Saya mau nanya ke mana bisa melaporkan perusahaan yang melalaikan dan masih mempekerjakan ibu hamil di tempat yang berisiko mengganggu kesehatan janin hingga berisiko keguguran? Perusahaan tidak memindah tempat kerja padahal ibu hamil tersebut sudah minta pindah. Perusahaan beralasan belum ada penggantinya.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Pekerja yang hamil dapat meminta perusahaan agar ditempatkan di tempat yang aman dan tidak melakukan pekerjaan yang berat sebagai bentuk jaminan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) bagi dirinya dan janin yang sedang dikandungnya.
Apa saja dasar hukum serta bentuk perlindungan pekerja perempuan yang hamil?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Bentuk Perlindungan bagi Pekerja Perempuan yang Hamil yang dibuat oleh Haris Satiadi, S.H., dan pertama kali dipublikasikan pada Jumat, 11 November 2022.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Cuti Melahirkan Beserta Hak yang Diperoleh
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu kami sampaikan terlebih dahulu mengenai cuti melahirkan dalam hukum Indonesia. Ketentuan tentang cuti melahirkan beserta hak yang diperoleh bagi pekerja dapat Anda temukan dalam UU Ketenagakerjaan yang sebagian telah diubah, dihapus, atau ditetapkan pengaturan baru oleh Perppu Cipta Kerja.
Waktu cuti melahirkan di Indonesia adalah 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.[1] Lamanya masa istirahat atau cuti melahirkan tersebut dapat diperpanjang berdasarkan surat keterangan dokter kandungan atau bidan, baik sebelum maupun setelah melahirkan.[2]
Sementara, bagi pekerja perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh waktu istirahat selama 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.[3]
Bagi pekerja yang mengambil cuti melahirkan, maka ia tetap berhak mendapatkan upah penuh.[4] Sebagai informasi, pekerja yang tidak masuk bekerja karena istrinya melahirkan juga berhak atas upah selama 2 hari.[5]
Bentuk Perlindungan Pekerja yang Hamil
Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami akan memaparkan bentuk perlindungan bagi pekerja yang hamil selain cuti melahirkan yang disebutkan di atas, antara lain:
Larangan mempekerjakan pekerja yang hamil antara pukul 23.00 s.d. 07.00 apabila menurut keterangan dokter membahayakan kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya.[6]
Larangan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) atas dasar pekerja perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya.[7]
Memperoleh perlindungan atas Keselamatan dan Kesehatan Kerja (“K3”).[8]
Sesuai dengan bunyi ketentuan nomor 4 di atas, pada dasarnya setiap pekerja mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas K3. Upaya K3 tersebut diatur oleh pemerintah untuk memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan kesehatan dengan mencegah kecelakaan dan penyakit akibat melakukan pekerjaan di tempat kerja.
Sehingga berdasarkan hal tersebut, salah satu dari hak-hak pekerja yang hamil adalah dapat meminta untuk melakukan pekerjaan yang tidak berat dan menolak melakukan pekerjaan di tempat yang berbahaya sebagai bentuk jaminan K3 bagi dirinya yang sedang hamil.
Dalam Rekomendasi 191 tersebut pada poin 6 yang menyatakan (hal. 95):
Negara anggota harus mengambil tindakan untuk memastikan adanya penilaian atas segala risiko di tempat kerja yang terkait dengan keselamatan dan kesehatan perempuan yang sedang hamil atau dirawat beserta anaknya. Hasil penilaian ini harus diberitahukan kepada perempuan terkait.
Dalam situasi-situasi yang disebutkan dalam Pasal 3 Konvensi ini (Rekomendasi 191) atau bila risiko besar telah diidentifikasi berdasarkan sub-ayat (1) di atas, maka tindakan perlu dilakukan, berdasarkan surat keterangan medis terkait, untuk menyediakan alternatif bagi pekerjaan tersebut dalam bentuk:
penghapusan risiko;
adaptasi dengan kondisi kerja perempuan tersebut;
pindah ke jabatan lain, tanpa kehilangan upah, bila adaptasi tersebut tidak layak dilakukan; atau
cuti dibayar, sesuai dengan perundang-undangan, peraturan atau kebijakan nasional, apabila perpindahan jabatan tersebut tidak layak dilakukan.
