum yang ditunjuk oleh undang-undang sebagai penyelenggara asuransi ketenagakerjaan.[1]

    Dalam asuransi, dikenal 3 penggolongan asuransi, yaitu :

    KLINIK TERKAIT

    Dokter Malapraktik, Bisakah Asuransi yang 'Tanggung Jawab'?

    Dokter Malapraktik, Bisakah Asuransi yang 'Tanggung Jawab'?
    1. Asuransi sejumlah uang, contohnya adalah asuransi jiwa;
    2. Asuransi kerugian, contohnya adalah asuransi pengangkutan, asuransi kendaraan bermotor, dan asuransi kebakaran;
    3. Asuransi sosial/asuransi wajib, contohnya asuransi jasa raharja, asuransi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

    Sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1 angka 3 UU 40/2004 , yang dimaksud dengan asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib dan berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya.

    Asuransi sosial ini sifatnya wajib dan diamanatkan melalui undang-undang, di mana regulatornya adalah pemerintah. Asuransi sosial sebenarnya hampir sama dengan asuransi komersial, perbedaannya hanya pada lingkup perlindungan yang diberikan, yang mana dalam asuransi sosial perlindungannya bersifat dasar, wajib dan diatur oleh undang-undang. Hal ini berbeda dengan asuransi lainnya yang bersifat sukarela, di mana masyarakat boleh ikut dan boleh tidak ikut asuransi komersial yang diselenggarakan oleh swasta.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Dalam asuransi sosial para pihaknya selain tertanggung, dalam hal ini masyarakat, ada pemerintah dan BPJS selaku penyelenggara yang ditunjuk oleh pemerintah.

    JHT Sebagai Asuransi Sosial

    Jaminan Hari Tua (JHT) termasuk dalam asuransi sosial yang merupakan program yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan.[2] Salah satu program yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan yang saat ini dirasa paling besar manfaatnya oleh peserta BPJS Ketenagakerjaan adalah JHT.

    Karena JHT termasuk dalam asuransi sosial yang diselenggarakan oleh pemerintah melalui BPJS Ketenagakerjaan, maka pemerintah berwenang menentukan regulasi terkait dengan JHT. Penyelenggaraan JHT diatur dalam PP 46/2015, yang menjelaskan bahwa program JHT adalah manfaat uang tunai yang diberikan ketika peserta memasuki usia tertentu, tidak ingin bekerja lagi, cacat total tetap sehingga tidak mampu bekerja kembali atau meninggal dunia dan akan diberikan sampai batas waktu tertentu setelah kepesertaan mencapai minimal 10 (sepuluh) tahun.[3]

    JHT merupakan asuransi sosial yang pembayarannya bukan hanya dibayar oleh pekerja sendiri saja namun juga dibayar oleh pemberi kerja.[4]Jadi kontrak polisnya bukan langsung antara BPJS Ketenagakerjaan langsung dengan pekerja, namun secara kolektif dari perusahaan pemberi kerja yang mendaftarkan kepada BPJS Ketenagakerjaan.

    Sehingga, menjawab pertanyaan Anda, perubahan ketentuan JHT secara sepihak oleh pemerintah tidaklah menyalahi ketentuan hukum, karena JHT merupakan asuransi sosial yang bersifat wajib, dan pemerintah berwenang menentukan regulasi terkait dengan JHT.

