Setau saya JHT termasuk jenis asuransi. Pertanyaan saya, kan asuransi itu harus didasarkan kontrak/polis antara perusahaan dan konsumen pengguna. Nah apakah ketentuan JHT yang diubah sepihak oleh pemerintah belum lama ini sah hukumnya menurut hukum asuransi?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Jaminan Hari Tua (JHT) termasuk dalam asuransi sosial yang diselenggarakan oleh pemerintah melalui BPJS Ketenagakerjaan, sehingga pemerintah berwenang menentukan regulasi terkait dengan JHT.
Selain itu, perlu diketahui juga bahwa JHT merupakan asuransi sosial yang pembayarannya bukan hanya dibayar oleh pekerja sendiri saja namun juga oleh pemberi kerja. Jadi kontrak polisnya bukan langsung antara BPJS Ketenagakerjaan dengan pekerja, namun secara kolektif dari perusahaan pemberi kerja yang mendaftarkan kepada BPJS Ketenagakerjaan.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Jenis-Jenis Asuransi
Sebenarnya konsep dari asuransi adalah perjanjian antara para pihak, sehingga dengan adanya perjanjian tersebut akan muncul hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan yaitu dalam hal ini pekerja dan perusahaan selaku tertanggung dan BPJS Ketenagakerjaan selaku badan hukum yang ditunjuk oleh undang-undang sebagai penyelenggara asuransi ketenagakerjaan.[1]
Dalam asuransi, dikenal 3 penggolongan asuransi, yaitu :
Sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1 angka 3 UU 40/2004 , yang dimaksud dengan asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib dan berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya.
Asuransi sosial ini sifatnya wajib dan diamanatkan melalui undang-undang, di mana regulatornya adalah pemerintah. Asuransi sosial sebenarnya hampir sama dengan asuransi komersial, perbedaannya hanya pada lingkup perlindungan yang diberikan, yang mana dalam asuransi sosial perlindungannya bersifat dasar, wajib dan diatur oleh undang-undang. Hal ini berbeda dengan asuransi lainnya yang bersifat sukarela, di mana masyarakat boleh ikut dan boleh tidak ikut asuransi komersial yang diselenggarakan oleh swasta.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Dalam asuransi sosial para pihaknya selain tertanggung, dalam hal ini masyarakat, ada pemerintah dan BPJS selaku penyelenggara yang ditunjuk oleh pemerintah.
JHT Sebagai Asuransi Sosial
Jaminan Hari Tua (JHT) termasuk dalam asuransi sosial yang merupakan program yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan.[2] Salah satu program yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan yang saat ini dirasa paling besar manfaatnya oleh peserta BPJS Ketenagakerjaan adalah JHT.
Karena JHT termasuk dalam asuransi sosial yang diselenggarakan oleh pemerintah melalui BPJS Ketenagakerjaan, maka pemerintah berwenang menentukan regulasi terkait dengan JHT. Penyelenggaraan JHT diatur dalam PP 46/2015, yang menjelaskan bahwa program JHT adalah manfaat uang tunai yang diberikan ketika peserta memasuki usia tertentu, tidak ingin bekerja lagi, cacat total tetap sehingga tidak mampu bekerja kembali atau meninggal dunia dan akan diberikan sampai batas waktu tertentu setelah kepesertaan mencapai minimal 10 (sepuluh) tahun.[3]
JHT merupakan asuransi sosial yang pembayarannya bukan hanya dibayar oleh pekerja sendiri saja namun juga dibayar oleh pemberi kerja.[4]Jadi kontrak polisnya bukan langsung antara BPJS Ketenagakerjaan langsung dengan pekerja, namun secara kolektif dari perusahaan pemberi kerja yang mendaftarkan kepada BPJS Ketenagakerjaan.
Sehingga, menjawab pertanyaan Anda, perubahan ketentuan JHT secara sepihak oleh pemerintah tidaklah menyalahi ketentuan hukum, karena JHT merupakan asuransi sosial yang bersifat wajib, dan pemerintah berwenang menentukan regulasi terkait dengan JHT.
Ketentuan Pencairan JHT Saat Ini dan JKP Sebagai Alternatif
Ketentuan JHT yang diubah sepihak oleh pemerintah belum lama ini sebenarnya dianggap bahwa ketentuan JHT yang sebenarnya diberikan guna untuk jaminan hari tua dari pekerja itu sendiri disaat sudah tidak produktif atau tidak bekerja agar mendapat dana untuk hari tuanya, karenanya dalam aturan baru yang tertuang dalam Permenaker 2/2022, disyaratkan bahwa pencairan JHT baru bisa dilakukan setelah peserta BPJS Ketenagakerjaan berusia 56 tahun.[5]
Namun dalam ketentuan yang baru terkait dengan JHT yang pencairannya baru bisa dilakukan di usia 56 tahun, harus mengedepankan fungsi dan tujuan dari asuransi itu sendiri, yaitu salah satunya adalah mengembalikan seseorang pada posisi semula (secara ekonomi) sehingga, apabila ada pekerja yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) seperti saat ini akibat dari pandemi yang berkepanjangan sebaiknya pemerintah kembali lagi kepada fungsi dan tujuan dari asuransi sosial itu sendiri, yaitu salah satunya membantu pekerja yang di-PHK tadi supaya tidak terlalu jatuh ekonominya karena di-PHK.
Selain itu, ketentuan JHT yang diubah sepihak oleh pemerintah belum lama ini sebenarnya diberikan sebagai jaminan di hari tua dari pekerja itu sendiri di saat sudah tidak produktif atau tidak bekerja agar mendapat dana untuk hari tuanya, karenanya dalam Permenaker 2/2022, pencairan JHT baru bisa dilakukan setelah peserta BPJS Ketenagakerjaan berusia 56 tahun seperti yang kami jelaskan sebelumnya.
Padahal, dalam aturan sebelumnya yaitu Permenaker 19/2015, dana pekerja yang ada di dalam program JHT dapat langsung dicairkan 1 bulan setelah tidak bekerja atau mengundurkan diri.[6]
Sebenarnya, informasi bahwa pencairan JHT hanya bisa dilakukan di usia pensiun 56 tahun tidak sepenuhnya benar, karena bagi mereka yang ingin menarik uang untuk kebutuhan rumah contohnya, juga bisa mencairkan hingga 30%.[7]
Selain itu, pemerintah seharusnya mensosialisasikan kepada masyarakat adanya Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) jika terjadi PHK atau Kehilangan Pekerjaan, apalagi di masa pandemi COVID-19 saat ini. Dalam praktik, klaim JHT saat ini kebanyakan dilakukan akibat kehilangan pekerjaan yang nilainya antara Rp2 juta - Rp3 juta.
JKP disiapkan pemerintah bagi pekerja yang mengalami PHK untuk peningkatan kompetensi para pekerja atau buruh. Melalui program JKP, korban PHK selain dapat manfaat uang tunai juga mendapat pelatihan gratis dan akses lowongan kerja. Sementara sebelum ada JKP, pekerja yang kena PHK sangat tergantung pada pencairan JHT. Program JKP sebagai backup bagi para pekerja yang mengalami PHK dan kehilangan pekerjaan menunjukkan komitmen pemerintah untuk memberi perlindungan dan jaminan kesejahteraan bagi para pekerja dan buruh. Penjelasan selengkapnya mengenai JKP dapat Anda baca dalam Cara Pendaftaran, Iuran, dan Manfaat Jaminan Kehilangan Pekerjaan.