Tindakan-tindakan yang tercantum dalam sub-ayat (2) secara khusus harus dilakukan dalam hal:
pekerjaan sulit yang melibatkan upaya untuk mengangkat, membawa, mendorong atau menarik beban secara manual;
pekerjaan yang terekspos bahan biologis, kimia atau fisika yang mengandung bahaya kesehatan reproduktif;
pekerjaan yang membutuhkan keseimbangan khusus;
pekerjaan yang melibatkan ketegangan fisik akibat duduk atau berdiri terlalu lama, atau akibat suhu atau getaran yang terlalu ekstrim.
Perempuan hamil atau yang sedang dirawat tidak boleh diharuskan untuk kerja malam jika surat keterangan medis menyatakan bahwa pekerjaan tersebut tidak sesuai dengan kehamilan atau perawatannya.
Perempuan berhak kembali ke pekerjaannya semula atau pekerjaan setara sesegera setelah ia merasa aman untuk melakukannya.
Perempuan harus diizinkan meninggalkan tempat kerjanya, bila perlu, setelah memberitahukan majikannya, untuk menjalani pemeriksaan medis yang terkait dengan kehamilannya.
Adapun upaya K3 sesungguhnya dimaksudkan untuk memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan derajat kesehatan para pekerja dengan cara pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan, dan rehabilitasi.[9]
Dengan demikian, setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen K3 yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.[10]
Sanksi Administratif
Jika perusahaan terbukti mengabaikan K3, sehingga menyebabkan pekerjaan yang dilakukan mengganggu kesehatan pekerja yang sedang hamil dan/atau janin yang ada dalam kandungannya, bahkan hingga menyebabkan keguguran, maka perusahaan dapat dikatakan melanggar Pasal 87 UU Ketenagakerjaan karena tidak menerapkan sistem manajemen K3 yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.
Terhadap pelanggaran K3 tersebut, berlaku sanksi administratif dalam Pasal 81 angka 70 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 190 UU Ketenagakerjaan yang diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Namun sayangnya setelah kami menelusuri peraturan pemerintah terkait klaster ketenagakerjaan yaitu PP 34/2021, PP 35/2021, PP 36/2021, dan PP 37/2021, tidak ada pengaturan khusus mengenai sanksi administratif terkait pelanggaran K3.
Sehingga kami berpendapat ketentuan mengenai sanksi administratif dapat merujuk pada sanksi administratif yang pada umumnya diatur dalam keempat peraturan pemerintah tersebut di atas yaitu antara lain berupa:
teguran tertulis;
pembatasan kegiatan usaha;
penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi; dan
pembekuan kegiatan usaha.
Langkah Hukum
Kembali ke pertanyaan Anda, jika perusahaan lalai dan masih mempekerjakan ibu hamil di tempat yang berisiko mengganggu kesehatan janin hingga berisiko keguguran, Anda bisa mempertimbangkan mengambil langkah hukum penyelesaian perselisihan hak sebagai berikut.
Melakukan perundingan bipartit antara pekerja atau serikat pekerja/buruh dengan pengusaha secara musyawarah untuk mencapai mufakat[11] yang dilakukan paling lama 30 hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan.[12]
Apabila perundingan bipartit gagal, salah satu pihak atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihan yang belum selesai ke instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa perundingan bipartit sudah pernah dilaksanakan.[13]
Penyelesaian di instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan disebut perundingan tripartit dan menggunakan metode mediasi dengan mediator dari instansi yang bersangkutan.[14]
Mediator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja terhitung sejak menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan.[15]
Dalam hal tidak juga tercapai kesepakatan, mediator akan menerbitkan anjuran tertulis.[16] Namun apabila pekerja atau pengusaha menolak anjuran mediator, selanjutnya dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.[17]
Patut Anda ketahui, perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.[18]
Jadi menjawab pertanyaan Anda, sesuai dengan kaidah K3 seharusnya pekerja perempuan yang sedang hamil dapat meminta perusahaan agar ditempatkan di tempat yang aman dan tidak melakukan pekerjaan yang berat sebagai bentuk jaminan K3 bagi dirinya dan janin yang sedang dikandungnya.