KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Hukumnya Memalsukan Identitas Agar Bisa Poligami

Share
copy-paste Share Icon
Keluarga

Hukumnya Memalsukan Identitas Agar Bisa Poligami

Hukumnya Memalsukan Identitas Agar Bisa Poligami
Ita Iya Pulina Perangin-angin, S.H.Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron
Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron
Bacaan 10 Menit
Hukumnya Memalsukan Identitas Agar Bisa Poligami

PERTANYAAN

Apabila seorang suami menikah lagi tanpa sepengetahuan istri pertamanya dengan memalsukan data pribadi seperti KTP dan surat pernyataan belum menikah bermeterai. Pertanyaan saya, dapatkah suami dan saksi-saksi yang bertanda tangan di surat pernyataan tersebut dipidana? Selain itu, sahkah perkawinan suami dengan istri barunya?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Pemalsuan dokumen seperti Kartu Tanda Penduduk (“KTP”) dan surat pernyataan belum menikah bermeterai untuk menikah lagi dapat dipidana berdasarkan KUHP, UU Adminduk, maupun UU PDP.

    Adapun, terhadap status perkawinan yang dilakukan dengan KTP dan dokumen palsu serta dilakukan tanpa seizin istri pertama/pengadilan adalah cacat hukum sehingga perkawinan dapat dibatalkan.

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Hukum Poligami Tanpa Izin Istri Pertama

    Sebelum menjawab pertanyaan Anda, kami asumsikan bahwa Anda dan suami beragama Islam, sehingga berlaku hukum perkawinan Islam.

    KLINIK TERKAIT

    Sanksi Memalsukan KTP Orang Lain untuk Jual Beli Tanah

    Sanksi Memalsukan KTP Orang Lain untuk Jual Beli Tanah

    Perlu diketahui bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Setelah sah secara agama/kepercayaan, suatu perkawinan wajib dicatatkan.[1]

    Adapun terkait dengan suami yang menikah lagi atau poligami, pada dasarnya dibolehkan jika sudah mendapat izin dari pengadilan.[2] Dalam Pasal 56 ayat (1) KHI disebutkan:

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.

    Adapun prosedur perkawinan poligami agar sah dilakukan berdasarkan hukum di Indonesia dapat Anda baca dalam artikel Hukum Poligami dan Prosedurnya yang Sah di Indonesia. Disarikan dari artikel tersebut, salah satu syarat agar perkawinan poligami sah menurut hukum di Indonesia adalah mengajukan permohonan ke pengadilan (untuk mendapatkan izin) dengan syarat mendapat persetujuan dari istri, dalam kasus ini adalah Anda sebagai istri pertama.

    Apabila syarat perkawinan poligami tersebut tidak terpenuhi, maka perkawinan yang dilakukan suami Anda dengan istri selanjutnya dapat dibatalkan.[3] Hal ini juga ditegaskan di dalam Pasal 71 huruf a KHI bahwa seorang suami yang melakukan poligami tanpa izin dari Pengadilan Agama maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan.

    Anda selaku pihak yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut serta mengetahui adanya cacat dalam rukun serta syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan dapat mengajukan pembatalan perkawinan.[4]

    Permohonan pembatalan perkawinan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan.[5]

    Hukum Menikah dengan Identitas Palsu

    Adapun, hukum menikah dengan identitas palsu atau dokumen palsu adalah perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Hal ini merujuk pada Pasal 72 ayat (2) KHI dan Pasal 27 ayat (2) UU Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan penipuan atau salah sangka mengenai diri suami/istri maka dapat diajukan pembatalan perkawinan.

    Dengan demikian, apabila seorang suami menikah lagi dengan identitas/dokumen palsu serta dilakukan tanpa izin dari istri pertama adalah cacat hukum sehingga perkawinan dapat dibatalkan.

    Jerat Pidana Suami yang Memalsukan Identitas untuk Poligami

    Apakah suami yang menikah lagi dengan cara memalsukan dokumen dapat dipidana? Jawabannya bisa.

