Apakah pihak yang dirugikan tetap dapat meminta ganti kerugian yang diakibatkan oleh wanprestasi meskipun jangka waktu perjanjian telah berakhir?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Salah satu pihak yang terikat dalam perjanjian dikatakan wanprestasi apabila pihak tersebut tidak memenuhi prestasi yang telah diperjanjikan, memenuhi prestasi dengan tidak sebagaimana mestinya, memenuhi prestasi tidak sesuai dengan jangka waktu yang diperjanjikan, atau melakukan hal yang dilarang menurut kontrak yang telah disepakati.
Lantas, bisakah mengajukan gugatan wanprestasi atas perjanjian yang telah berakhir?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Pada dasarnya, suatu hubungan hukum akan menghasilkan suatu perikatan di antara kedua belah pihak, sebagaimana diatur dalam Pasal 1233 KUHPeryang menyatakan perikatan lahir karena adanya suatu perjanjian atau undang-undang. Dengan demikian, perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan. Lebih lanjut, perikatan ditimbulkan karena adanya hubungan kontraktual yang sengaja dibuat dan disepakati oleh para pihak.[1] Sedangkan perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPer dikenal dengan istilah persetujuan, yaitu suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya.
Adapun menurut M. Yahya Harahap dalam buku Segi-Segi Hukum Perikatan, suatu perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan antara dua orang atau lebih, yang memberikan kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk melaksanakan suatu prestasi (hal. 3).
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Kemudian, inti dari sebuah perjanjian atau kontrak adalah pertukaran kewajiban para pihak yang pelaksanaannya harus berdasarkan atas iktikad baik.[2] Perjanjian juga merupakan hubungan hukum di mana subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya.[3] Hal serupa juga dijelaskan oleh Agus Yudha Hernoko, yaitu prestasi dalam hukum dimaknai sebagai sesuatu yang wajib dilakukan oleh para pihak dalam kontrak berdasarkan kesepakatan yang telah tercipta.[4]
Namun, penting untuk diketahui bahwa apa yang sudah disepakati dan dituangkan dalam perjanjian tidak melanggar Pasal 1337 KUHPer yang menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Kemudian, semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPer.
Selanjutnya, ditegaskan dalam Pasal 1234 KUHPer bahwa substansi dari kontrak pada umumnya berisi tiga bentuk, yaitu:
untuk memberikan sesuatu;
untuk berbuat sesuatu; atau
untuk tidak berbuat sesuatu.
Dengan demikian, prestasi yang telah mengikat para pihak harus sepenuhnya dilandasi dengan iktikad baik untuk melaksanakan kewajiban tersebut sampai tuntas.
Dalam sebuah perjanjian sering kali dijumpai beberapa permasalahan terkait pelaksanaan perjanjian. Salah satu penyebab pelaksanaan perjanjian tidak lancar adalah adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak atau kontraktan.
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu pengertian wanprestasi. Istilah wanprestasi berasal dari Bahasa Belanda, “wanprestatie” yang artinya prestasi buruk atau cidera janji, yaitu suatu kondisi tidak terlaksananya prestasi akibat kesalahan debitur yang dikarenakan kesengajaan atau kelalaiannya.[5] Dalam Bahasa Inggris, wanprestasi disebut breach of contract, yang berarti tidak dilaksanakannya kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak.[6]
Debitur dapat dikatakan melakukan bentuk wanprestasi manakala:[7]
tidak memenuhi prestasi yang telah diperjanjikan;
memenuhi prestasi dengan tidak sebagaimana mestinya;
memenuhi prestasi tidak sesuai dengan jangka waktu yang diperjanjikan; dan
melakukan hal yang dilarang menurut kontrak yang telah disepakati.
Kemudian, pengertian wanprestasi di atas sejalan dengan Pasal 1238 KUHPer yang menyebutkan:
Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan
Adapun gugatan wanprestasi adalah gugatan yang pada pokok perkaranya mengenai wanprestasi dimana harus adanya kegagalan debitur dalam memenuhi kewajiban sesuai dengan perikatan yang disepakati. Alasan dari mengapa debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya, pertama karena kesalahan debitur atas kesengajaan atau kelalaiannya, serta disebabkan keadaan yang memaksa atau force majure.[8]
Kemudian, formulasi dari surat gugatan wanprestasi perlu diperhatikan dalam pembuatan rumusan gugatan sebagai persyaratan formil.[9] Agar tidak ada cacat formil, berikut adalah hal yang perlu diperhatikan dalam surat gugatan wanprestasi:[10]
surat gugatan diajukan ke pengadilan negeri berdasarkan kompetensi relatifnya sesuai dengan Pasal 118 HIRmengenai kewenangan relatif;
penandatanganan surat gugatan oleh penggugat ataupun kuasanya;
Lantas, bisakah mengajukan gugatan wanprestasi jikaperjanjian telah berakhir? Berikut ulasannya.
Gugatan Wanprestasi atas Perjanjian yang Telah Berakhir
Menjawab pertanyaan Anda, berdasarkan penjelasan di atas, apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi sedangkan jangka waktu perjanjian telah berakhir, maka harus dipastikan terlebih dahulu pelanggaran perjanjian tersebut.
