Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Dasar Hukum dan Pelaksanaan Putusan Serta Merta

Share
copy-paste Share Icon
Perdata

Dasar Hukum dan Pelaksanaan Putusan Serta Merta

Dasar Hukum dan Pelaksanaan Putusan Serta Merta
Diana Kusumasari, S.H., M.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Dasar Hukum dan Pelaksanaan Putusan Serta Merta

PERTANYAAN

Saya mau tanya tentang pengertian hukum acara perdata dan apakah dalam putusan serta merta itu dapat dilaksanakan dengan baik? Selain itu, bagaimana dengan kelembagaannya dalam lingkungan peradilan apakah sudah mempunyai kekuatan hukum?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    1.      Mengenai pengertian hukum acara perdata kami merujuk pada buku “Pokok-Pokok Hukum Acara Perdatakarya Moh. Taufik Makarao, S.H., M.H. Dalam buku tersebut (hal. 5) dikutip pendapat Wirjono Prodjodikoro (mantan Ketua Mahkamah Agung) mengenai pengertian hukum acara perdata sebagai berikut;

     

    Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.

    KLINIK TERKAIT

    Upaya Hukum atas Putusan PHI yang Inkracht

    Upaya Hukum atas Putusan PHI yang <i>Inkracht</i>
     

    2.      Putusan serta merta sebenarnya terjemahan dari “uitvoerbaar bij voorraad” yang artinya adalah putusan yang dapat dilaksanakan serta merta. Artinya,  putusan yang dijatuhkan dapat langsung dieksekusi, meskipun putusan tersebut belum memperoleh kekuatan hukum tetap.

     

    Pada dasarnya putusan serta merta tidak dapat dilaksanakan, kecuali dalam keadaan khusus. Dasar hukum atas larangan tersebut adalah Pasal 180 ayat (1) Herzien Inlandsch Reglement (“HIR”), Pasal 191 ayat (1) Reglement Voor de Buitengewesten (“RBG”), Pasal 54 dan Pasal 57 Reglement Op De Rechtsvordering (Rv), dan SEMA  No. 3 Tahun 2000 tentang Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar bij voorraad) dan Provisionil, serta SEMA No. 4 Tahun 2001 tentang Permasalahan Putusan Serta Merta dan Provisionil. Lebih jauh, simak artikel Seputar Gagasan Menghapus Putusan Serta Merta.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
     

    Dalam buku “Hukum Acara Perdata” yang ditulis M. Yahya Harahap, S.H. disebutkan bahwa menurut Subekti, praktik penerapan putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu (putusan serta merta, red.), telah mendatangkan banyak kesulitan dan memusingkan para hakim. Satu segi undang-undang telah memberi wewenang kepada hakim menjatuhkan putusan yang seperti itu meskipun dengan syarat-syarat yang sangat terbatas. Pada sisi lain, pengabulan dan pelaksanaan putusan tersebut selalu berhadapan dengan ketidakpastian, karena potensial kemungkinan besar putusan itu akan dibatalkan pada tingkat banding atau kasasi. Demikian menurut Subekti sebagaimana kami sarikan dari buku “Hukum Acara Perdata” (hal. 898).

     

    Dalam artikel Seputar Gagasan Menghapus Putusan Serta Merta,ditulis antara lain bahwaAndi Samsan Ngaro yang pada saat itu adalah Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pernah menanggapi pendapat Bagir Manan, Ketua Mahkamah Agung pada saat itu, yang meminta para hakim untuk tidak gegabah membuat putusan serta merta karena putusan serta merta lebih banyak membawa masalah daripada manfaat. Menurut Andi pernyataan Bagir tersebut dilatarbelakangi oleh banyaknya putusan serta merta yang tidak bisa dilaksanakan, karena jaminan yang diberikan oleh Pemohon eksekusi nilainya tidak setara/sesuai dengan nilai obyek eksekusi.

     

    Di sisi lain, pada perkara kepailitan, putusan pailit pada tingkat pertama (Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri) dapat dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum (lihat Pasal 8 ayat [7] UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang). Dengan demikian, terhadap pelaksanaan putusan pailit yang juga termasuk putusan serta merta ini dalam praktiknya dapat terlaksana dengan baik.

     

    Kesimpulannya, mengenai pelaksanaan putusan serta merta ini ada yang dapat terlaksana dengan baik, ada pula yang tidak mudah pelaksanaannya.

     

    3.      Mengenai kelembagaan putusan serta merta dalam lingkungan peradilan tentu telah mempunyai kekuatan hukum dengan sejumlah peraturan perudang-undangan yang  menjadi landasan hukumnya seperti kami sebutkan pada jawaban no. 2 di atas.

     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:

    1.      Het Herzien Inlandsch Reglement (HIR) / Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (RIB), (S. 1848 No. 16, S.1941 No. 44)

    2.      Reglement Voor de Buitengewesten (RBG), Lembaran Negara No. 227 Tahun 1927

    3.      Reglement Op De Rechtsvordering, Staatsblad Tahun 1847 No. 52 jo. Staatsblad Tahun 1849 No. 63 (Rv)

    4.      Surat Edaran Mahkamah Agung  No. 3 Tahun 2000 tentang Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar bij voorraad) dan Provisionil

    5.      Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2001 tentang Permasalahan Putusan Serta Merta dan Provisionil

     

    Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

    Tags


    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Menghitung Pembebasan Bersyarat bagi Narapidana

    3 Agu 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!