Mungkinkah pembentukan suatu UU tanpa dimasukkan dalam prolegnas jangka menengah atau prioritas?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Prolegnas adalah suatu perencanaan untuk rancangan undang-undang (“RUU”) yang hendak dibahas dalam satu periode DPR dan lebih rinci diatur dalam jangka waktu tahunan. Pembentukan suatu UU dimungkinkan tanpa masuk prolegnas atau dengan kata lain penyusunan RUU di luar prolegnas. Bagaimana caranya?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Program Legislasi Nasional (“Prolegnas”) adalah instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis.[1] Perencanaan program ini berisi skala prioritas program pembentukan undang-undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional.[2]
Prolegnas adalah suatu perencanaan untuk rancangan undang-undang (“RUU”) yang hendak dibahas dalam satu periode DPR dan lebih rinci diatur dalam jangka waktu tahunan. Meski telah disusun sedemikian rupa dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPR, namun DPR dan Presiden masih dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas dalam keadaan tertentu, yakni keadaan luar biasa dan adanya urgensi nasional.[3]
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Prolegnas disusun dalam jangka menengah dan prioritas tahunan. Prolegnas jangka menengah (5 tahun) memuat gambaran hukum nasional secara umum, arah dan kebijakan pembangunan hukum nasional, dan judul serta konsepsi RUU.[4] Sedangkan prolegnas prioritas tahunan merupakan pelaksanaan dari Prolegnas jangka menengah yang dilakukan setiap satu tahun.[5]
Bisakah UU Dibentuk Tanpa Masuk Prolegnas?
Adapun menurut Pasal 111 ayat (3) Peraturan DPR 1/2014 menyebutkan RUU dapat diajukan di luar Prolegnas yang meliputi:
meratifikasi konvensi atau perjanjian internasional;
mengisi kekosongan hukum akibat putusan Mahkamah Konstitusi;
mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; atau
mengatasi keadaan tertentu lain yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu RUU yang dapat disepakati oleh Badan Legislasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
Penyusunan RUU di luar Prolegnas dimungkinkan dengan diawali pemrakarsa mengajukan permohonan izin prakarsa kepada Presiden disertai penjelasan konsepsi pengaturan RUU mencakup urgensi dan tujuan penyusunan, sasaran, pokok pikiran, lingkup atau objek yang akan diatur dan jangkauan serta arah pengaturan. Setelah Presiden memberi izin prakarsa, pemrakarsa menyusun RUU dan menyampaikannya ke Menteri di bidang hukum. Kemudian Menteri mengajukan usul RUU di luar Prolegnas ke pimpinan DPR melalui Badan Legislasi untuk dimuat dalam Prolegnas prioritas tahunan.[6]
Usulan RUU di luar Prolegnas dari DPR diajukan oleh anggota, komisi, gabungan komisi dan Badan Legislasi yang kemudian dibahas oleh Badan Legislasi. Apabila Badan Legislasi menyetujui urgensi RUU di luar Prolegnas, maka Badan Legislasi akan mengundang Menteri untuk membahas urgensi usulan RUU dalam rapat kerja.[7]
Apabila Badan Legislasi dan Menteri menyetujui usulan RUU di luar Prolegnas, maka Badan Legislasi akan melaporkan usulan RUU di luar Prolegnas dalam rapat paripurna. Sedangkan jika Menteri menolak usulan RUU di luar Prolegnas, maka RUU tersebut tidak dapat diajukan sebagai untuk proses lebih lanjut sesuai dengan mekanisme pengajuan RUU.[8]
Sepanjang penelusuran penulis, praktik pengajuan RUU di luar Prolegnas pernah dilakukan DPR pada periode 2014-2019. Misalnya, UU 17/2014 yang direvisi sebanyak dua kali yang sebelumnya dan tidak masuk atau di luar daftar Prolegnas. Selain itu, praktik pembentukan suatu UU tanpa masuk dalam Prolegnas terlebih dahulu juga terjadi apabila ada amanat dari suatu Putusan Mahkamah Konstitusi atau kebutuhan mendesak akibat suatu perjanjian internasional yang mengharuskan diratifikasi. Dalam hal mendesak seperti ini, pembentukan UU tidak perlu melalui Prolegnas.
Dengan demikian, sebuah UU dimungkinkan dibentuk tanpa melalui Prolegnas dengan cara sebagaimana disebutkan di atas.