    Ketentuan Pencairan JHT Saat Ini dan JKP Sebagai Alternatif

    Ketentuan JHT yang diubah sepihak oleh pemerintah belum lama ini sebenarnya dianggap bahwa ketentuan JHT yang sebenarnya diberikan guna untuk jaminan hari tua dari pekerja itu sendiri disaat sudah tidak produktif atau tidak bekerja agar mendapat dana untuk hari tuanya, karenanya dalam aturan baru yang tertuang dalam Permenaker 2/2022, disyaratkan bahwa pencairan JHT baru bisa dilakukan setelah peserta BPJS Ketenagakerjaan berusia 56 tahun.[5]

    Namun dalam ketentuan yang baru terkait dengan JHT yang pencairannya baru bisa dilakukan di usia 56 tahun, harus mengedepankan fungsi dan tujuan dari asuransi itu sendiri, yaitu salah satunya adalah mengembalikan seseorang pada posisi semula (secara ekonomi) sehingga, apabila ada pekerja yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) seperti saat ini akibat dari pandemi yang berkepanjangan sebaiknya pemerintah kembali lagi kepada fungsi dan tujuan dari asuransi sosial itu sendiri, yaitu salah satunya membantu pekerja yang di-PHK tadi supaya tidak terlalu jatuh ekonominya karena di-PHK.

    Selain itu, ketentuan JHT yang diubah sepihak oleh pemerintah belum lama ini sebenarnya diberikan sebagai jaminan di hari tua dari pekerja itu sendiri di saat sudah tidak produktif atau tidak bekerja agar mendapat dana untuk hari tuanya, karenanya dalam Permenaker 2/2022, pencairan JHT baru bisa dilakukan setelah peserta BPJS Ketenagakerjaan berusia 56 tahun seperti yang kami jelaskan sebelumnya.

    Padahal, dalam aturan sebelumnya yaitu Permenaker 19/2015, dana pekerja yang ada di dalam program JHT dapat langsung dicairkan 1 bulan setelah tidak bekerja atau mengundurkan diri.[6]

    Sebenarnya, informasi bahwa pencairan JHT hanya bisa dilakukan di usia pensiun 56 tahun tidak sepenuhnya benar, karena bagi mereka yang ingin menarik uang untuk kebutuhan rumah contohnya, juga bisa mencairkan hingga 30%.[7]

    Baca juga: Manfaat JHT Cair Usia 56 Tahun, Ini Penjelasan Lengkap dan Syarat Klaimnya

    Selain itu, pemerintah seharusnya mensosialisasikan kepada masyarakat adanya Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) jika terjadi PHK atau Kehilangan Pekerjaan, apalagi di masa pandemi COVID-19 saat ini. Dalam praktik, klaim JHT saat ini kebanyakan dilakukan akibat kehilangan pekerjaan yang nilainya antara Rp2 juta - Rp3 juta.

    JKP disiapkan pemerintah bagi pekerja yang mengalami PHK untuk peningkatan kompetensi para pekerja atau buruh. Melalui program JKP, korban PHK selain dapat manfaat uang tunai juga mendapat pelatihan gratis dan akses lowongan kerja. Sementara sebelum ada JKP, pekerja yang kena PHK sangat tergantung pada pencairan JHT. Program JKP sebagai backup bagi para pekerja yang mengalami PHK dan kehilangan pekerjaan menunjukkan komitmen pemerintah untuk memberi perlindungan dan jaminan kesejahteraan bagi para pekerja dan buruh. Penjelasan selengkapnya mengenai JKP dapat Anda baca dalam Cara Pendaftaran, Iuran, dan Manfaat Jaminan Kehilangan Pekerjaan.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional;
    2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
    3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
    4. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua;
    5. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 19 Tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua yang telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua.

    [1] Pasal 83 angka 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (“UU 24/2011”)

    [2] Pasal 83 angka 1 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 6 ayat (2) huruf b UU 24/2011

    [3] Penjelasan Umum PP 46/2015

    [4] Pasal 19 ayat (1) PP 46/2015

    [5] Pasal 3 Permenaker 2/2022

    [6] Pasal 5 ayat (1) dan 6 ayat (1) Permenaker 19/2015

    [7] Pasal 22 ayat (5) PP 46/2015

    Tags

    asuransi
    bpjs ketenagakerjaan

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Perancang Peraturan (Legislative Drafter) Harus Punya Skill Ini

    23 Jun 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!