    Pertama, suami yang melangsungkan pernikahan lagi tanpa izin pengadilan dapat dijerat sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 279 ayat (1) angka 1 KUHP yang berbunyi:

    Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu.

    Ancaman hukumannya adalah pidana penjara maksimal 5 tahun dan jika menyembunyikannya dari pihak lain diancam pidana maksimal 7 tahun.[6]

    Hal ini dipertegas dengan Lampiran SEMA 4/2016 (hal. 1) bahwa perkawinan yang dilangsungkan oleh seorang suami dengan perempuan lain tanpa mendapatkan izin istri untuk melangsungkan perkawinan lagi, maka Pasal 279 KUHP dapat diterapkan.

    Contoh kasusnya yaitu merujuk Putusan PT Mataram No. 44/PID/2021/PT MTR bahwa terdakwa melangsungkan perkawinan secara siri dengan ‘pacarnya’ tanpa sepengetahuan dan seizin dari istri sah atau istri pertamanya (hal. 2-3).

    Atas hal tersebut majelis hakim menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “melakukan perkawinan, sedangkan perkawinannya yang sudah ada menjadi halangan yang sah baginya untuk kawin lagi” dengan hukuman pidana penjara selama 4 bulan (hal. 8).

    Kedua, terhadap pemalsuan dokumen yang dilakukan oleh suami demi menikah lagi, dapat dikenakan sanksi pidana yang diatur dalam KUHP, UU Adminduk dan UU PDP.

    Dalam UU Adminduk, setiap orang yang memalsukan dokumen atau mempunyai KTP lebih dari satu/menjadi kepala keluarga lebih dari satu KK, maka dapat dikenai sanksi pidana.

    Pasal 93

    Setiap Penduduk yang dengan sengaja memalsukan surat dan/atau dokumen kepada Instansi Pelaksana dalam melaporkan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

    Pasal 97

    Setiap Penduduk yang dengan sengaja mendaftarkan diri sebagai kepala keluarga atau anggota keluarga lebih dari satu KK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) atau untuk memiliki KTP lebih dari satu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (6) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).

    Lantas apa hukuman pemalsuan dokumen? Memalsukan dokumen dan menggunakannya juga diancam pidana berdasarkan Pasal 263 KUHP yaitu pidana penjara paling lama 6 tahun. Selengkapnya dapat Anda baca dalam artikel Unsur Pidana dan Bentuk Pemalsuan Dokumen.

    Selain itu, memalsukan data pribadi pada KTP adalah tindakan yang dilarang dalam UU PDP sebagaimana tertuang di dalam Pasal 66 UU PDP yang berbunyi:

    Setiap Orang dilarang membuat Data Pribadi palsu atau memalsukan Data Pribadi dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian bagi orang lain.

    Tindakan membuat data pribadi palsu atau memalsukan data pribadi tersebut diancam pidana penjara maksimal 6 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp6 miliar.[7]

    Baca juga: Jerat Hukum Pemalsuan Identitas untuk Perkawinan

    Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwi bahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.

    Demikian jawaban dari kami tentang hukumnya memalsukan KTP untuk menikah lagi, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
    2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
    3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan;
    4. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
    5. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi;
    6. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam;
    7. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.

    Putusan:

    Putusan Pengadilan Tinggi Mataram Nomor 44/PID/2021/PT MTR


    [1] Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”)

    [2] Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan

    [3] Pasal 22 UU Perkawinan

    [4] Pasal 23 huruf d UU Perkawinan jo. Pasal 73 huruf d Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”)

    [5] Pasal 25 UU Perkawinan jo. Pasal 73 KHI

    [6] Pasal 279 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

    [7] Pasal 66 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi

    Tags

    data pribadi
    hukum perkawinan

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Konversi Utang Jadi Setoran Saham, Ini Caranya

    14 Sep 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!