Apa saja unsur-unsur konstitusional terbentuknya suatu negara? Mohon jelaskan dan sebutkan unsur-unsur berdirinya suatu negara ini.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Berdasarkan Montevideo Convention, syarat berdirinya suatu negara harus memenuhi minimal empat unsur, yakni mencakup penduduk tetap, wilayah, pemerintahan, dan kemampuan untuk menjalin hubungan internasional dengan negara lain.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran kedua dari artikel dengan judul Apa Saja Unsur-unsur Berdirinya Negara? yang dibuat oleh Saufa Ata Taqiyya, S.H., dan pertama kali dipublikasikan pada Senin, 11 April 2022 kemudian dimutakhirkan pertama kali pada 4 Mei 2023.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Sebelumnya, perlu kami luruskan, penggunaan kata ‘konstitusional’ dalam pertanyaan Anda menurut kami kurang tepat. Pasalnya, istilah konstitusional biasanya dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang berkaitan dengan konstitusi.
Oleh karena itu, barangkali yang Anda maksud adalah apa saja unsur-unsur berdirinya suatu negara atau unsur-unsur terbentuknya negara, yang mana pembahasan unsur-unsur terbentuknya negara lebih banyak dibahas dalam diskusi ilmu negara dan hukum internasional.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Unsur-unsur Terbentuknya Negara
Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan unsur-unsur berdirinya negara adalah elemen dari suatu organisasi negara, atau hal-hal yang dianggap perlu untuk terbentuknya suatu negara.[1]
Dari perspektif hukum internasional, instrumen yang telah mengatur secara pasti unsur-unsur terbentuknya negara adalah Montevideo Convention yang menyebutkan adanya empat unsur yang menjadi kualifikasi sebuah negara sebagai subjek hukum internasional:[2]
Penduduk tetap
Syarat “tetap” dalam unsur ini bisa diartikan dalam 2 hal. Pertama, penduduk menjadikan wilayah yang ada sebagai dasar untuk menentukan tempat tinggalnya. Kedua, wilayah itu -sebagai tempat tinggal- dapat diajukan tuntutan sebagai lingkungan tertentu. Pada dasarnya tidak ada ketetapan yang pasti mengenai jumlah minimum penduduk untuk membentuk suatu negara. Penentu status penduduk adalah ikatan hukum dalam satu kebangsaan.[3]
Wilayah
Tidak ada ketentuan yang pasti berapa luas minimum suatu wilayah untuk dapat ditetapkan sebagai salah satu unsur yang membentuk sebuah negara. Crawford menyatakan bahwa hak suatu negara yang independen untuk menyusun pemerintahan yang berada dalam suatu wilayah tertentu.[4]
Sebagai catatan, adanya sengketa batas negara tidak mempengaruhi status sebuah negara. Contohnya, Israel pada tahun 1949 diterima sebagai anggota PBB meskipun ada konflik batas negara yang sedang berlangsung ketika itu.[5]
Pemerintahan
Menurut Crawford juga, persyaratan bahwa sebuah negara yang dianggap ada mempunyai pemerintahan yang efektif bisa dianggap sebagai hal yang sentral dalam klaim telah terbentuknya sebuah negara. Makna pemerintahan sendiri dapat dikaitkan dalam hubungan kepada 2 hal. Pertama, meliputi lembaga-lembaga politik, administratif, dan eksekutif, yang bertujuan untuk melakukan pengaturan dalam komunitas yang bersangkutan dan melaksanakan tugas-tugas yang ditetapkan dalam aturan hukum.[6]
Kedua, dengan menggunakan prinsip efektivitas, kriteria pemerintahan menunjuk kepada makna “pemerintahan yang efektif” yang berarti lembaga politik, administratif, dan eksekutif sungguh-sungguh melaksanakan tugasnya dalam wilayah yang bersangkutan dan diakui oleh penduduk setempat. Supaya efektif, maka pembentukan lembaga-lembaga itu didirikan dan diatur oleh hukum yang ditetapkan setelah terbentuknya negara yang bersangkutan.[7]
Kemampuan untuk menjalin hubungan internasional dengan negara lain
Sebagian ahli menyebutkan bahwa syarat yang terakhir ini merupakan unsur deklaratif, dan bukan unsur konstitutif terbentuknya suatu negara. Hal tersebut dikarenakan kemampuan menjalin hubungan dengan negara lain lebih merupakan konsekuensi lahirnya suatu negara dibandingkan sebagai syarat pendiriannya. Bahkan, syarat ini tak hanya diperuntukkan bagi negara, akan tetapi juga untuk organisasi internasional, termasuk bagian dari pengaturan konstitusional seperti halnya dalam sistem federasi.[8]
Keempat unsur tersebut sering disebut dengan the traditional criteria.[9] Hal serupa disampaikan oleh Soehino dalam Ilmu Negara, syarat ada daerahnya yang tertentu, ada rakyatnya, dan ada pemerintahan yang berdaulat adalah syarat formil suatu negara, bukan syarat materiilnya (hal. 7-8).
Belakangan berkembang juga pendapat dari sebagian ahli yang mensyaratkan adanya syarat-syarat tambahan dari aspek legalitas, yaitu pembentukan negara tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip fundamental dalam hukum internasional, di antaranya yaitu prinsip democratically legitimated authority dan hak menentukan nasib sendiri (right to self-determination).[10]
Demikian jawaban dari kami terkait unsur-unsur negara atau unsur terbentuknya negara sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.
Isrok dan Dhia Al Uyun. Ilmu Negara (Berjalan dalam Dunia Abstrak) (e-book). Malang: UB Press, 2012;
Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty, 2005;
Stefan Talmon. The Constitutive Versus the Declaratory Doctrine of Recognition: Tertium Non Datur? British Year Book of International Law, Vol. 75, 2004.
[1] Isrok dan Dhia Al Uyun. Ilmu Negara (Berjalan dalam Dunia Abstrak) (e-book). Malang: UB Press, 2012.
[3] Isharyanto. Ilmu Negara. Karanganyar: Oase Pustaka, 2016, hal. 37
[4] Isharyanto. Ilmu Negara. Karanganyar: Oase Pustaka, 2016, hal. 36
[5] Ali Zounuzy Zadeh. International Law and the Criteria for Statehood: The Sustainability of the Declaratory and Constitutive Theories as the Method for Assessing the Creation and Continued Existence of States. LL.M Thesis Public International Law, Tilburg University, hal. 19-20
[6] Isharyanto. Ilmu Negara. Karanganyar: Oase Pustaka, 2016, hal. 38
[7] Isharyanto. Ilmu Negara. Karanganyar: Oase Pustaka, 2016, hal. 38
[8] Isharyanto. Ilmu Negara. Karanganyar: Oase Pustaka, 2016, hal. 38–39
[9] Isharyanto. Ilmu Negara. Karanganyar: Oase Pustaka, 2016, hal. 36
[10] Stefan Talmon. The Constitutive Versus The Declaratory Doctrine of Recognition: Tertium Non Datur? British Year Book of International Law, Vol. 75, 2004, hal. 121-122