Untuk mempermudah pemahaman anda, kami berikan contoh wanprestasi, dimana A dan B terikat dalam perjanjian sewa menyewa dengan jangka waktu 2 (dua) tahun. Salah satu prestasi yang harus dilakukan oleh penyewa adalah membayar uang sewa setiap bulan. Akan tetapi, pelaksanaan pembayaran yang dilakukan oleh penyewa mengalami keterlambatan selama 5 (lima) bulan dan melewati jangka waktu perjanjian. Kondisi tersebut tetap mengharuskan penyewa untuk memenuhi prestasinya walaupun jangka waktu perjanjian telah berakhir.
Pemberi sewa dalam hal ini dapat mengajukan gugatan wanprestasi kepada penyewa dengan petitum gugatan untuk pemenuhan prestasi pembayaran, pembayaran denda, kerugian dan bunga akibat tidak dilaksanakannya prestasi tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 1267 KUHPer.
Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan juga ditegaskan dalam Pasal 1243 KUHPer yang berbunyi:
Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.
Contoh Kasus
Sebagai contoh gugatan wanprestasi, dapat kita lihat dalam Putusan PN Baubau Nomor 7/Pdt.G.S/2022/PN Bau, bahwa pada tanggal 10 Mei 2021 telah tercapai kesepakatan antara Penggugat dan Tergugat dengan melakukan perjanjian utang piutang sebagaimana dibuktikan dengan surat perjanjian utang piutang tertanggal 10 Mei 2021, yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. Berdasarkan perjanjian tersebut, Penggugat memberikan pinjaman uang sejumlah Rp180 juta kepada Tergugat, dan Tergugat berkewajiban untuk mengembalikan uang pinjaman tersebut secara tunai sekaligus (bukan cicil) dalam kurun waktu 3 (tiga) bulan sejak ditandatanganinya surat perjanjian utang piutang. Namun, setelah kurun waktu yang disepakati, Tergugat tidak mengembalikan uang pinjaman.
Berdasarkan hal tersebut, Majelis Hakim menyatakan tindakan yang dilakukan Tergugat adalah tindakan wanprestasi yang diatur dalam Pasal 1243 KUHPer. Sehingga, Tergugat wajib membayar utangnya kepada Penggugat sejumlah Rp180 juta secara seketika dan sekaligus, sebagaimana perjanjian utang piutang para pihak.
Abdulkadir Muhammad. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014;
Agus Yudha Hernoko. Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Jakarta: Kencana, 2010;
Khairan Nisa Mendrofa (et.al). Tinjauan Yuridis Gugatan Wanprestasi yang Tidak Dapat Diterima oleh Pengadilan (Studi Kasus Putusan Nomor 9/PDT.G/2018/PN.GST). Jurnal Hukum dan Kemasyarakatan Al-Hikmah, Vol. 2, No. 2, 2021;
Lukman Santoso Az. Hukum Perikatan: Teori Hukum dan Teknis Pembuatan Kontrak, Kerja Sama, dan Bisnis. Malang: Setara Press, 2016;
M. Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2018;
M. Yahya Harahap. Segi-segi Hukum Perikatan. Bandung: Alumni, 1982;
Salim H.S. Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika, 2019;
Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermassa, 1996;
Sudjana. Akibat Hukum Wanprestasi dan Tanggung Jawab Para Pihak dalam Transaksi Anjak Piutang. Jurnal Veritas et Justicia, Vol. 5, No. 2, 2019;
Totok Dwinur Haryanto. Hubungan Hukum yang Menimbulkan Hak dan Kewajiban dalam Kontrak Bisnis. Jurnal Wacana Hukum, Vol. 9, No. 1, 2010.
[1] Totok Dwinur Haryanto. Hubungan Hukum yang Menimbulkan Hak dan Kewajiban dalam Kontrak Bisnis. Jurnal Wacana Hukum, Vol. 9, No. 1, 2010, hal. 85-86.
[2] Salim H.S. Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika, 2019, hal. 178.
[3] Salim H.S. Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika, 2019, hal. 27.
[4] Agus Yudha Hernoko. Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial. Jakarta: Kencana, 2010, hal. 242.
[5] Sudjana. Akibat Hukum Wanprestasi dan Tanggung Jawab Para Pihak dalam Transaksi Anjak Piutang. Jurnal Veritas et Justicia, Vol. 5, No. 2, 2019, hal. 387.
[6] Lukman Santoso Az. Hukum Perikatan: Teori Hukum dan Teknis Pembuatan Kontrak, Kerja Sama, dan Bisnis. Malang: Setara Press, 2016, hal. 75.
[7] Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermassa, 1996, hal. 45.
[8] Abdulkadir Muhammad. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014, hal. 241.
[9] M. Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2018, hal. 51.
[10] Khairan Nisa Mendrofa (et.al). Tinjauan Yuridis Gugatan Wanprestasi yang Tidak Dapat Diterima oleh Pengadilan (Studi Kasus Putusan Nomor 9/PDT.G/2018/PN.GST). Jurnal Hukum dan Kemasyarakatan Al-Hikmah, Vol. 2, No. 2, 2021, hal. 252.